Share

Menghancurkan Dunia Demi Dia
Menghancurkan Dunia Demi Dia
Author: Zefreud

Chapter 1: Menguasai Dunia

Di sebuah tanah tandus yang membentang luas sejauh puluhan ribu kilometer, jutaan manusia sedang berperang. Suara gerincing pedang serta tombak diringi oleh teriakan semangat, rintihan rasa sakit, dan kematian. 

Armor mereka terlihat sangat kokoh, namun dengan setiap goresan dan tusukan, armor-armor itu rusak. Kulit yang tergores mengeluarkan darah, perut yang tertusuk mengeluarkan organ dalam, leher yang tertebas membuat kepala melayang.

Sekelompok manusia berkomat-kamit merapalkan mantra, terciptalah bola-bola api di udara hampa. Bola api itu turun seperti meteor dan berhasil meluluhlantakkan ribuan prajurit. Jika mereka tidak mati, maka hanya keputusasaan yang tersisa dalam diri mereka.

"Perang akan segera berakhir! Kemenangan adalah milik kita!" teriak seorang Pria dengan aura kepemimpinan yang tak tergoyahkan. 

Tubuh bagian atasnya telanjang, tanpa memakai armor mewah ataupun baju prajurit, menunjukkan kepercayaan dirinya yang begitu luar biasa. Tangan kanannya diangkat, mengacungkan pedang yang memiliki bilah berwarna emas. 

Dia menunggangi seekor kuda perang berkulit putih. Kuda itu sangat besar dan gagah, tingginya mencapai 2 meter, bulu dan ekornya yang berwarna kuning keemasan membuat orang yang menungganginya terlihat lebih berwibawa.

Saat ada musuh datang ke arahnya, Pria itu menebaskan pedangnya dengan sangat mudah.

*Slash!* 

Satu ayunan pedangnya membelah tubuh musuh dari bahu sampai pinggang. Hanya ada dua jenis prajurit yang menyerang Pria ini— prajurit bodoh yang tidak bisa mengukur kekuatan lawannya, dan prajurit aneh yang mendambakan kematian terhormat. 

Pria ini bernama Clasius Ordo Batekar, dijuluki sebagai 'Yang Terkuat', ribuan pertarungan tanpa mendapat luka, tidak ada satupun manusia yang pernah mengalahkannya dalam duel satu lawan satu. 

Namun selain 'Yang Terkuat', dia juga memiliki julukan lain. 'Raja Tanpa Ambisi', merasa puas hanya dengan memiliki kerajaan kecil yang berada di ujung benua. Tapi itu dulu, sebelum seseorang membujuknya untuk menguasai dunia.

"Anda berhasil Yang Mulia, setelah perang ini selesai, Anda akan menjadi 'The Great King'. Seluruh manusia akan tunduk dan patuh pada setiap perintah Anda. Jika Yang Mulia yang memimpin dunia, saya yakin perdamaian akan segera kita dapatkan." tutur seseorang dengan suara parau.

Clasius menoleh ke samping kanan sambil menyunggingkan senyum percaya diri. "Aku sangat ingin melihat perdamaian yang selalu kau ceritakan itu Firson, dan aku juga tidak mungkin bisa menang di setiap peperangan tanpa bantuanmu," ujarnya dengan suara yang tulus.

Firson menunggangi kuda berkulit coklat di sebelah Clasius, dibaluti oleh jubah hitam yang menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali kepalanya. Rambut panjang dan wajah pucat, dia tidak terlihat seperti petarung. 

Tetapi Clasius tahu betul Pria ini ahli menggunakan pedang, dan juga dia memiliki kecerdasan di luar nalar para makhluk berakal. Hal paling menonjol dari Firson adalah mata ungu yang dia miliki, seolah dapat menyihir orang yang menatapnya.

"Yang Mulia Raja tidak hanya kuat, tetapi juga rendah hati. Anda bertarung dengan gagah di garis depan serta membuat taktik cerdas di belakang layar, sedangkan saya hanya sekedar memberikan informasi."

"Memberikan informasi… maksudmu meramal masa depan?" Clasius tersenyum menyindir. "Aku tidak tahu bagaimana cara kau mendapatkan seluruh informasi itu tanpa satu pun kesalahan. Apa mungkin kau seorang Pertapa Agung? Aku bahkan tidak akan terkejut jika kau mengaku sebagai Saint utusan Permaisuri Surga," ucapan Clasius dipenuhi pujian yang dilebih-lebihkan.

"Yang Mulia terlalu menyanjung, saya hanya seorang pengembara yang sering bepergian ke tempat asing," dia berhenti berbicara sejenak, lalu melanjutkan. "Lagipula… Permaisuri Surga itu tidak ada, dia sudah mati di tangan saya."

Clasius menepuk paha berkali-kali sambil tertawa lepas. "Ternyata selain ahli mendapatkan informasi, kau juga ahli melawak."

"..." Firson hanya diam tanpa tersenyum ataupun ikut tertawa bersama.

'Sepertinya sudah waktunya,' pikir Firson sambil melihat ke atas. 

Tiba-tiba… langit berubah menjadi abu kelam, datang badai angin disertai petir yang bergemuruh seolah menandakan sebuah bencana besar. Perubahan mendadak ini tidak membuat para prajurit berhenti bertarung, mereka terus mengayunkan pedang dan merapalkan sihir. 

