Kedua mata Abang mendelik ke arah buku yang aku jatuhkan di atas kasurnya.
Sesaat, aku sempat salah tingkah.Meremas jari jemari. Menggigit bibir bawah. Khawatir kalau Abang marah.“Ngapain lo masuk kamar ini?” tanya Abang kesal. Aku gelagapan.
“Eu ... Eu ... Hm ... Ya terserah akulah. Salah sendiri kenapa pintu kamar gak dikunci!” Jawabku sewot, menghilangkan rasa panik. Abang melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, tangan kiri Abang mengacak rambutnya.“Lo udah baca buku itu?” tanya Abang berjalan masuk kamar, meraih buku agenda, lalu mengangkatnya. Kulihat wajahnya memerah. Aku tak mengerti, memerah pertanda Abang marah atau pertanda menahan malu.“Idiiih ... Ngapain baca buku bulukan itu? Bau lagi kayak orangnya! Dah ah, aku mau keluar!” Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamarnya.Brukkh!!Sengaja, aku membanting pintu kamar Abang dengan keras. “Pokoknya Abang gak boleh tau kalau aku udah tau perasaannya. Bisa-bisa nanti sikapnya berubah. Jadi canggung atau ... Lebay?! Iiihh ....” Aku membatin, membayangkan Abang bersikap sok manis selayaknya seorang kekasih. Pasti bakalan aneh.***“Yu, Ayu! Buka dulu pintunya!” Suara Abang dari luar pintu kamar terdengar. Semakin malas saja aku bertemu dia. Entahlah, semenjak tahu isi perasaan Abang, sebisa mungkin aku menghindar berpapasan dengannya."Ayu!! Woy, bukaaaa ... Gue dobrak nih!!"“Bentaaaar ....” Aku menyambar kerudung bergo, membuka pintu.“Apa??”“Beliin rokok bentar! Nih duitnya! Buruan!” Katanya cinta, kerjaannya nyuruh mulu.“Bibirnya jangan manyun gitu. Jelek! Udah buruan! Mulut gue sepet nih!”“Ngerokok mulu sih, Bang? Mending duitnya buat aku. Mayan buat beli kuota.”“Elah, kuota kan tiap bulan emang Abang yang isiin.”“Ini kenapa sih ribut terus?” Tiba-tiba Bunda menyembul dari dapur. Tangan kanannya memegang alat penggorengan.“Abang nih, Bun. Ngerokok mulu!”“Malah ngadu ....”“Dendy ....” Panggil Bunda lembut.“Bunda ....” sahut Abang sok manja, wajahnya setengah memelas, senyum ia paksakan. Aku tersenyum geli melihat tingkah konyolnya.“Kurangin merokoknya. Kalau perlu, ber-hen-ti!!"“Insya Allah, Bunda ... Ayu, balikin duit gue, gak jadi.” Abang ngeloyor pergi setelah uangnya aku kembalikan. Aku berjalan menghampiri Bunda, mau bantu masak.“Ayu, nanti malam ikut Bunda ya?”“Kemana, Bun?”“Ada teman Bunda yang ngadain syukuran. Anaknya baru lulus S2 dari luar negeri.”“Bunda, anaknya cewek cowok?” tanyaku setengah berbisik. “Ayu mau temenin Dendy ke toko buku, Bun! Ya kan, Yu?” Entah sejak kapan datangnya, suara Abang sudah dekat di telingaku. Aku dan Bunda menoleh ke asal suara.“Idih ... kapan aku bilang mau? Gak lah yau! Ayu mau ikut sama Bunda!” Aku antusias menerima ajakan Bunda.“Tumben kamu mau ikut ke acara teman Bunda?”
“Sekali-kali,” sahutnya melirik ke arahku. Aku memanyunkan bibir.“Ya udah, nanti malam kita berangkat bareng-bareng.” Bunda masuk kamar, Abang menatapku lekat.“Eh, anak kecil! Jangan genit! Kuliah yang bener! Pake nanya cowok apa cewek!” Asem, kepalaku digetok!“Emang napa? Abang cemburu?” Ups! Aku keceplosan. Kedua mata Abang membulat. Keningnya mengkerut.“Ck, cemburu ama bocah ingusan kayak lo? Soooori!!” jawabnya menekan dahiku. Aku tersenyum mendengar jawabannya.“Jelek! Ngapain lo senyum-senyum?”“Bunda ... Abang ngatain Ayu jelek nih ....” Aku berteriak.“Dendyyyy ....” suara Bunda dari dapur.“Bunda ....” sahut Abang seperti biasa.“Bilang, Ayu cantik!” titah Bunda. Aku menahan gelak tawa. Abang melotot. Tangan kanan di pinggang, tangan kiri mengacak rambut.“Ayu cantik deh!” “Mamacih Abang Ewok, wue ....” Aku menjulurkan lidah lalu berjingkat masuk kamar.*** Malam harinya, Aku, Bunda dan Abang berangkat ke rumah Tante Ratih. Hanya memakan waktu 40 menit untuk sampai di kediaman teman arisan Bunda.“Bun, kok Ibu-ibu semua sih? Gak ada yang mudaan dikit gitu?” celetuk Abang saat kami turun dari mobil. Aku memutar bola mata malas. Hem, ngatain aku genit, dia sendiri lebih genit!“Dendy, temen arisan Bunda rata-rata Ibu-ibu.”“Lah terus, si Ayu ngapain diajak?”“Tante Ratih yang minta," sahut Bunda penuh misteri kalimatnya.“Maksudnya?” tanyaku dan Abang berbarengan. Bunda menatap kami bergantian.“Ayu mau dikenalin sama Firman. Mungkin mau dijodohin. Udah ah, ayok kita masuk!” ajak Bunda. Abang menarik lenganku. Hampir saja aku terjengkang.“Apaan sih, Bang?” Kutepis tangannya dari lenganku.“Jangan mau ama si Firman, dia pernah tinggal di luar negeri," ucap Abang setengah berbisik.“Terus?” Aku tak mengerti apa yang dimaksud Bang Dendy.“Di luar negeri, free sex udah dianggap biasa. Lo mau punya laki bekas anuan ama orang?”"Anuan? Anuan apa?""Hubungan intim, Jeleeek ... Gitu aja gak paham."Spontan aku injak kaki Abang, melotot ke arahnya.“Aaww!!” jeritnya sambil mengangkat sebelah kaki.“Suuzhon!!!” sungutku berjalan meninggalkan Abang yang masih memegang sebelah kakinya.PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit