Menikah Dengan Abang
Lagi, dan lagi Abangku berulah. Hanya karena tidak mau aku nikah terlebih dahulu, dia kerap kali mengaku-ngaku jadi suamiku. Cih, Abang macam apa itu? Sudah empat kali, pacarku kabur karena ulahnya."Bang, sampe kapan sih kayak gini?""Sampe abang nikahlah," sahutnya dengan enteng sambil memantik korek api di sebatang rokok."Ya kalo gitu cepetan nikah!" Jawabku ketus seraya mengambil rokok yang terselip dibibirnya, lalu mematikan rokok tersebut ke atas asbak."Songong! Lagian lo aneh, pacaran ama cowok F*. Eh, gimana kalo cowok itu tua bangka, mau emang lo?""Idiiihh sok tau! Pokoknya Abang harus jelasin ke Raka kalo Abang --""Ogah!" Sahutnya berlalu.Dasar Abang Bewoookkk ... Awas aja, kalau ketauan dia punya pacar. Aku kerjain balik!***Seharian cek F******k, berharap Raka mau buka blokir akun aku. Tapi nyatanya nihil. Aku masih tak bisa menghubunginya lewat messenger. Bukan cuma F******k, media sosial lainnya pun diblokir oleh Raka. Ah, semua ini gara-gara Bang Bewok!"Eh, beliin Abang nasi goreng gih!" Tiba-tiba Abang rese datang, duduk di sebelahku."Ogah!""Kembaliannya buat lo." Aku tak menanggapi. Tetap bersikap cuek. Bodo amat!"Gue perhatiin, makin hari lo makin cantik deh! Apalagi kalau mau beliin gue nasi goreng. Pasti makin cantik! Beliin gih!" Rayuannya kali ini tidak mempan.Aku tak memperdulikannya, memilih tetap fokus membaca cerita di salah satu grup F*. Cerita bersambung salah satu penulis favoritku."Elah masih ngambek aja. Gini deh, Minggu besok Abang traktir nonton." Rayunya lagi sembari memamerkan senyuman. Mataku beralih menghadapnya. Menatap tajam bola mata kecoklatan milik lelaki yang bulan Juni besok berusia 27 tahun."O-GAH!!!" Teriakku tepat di sisi kanan telinganya, kemudian beranjak ke kamar, menutup pintu.Braakkk"Buseeettt!" Makian si Bewok masih kudengar.Dendi Hanggara, itu nama lengkapnya. Memiliki badan atletis, rambut gondrong, kumis tipis dan berjambang. Intinya Brewokan!Teman-temanku bilang sih tampan, keren. Tapi anehnya sampai saat ini tetap JOMBLO. Padahal cewek yang suka banyak. Apalagi kalau hari Valentine, banyak banget paket cokelat atau bunga yang terkirim buatnya. Mungkin selera cewek Bang Dendi terlalu tinggi. Bukannya cari pacar, dia malah sibuk kerja dan kerja. Yah, memang aku dan Bunda semenjak kepergian Ayah, dia menjadi tulang punggung.Setengah jam berkutat di kamar, akhirnya aku keluar, memastikan kalau si Bewok sudah enyah dari rumah.Tujuanku hari ini, hendak mengobrak-abrik kamar Bang Dendi. Pembalasan dari tingkah konyolnya.Klek!Untunglah, pintu tidak dikunci. Sejujurnya, ini kali pertama aku masuk kamarnya.Ternyata kamar Bang Dendi rapi juga, bersih lagi. Berbeda dengan tampangnya yang urak-urakkan.Sedetik, aku ragu untuk memporak-porandakkan kamarnya.Sebentar ... Sepertinya tidak perlu repot-repot bikin kamar ini berantakan. Lebih baik aku ambil saja beberapa barang berharga miliknya supaya dia kelimpungan mencarinya.Kira-kira barang apa ya? Oh aku ingat, Si Bewok rese itu paling gak mau buku agendanya disentuh apalagi dilihat orang lain. Bahkan buku agenda yang sudah copot sampulnya sering dibawa kemana-mana. Hem, mudah-mudahan buku sedang tidak dibawa.Aku menengok ke arah pintu. Memastikan tidak ada yang melihat.Setelah merasa aman, aku mulai menggeledah isi kamar bercat biru langit.Selang beberapa menit, akhirnya buku itu kutemukan. Pantesan bukunya gak dibawa, disimpan di bawah bantal. Sepertinya sifat pikun Abang sedang kumat.Bukunya benar-benar terlihat usang. Tapi lumayan tebal. Tanpa pikir panjang, kubuka lembaran pertama.Setelah membaca tiga lembar, dapat kupastikan ini buku catatan harian. Aku terkikik geli, ternyata Bang Dendi suka curhat di buku.Haduh ... hari gini gitu lho! Disaat orang lain sibuk curhat di sosmed, Abang masih setia menulis dibuku harian.Aku senyum sendiri saat membaca tulisan dia yang menceritakan awal mula orang tuanya mengangkatku sebagai anak.Membosankan! Kenapa si Bewok lebih banyak menceritakan tentang kejahilannya padaku sih? Ish!Jariku menpercepat lembaran berikutnya, hampir berada di lembar terakhir.Dahiku mengernyit saat membaca kalimat terakhir dari tulisannya."Love you, Ayu. Forever."Hah? Maksudnya apa? Ayu siapa?Aku membaca ulang tulisannya dari atas. Dari lembaran sebelumnya dengan teliti."Ya Tuhan," pekikku menutup mulut tak percaya. Abang yang selama ini aku anggap Kakak sendiri ternyata ....Ingatanku seketika melayang kejadian-kejadian yang telah kami lalui. Jadi, alasan Bang Dendi tidak memiliki pacar dan sering ngerecokin hubungan aku dengan laki-laki lain karena diam-diam mencintaiku?Ya Tuhan ... Ini tidak mungkin! Tidak mungkin Abang jatuh cinta padaku. Dia sering jahil, jutek bahkan terkadang galak. Masa iya cinta kayak gitu?Seketika kudengar pintu terbuka, lalu muncullah sosok laki-laki brewokan yang amat kukenali. Kami sama-sama terkejut. Aku berdiri, menjatuhkan buku agenda harian Abang ke atas kasur."Ayu?"