Mereka tidak peduli dengan cuaca atau badai, yang mereka pedulikan saat ini adalah hidup mereka, jika mereka berhenti bertarung sedetik saja untuk menatap langit… maka rasa sakit ditebas, ditusuk, dan dibakar akan menggerogoti tubuh mereka hingga mereka mati.

"Ada apa ini?" Clasius mempertanyakan peristiwa aneh ini, entah pada dirinya sendiri atau Firson yang menunggangi kuda di sampingnya.

"Sepertinya seseorang sedang merapalkan sebuah mantra tingkat 'ilahi', Yang Mulia." 

Hanya Clasius dan Firson yang cukup senggang untuk melihat fenomena itu, karena mereka sedang berada dalam posisi mendominasi musuh.

Clasius mengerutkan keningnya. "Sihir tingkat ilahi… apa kau yakin, Firson? Bukankah itu berarti seekor Naga ikut campur dalam peperangan ini?" Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya.

"Saya yakin ini adalah sihir ilahi, tapi tidak mungkin seekor Naga merapalkan sihir ini tanpa memperlihatkan sosoknya. Kemungkinan ada seseorang di medan perang ini yang bisa merapalkan mantra tingkat ilahi."

Clasius mengangkat satu alisnya. "Firson, ini bukan saatnya untuk bercanda, meskipun aku tidak terlalu pintar, tapi aku tahu sihir ilahi hanya bisa dirapalkan oleh Naga atau Dewa. Kau ingin mengatakan bahwa seorang Dewa ada di— apa itu…?"

Cahaya ungu yang begitu besar terbentuk di langit hitam, petir yang tadinya berwarna putih kini berubah menjadi ungu. Cahaya, petir, dan angin bersatu membentuk sebuah pusaran besar di langit.

Clasius menyipitkan matanya, berusaha fokus pada sebuah benda yang keluar dari pusaran itu. "Pintu…?" tanyanya tidak yakin.

"Gerbang Neraka, Yang Mulia." Firson menjawab tanpa ragu.

"Apa katamu?!" bentaknya sambil menoleh ke arah Firson. "Jangan asal bicara, Firson!"

Firson menatap mata Clasius seolah melihat sangat jauh ke dalam jiwanya. Nada bicaranya mendadak berubah, tidak ada rasa hormat sedikit pun dalam setiap kata yang diucapkannya. 

"Aku tidak asal bicara, itulah kenyataannya." Firson memejamkan matanya. "1999 tahun. Itu waktu yang sangat lama, tetapi akhirnya aku berhasil juga. " 

Clasius mengernyit, dia sangat bingung mendengar perkataan Firson. "Apa maksudmu?"

Firson menghela napas, lalu berkata dengan nada sedingin es. "Manusia akan segera musnah."

Clasius membelalakkan mata, tercengang dengan kata-kata yang keluar dari mulut Tangan Kanannya itu. "Apa kau–"

"Vagrant! Buka gerbang!" sergah Firson memberikan sebuah perintah.

Tiba-tiba gerbang besar itu terbuka…

*AAARRGGGHHH!*

Raungan monster disertai jeritan-jeritan yang terdengar sangat menyakitkan membuat semua orang di medan perang menutupi telinga mereka serapat mungkin, termasuk Clasius, tapi tidak dengan Firson. Dia berdiri dengan gagah menatap Gerbang Neraka.

Setelah gerbang terbuka sepenuhnya, suara itu berhenti, terlihat ribuan— jutaan mata mengerikan yang menatap dunia dengan hasrat menghancurkan.

"Bunuh semua manusia yang ada di sini, jangan sisakan satu pun." ucap Firson dengan ekspresi datar.

Monster-monster Neraka turun dari langit, ada beberapa yang bisa terbang, namun kebanyakan hanya terjun bebas tanpa mempedulikan keselamatan mereka, monster yang pertama jatuh akan menjadi pijakan monster di atasnya. Bentuk tubuh mereka tidak lazim, terlalu mengerikan jika dipandang oleh manusia. Taring dan cakar mereka lebih tajam dari pedang baja. Rasa lapar, haus, serta nafsu birahi yang tidak mungkin bisa diredakan adalah sifat alami mereka.

Para prajurit yang tengah berperang memiliki satu pikiran sama persis; menjadi sekutu untuk bertahan dari gempuran para monster. Mereka membuat pertahanan yang kokoh menggunakan perisai-perisai yang terbuat dari mineral paling kuat di kerajaan mereka. Saat serangan taring dan cakar datang, mereka berhasil menahannya. 

Para penyihir berusaha menyerang di balik pertahanan yang dibuat oleh para kesatria. Namun, meski mereka terus menyerang, monster-monster itu tidak pernah habis. Jumlah mereka terlalu tidak masuk akal, bahkan jutaan pasukan sekalipun tidak mungkin bisa mengalahkan mereka. 

Monster yang bisa terbang dengan cerdasnya melesat ke balik pertahanan, mengubrak-abrik para penyihir dan para kesatria yang tengah bersembunyi di belakang perisai. Pertahanan akhirnya ambruk, monster-monster haus darah menyerang, mengoyak, membunuh, lalu memakan semua prajurit itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status