INICIAR SESIÓNHappy Reading *****Ardha menatap si mas yang sudah merebut foto dari tangan si adik. Sepertinya, perempuan itu mencari dukungan dari lelaki yang selalu menyayanginya itu. Mencoba memastikan jika pemikiran mereka sama. Elang pun menoleh ke arah sang pujaan, ketika tatapan mereka bertemu, lelaki itu menganggukkan kepala seolah mengatakan jika apa yang ada di pikiran Ardha adalah benar. "Aku cuma merasa jika foto ini mirip seseorang, Tan. Memangnya, siapa bayi ini?" Elang memberikan foto yang dipungut Ardha tadi. "Kita bahas foto itu nanti, ya. Tante mau hubungi papanya Darma dulu. Keluarga meeka harus tahu jika anaknya masuk rumah sakit. Jangan sampai kamu terbebani untuk menjaganya terus menerus." Tanpa menunggu jawaban Elang, Melati sudah menelepon keluarga Darma dan dalam hitungan detik, perempuan paruh baya itu sudah mengucapkan hallo pada lawan bicaranya di seberang sana."Kamu jemput anak manjamu sekarang juga di rumah sakit. Jangan sampai anakku tahu jika dia membuat ulah la
Happy Reading*****Semua orang menoleh ke sumber suara. Melati bahkan tak percaya jika di hadapannya kini adalah sosok lelaki yang tadi terbaring lemah tak berdaya. Perempuan paruh baya itu terpaksa maju untuk menghalau Darma, mendekati Ardha. "Kembali ke ranjangmu, dia bukan istrimu," ucap Melati tegas. Tatapannya sangat tajam, sikap seorang ibu yang melindungi anak-anaknya dari ancaman serta bahaya. "Ma, dia istriku. Kenapa aku nggak boleh dekat-dekat dengan dia? Apa aku akan tetap diam jika ada lelaki yang akan merebutnya?" Suara Darma melemah bahkan wajahnya menunjukkan sejuta penyesalan. Matanya sayu, menatap Ardha yang diam dengan tangan berpegangan pada Elang. "Ingat yang Mama katakan tadi. Dia bukan Ardha istrimu. Ardha sudah meninggal sejak kamu mengatakan akan menikahi perempuan nggak bener itu. Kamu yang sudah membu ....""Ma," cegah Ardha disertai gelengan kepala. Melati menarik napas panjang, teringat nasihat sang dokter. Elang melepas pegangan tangannya, berbaik da
Happy Reading*****Melati diam, cuma bisa menatap tiga anak muda di samping dan di depannya. Menceritakan kematian Ardha sama dengan menyayat luka yang hampir mengering. Walau Ardha bukan putri kandungnya, tetapi kehadiran perempuan itu bagai obat yang menyembuhkan segala luka di tubuh Melati. "Ma, jelaskan padaku. Apa yang terjadi dengan Ardha, mengapa dia meninggal dan kenapa menyebut nama lelaki itu sebagai penyebabnya? Bukankah Darma adalah suaminya jika Mama menyebutnya menantu?" tanya Ardha tak sabaran."Dia memang suaminya. Tapi, Darma adalah orang yang paling menyakiti Ardha." Ketika mengatakan hal tersebut, air mata Melati turun. Mungkin teringat akan kesakitan yang dialami perempuan itu. "Jadi, beneran lelaki itu yang membunuh putrinya Ibu?" tanya Yandra antusias. Jiwa sang pengacara bangkit. "Kenapa nggak lapor polisi jika memang seperti itu?""Benar kata Yandra. Kenapa Tante nggak lapor polisi saja?""Percuma lapor polisi, saat itu keluarga Darma masih sangat berkuasa
Happy Reading*****Yandra dan Elang yang duduk di bangku tak jauh dari ruang UGD, masuk dan melihat keadaan lelaki yang mereka bawa tadi. Suara Melati serta Ardha membuat kedua lelaki tersebut panik. "Dek, ada apa?" tanya Elang."Ar, kamu nggak papa, kan?" tambah Yandra. Kedua lelaki itu berdiri di sisi kanan dan kiri perempuan wajahnya memucat. Sementara itu, Melati berjalan ke arah dokter supaya untuk mengetahui keadaan lelaki yang tdi muntah darah ketika berbincang dengannya. "Aku nggak papa, tapi lelaki tadi muntah darah setelah ngobrol sama Mama. Apalagi pas baca kertas yang diberikan Mama. Dia makin terlihat kesakitan," jelas Ardha. "Adek duduk saja di luar, biar Mas yang tanya Tante Mel. Kenapa sampai lelaki yang baru sadar itu muntah darah." ELang merangkul sang kesayangan keluar UGD diikuti Yandra di belakang keduanya yang mengepalkan tangan dengan kuat, menahan amarah. Walau jelas-jelas cintanya ditolak olah Ardha berkali-kali, tetapi rasa Yandra masih tetap kukuh dan
Happy Reading*****Melati menoleh ke sumber suara yang sangat dia kenal. Bola matanya melebar, wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan lagi. Benar-benar tidak menyangka jika Ardha sudah berdiri di belakangnya. "Kebenaran apa, sih, Ar?" kata Melati. Berusaha setenang mungkin supaya anak angkatnya tidak menaruh curiga berlebihan. "Ma, jangan bohong lagi. Mama pasti mengenal siapa lelaki yang tergeletak tadi," kata Ardha mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Ma, orang itu terus saja manggil-manggil namaku. Jadi, nggak mungkin cuma wajah saja yang melekat pada diriku, nama pemberian Mama dan Ayah pasti juga terkait dengan lelaki itu."Melati menurunkan ponselnya yang menempel di daun telinga setelah mendengar perkataan serta arahan orang di seberang sana. "Mama akan jelaskan, tapi Mama harus tahu siapa lelaki yang tergeletak tadi. Mama nggak mau salah orang, Ar." Melati memegang pundak putri angkatnya. "Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Biar Thalia yang menemani Za di sini,"
Happy Reading*****Ardha menatap Melati tajam, menuntut perempuan paruh baya itu untuk menjawab pertanyaannya tadi. Walau sang mama angkat belum mau membuka suara, tetapi gestur tubuhnya sudah menunjukkan jika Melati menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. "Ma," panggil Ardha, "Kalau Mama nggak mau cerita, aku telpon Kakak atau Ayah supaya menjelaskan semua. Aku nggak mau dituduh macam-macam nantinya, Ma.""Jangan," cegah Melati. "Kenapa?" tanya Ardha dan Thala bersamaan. "Nenek sama Mami lagi ngobrol apa, sih? Kok, Za nggak ngerti." Si Kecil menggaruk kepala, bingung. "Kita main di luar, yuk. Tante mau ajak Za jalan-jalan di dekat danau buatan depan sana. Pemandangannya bagus banget. Mau, ya?" ajak Thalia. Sengaja memberi kesempatan pada sang sahabat dan orang tua angkatnya untuk membahas masalah mereka. "Ayok, Tan. Za juga pengen jalan-jalan, boleh ajak Papi juga, ngak?" Zanitha sudah menggandeng tangan sahabat maminya ke arah luar. "Papi lagi ada urusan yang sangat mendesak.