***Kedua mata Abang mendelik ke arah buku yang aku jatuhkan di atas kasurnya.Sesaat, aku sempat salah tingkah.Meremas jari jemari. Menggigit bibir bawah. Khawatir kalau Abang marah. “Ngapain lo masuk kamar ini?” tanya Abang kesal. Aku gelagapan. “Eu ... Eu ... Hm ... Ya terserah akulah. Salah sendiri kenapa pintu kamar gak dikunci!” Jawabku sewot, menghilangkan rasa panik. Abang melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, tangan kiri Abang mengacak rambutnya. “Lo udah baca buku itu?” tanya Abang berjalan masuk kamar, meraih buku agenda, lalu mengangkatnya. Kulihat wajahnya memerah. Aku tak mengerti, memerah pertanda Abang marah atau pertanda menahan malu. “Idiiih ... Ngapain baca buku bulukan itu? Bau lagi kayak orangnya! Dah ah, aku mau keluar!” Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamarnya. Brukkh!! Sengaja, aku membanting pintu kamar Abang dengan keras. “Pokoknya Abang gak boleh
Usai acara syukuran, Bunda mengenalkanku pada laki-laki yang bernama Firman. “Ayu sekarang udah besar ya, cantik lagi!” ucap Tante Ratih saat aku mencium punggung tangannya. “Tante bisa aja.” Aku tersipu malu mendapat pujian dari Maminya Firman. “Ayu ini dari kecil emang sudah cantik, Jeng.” Timpal Bunda membuatku semakin bersemu merah. Aku celingak celinguk, rasanya lega si Abang gak ada di sekitarku. Kalau ada dia, pasti pujian ini dibantahnya. “Firman, sini, Nak!” Tante Ratih memanggil laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Orang yang dipanggil Firman menghampiri. Wajahnya sih lumayan ganteng, pakaiannya juga rapi, dan rambutnya klimis. Sampai terlihat mengkilat. Kelihatannya Firman tipikal cowok yang suka memerhatikan penampilan. Beda sekali sama si Abang, yang tampangnya urak-urakkan. Ngomong-ngomong Abang kemana ya? “Iya, Mi?” sahut Firman menurunkan habdphone, aku melirik sekilas ke benda android miliknya, oh r
“Bunda setuju?” tanya Abang melirik dari kaca spion depan. “Tadinya setuju, tapi lihat tingkah dia kayak gitu, Bunda jadi mikir lagi.” “Jangan pake mikir, Bun. Lagian Bunda main jodoh-jodohin aja. Udah bukan zaman Siti Nurbaya, Bun.” Nada bicara Abang terdengar kesal. “Dendy, kok jadi kamu yang sewot?” “Sewot? Dendy biasa aja! Eh, Ayu, emang lo mau dinikahin ama banci itu?” tanya Abang memicingkan kedua matanya lewat kaca spion.Aku pura-pura berpikir. “Hmm ... mau gak mau sih! Tapi menurut Ayu ya Bun, Kak Firman gak banci kok. Orang badannya kekar gitu. Kalau banci kan kemayu, melambai.” “Ya elah! Tadi kan lo lihat sendiri dia nangis-nangis.” “Wajar, Bang ... dia nangis. Orang dikatain banci,” sahutku menatap luar jendela. Padahal dalam hati amit-amit punya laki kayak si Firman. “Geser otak si Ayu. Udah gak bisa bedain laki-laki sejati ama laki-laki banci.” Abang masih gak mau kalah. “Emang laki-la
Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah. “Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu. “Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu. “Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi. “Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah! “Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa. “Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami. “Bunda ....” “Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku. “Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum
Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok.Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.“Napa emang?”“Idih, ditanya balik tanya
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s
Di dalam kamar, aku terus memikirkan sikap Abang. Apakah dia marah? Malu? Atau benci karena aku sudah lancang masuk kamarnya dan membaca buku agenda? Duh, bikin bingung aja. Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur. ***Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang. “Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah .... “Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....” “Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara. “Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena. “Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue