Usai acara syukuran, Bunda mengenalkanku pada laki-laki yang bernama Firman.
“Ayu sekarang udah besar ya, cantik lagi!” ucap Tante Ratih saat aku mencium punggung tangannya.
“Tante bisa aja.” Aku tersipu malu mendapat pujian dari Maminya Firman.
“Ayu ini dari kecil emang sudah cantik, Jeng.” Timpal Bunda membuatku semakin bersemu merah. Aku celingak celinguk, rasanya lega si Abang gak ada di sekitarku. Kalau ada dia, pasti pujian ini dibantahnya.
“Firman, sini, Nak!” Tante Ratih memanggil laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Orang yang dipanggil Firman menghampiri.
Wajahnya sih lumayan ganteng, pakaiannya juga rapi, dan rambutnya klimis. Sampai terlihat mengkilat. Kelihatannya Firman tipikal cowok yang suka memerhatikan penampilan. Beda sekali sama si Abang, yang tampangnya urak-urakkan. Ngomong-ngomong Abang kemana ya?
“Iya, Mi?” sahut Firman menurunkan habdphone, aku melirik sekilas ke benda android miliknya, oh rupanya Firman dari tadi main game.
“Ini lho gadis yang mau Mami kenalin sama kamu. Ayu ... kenalin ini Firman anak tante.” Firman mengulurkan tangan, aku pun menyambutnya.
“Ayu,” ucapku seraya tersenyum.
“Jeng Tari, kita ke sana yuk! Biar anak-anak ngobrol berdua.” Tante Ratih mengajak Bunda menjauhi dari aku dan Firman.
“Iya, Jeng! Ayu, Bunda ke sana dulu ya?”
“Iya, Bun.”
Setelah Bunda dan Tante Ratih menjauh, Firman mengajakku duduk-duduk di teras rumahnya. Tanganku langsung saja digenggamnya. Beberapa kali aku coba melepaskan, namun ia menahan. Rumah tante Ratih sudah tidak terlalu ramai. Beberapa teman Ibunya Firman itu sudah pulang.Sampai di teras, kulihat Abang sedang merokok di bangku kayu. Kehadiran kami membuatnya mematikan rokok.
“Lo mau kemana, Yu?” tanya Abang mendekati.“Eh, lepasin tangan lo! Baru kenal main pegang-pegang aja!” seru Abang sewot. Firman langsung melepaskan tangannya. Raut wajahnya berubah kesal.
“Gak kemana-mana. Cuma mau duduk di situ.” Aku menunjuk dua bangku. Kemudian duduk di bangku kayu yang bersisian. Firman menggeser bangku agar lebih dekat denganku. Sementara Abang duduk di atas teras.
“Ayu,” sapa Firman.
“Iya, Kak?”
“Itu siapa?”
“Gue Abangnya. Napa?” jawab Abang sudah berdiri di samping bangku yang aku duduki.
“Oh Cuma Abangnya.” Firman bergumam. Memalingkan wajah tak suka.
“Ayu sekarang kuliah semester berapa?” Firman bertanya kembali. Baru saja mulutku menganga.
“Semester akhir! Mau skripsi.” Abang nyeletuk. Aku mendongak, menatap Abang sebal. Laki-laki gondrong itu berdiri sambil bersidekap. Firman juga ikutan menoleh ke Abang.
Lelaki yang katanya lulusan S2 itu menarik napas panjang. Mungkin sedang menahan emosi.
“Ambil jurusan apa?” tanya Firman memaksakan tersenyum, kedua netranya menatapku lekat
“Designer! Tau lo designer? Tukang gambar baju!” cetus Abang, membuatku kesabaranmu berbatas.
“Abang diem deh! Orang yang ditanya aku, Abang terus yang jawab!” protesku memukul lengannya.
“Ya kan jawabannya benar. Lo atau gue yang jawab, sama aja!” tukas Abang. Aku melirik Firman. Dia nampak tak suka dengan Abang. Aku mengembuskan napas.
“Kak Firman sekarang udah kerja?” Giliranku yang bertanya, mengalihkan pembicaraan, mencairkan suasana.
“Ngapain lo tanya begituan ama dia?” Abang malah bertanya.
“Abang rese deh! Sono gih jauh-jauh. Aku mau ngobrol sama Kak Firman.” Bukannya menjauh, si Abang malah membisikkan sesuatu.
“Eh, lo harus inget. Dia jebolan kuliah di luar negeri, kalo lu diapa-apain gimana?” Aku melirik Firman.
Iya juga sih, tadi aja baru kenal sudah pegang-pegangan, tatapannya juga kayak bernafsu gitu. Ish!
“Aku belum kerja. Kan baru aja lulus. Lagian ngapain juga kerja, harta Papi aku kan udah banyak. Udah gitu aku anak tunggal. Pastilah harta warisannya jatuh ke aku semua.” Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Firman. Abang tersenyum sinis.
“Payah banget sih lo jadi laki! Bukannya kerja, ngandelin duit orang tua!” cetus Abang sinis. Firman berdiri, mungkin dia tak suka mendengar omongan Abang.
“Kamu bilang aku payah?” Firman berdiri tegap di depan Abang. Aku menarik kursi, ikutan berdiri.
“Iya. Lo emang payah! Dengerin omongan gue, laki-laki sejati itu, walaupun duit bokap nyokapnya segunung, pantang ngarep minta, dia milih kerja dari keringetnya sendiri. Lo tau apa namanya laki-laki yang Cuma bisa minta duit ke bokap nyokapnya tanpa mau kerja?” cecar Abang tak sopan. Wajah Firman yang mulus memerah. Menahan amarah.
“A-apa? Kamu bilang aku apa?” suara anak semata wayang Tante Ratih bergetar. Kedua matanya terlihat berembun.
Abang maju selangkah, menatap sengit muka Firman.
“Ban-ci!!!”
Aku menutup mulut dengan kedua tangan mendengar ucapan Abang. Berani sekali abang bilang seperti itu di rumah Firman. Kedua mata Firman memerah, bibirnya bergetar dan tiba-tiba ....“Mamiiiii ... Abangnya Ayu jahaaaaat ....” teriak Firman, setengah berlari masuk ke dalam sambil menangis. Aku dan Abang saling pandang, lalu tertawa.
“Yu, dia beneran banci. Hahaha ....” Aku mengangguk-angguk, membenarkan ucapan Abang.
Tawa kami terhenti saat Bunda keluar.“Dendy, kamu apain Firman?"
“Gak diapa-apain, tuh tanya si Ayu!”
“Ayu?”Bunda mencari pembenaran padaku.
“Ceritanya di mobil aja ya, Bun. Mending sekarang kita pulang.”
“Cakep tuh kata si Ayu. Mending sekarang kita pulang, Bun. Ngapain lama-lama di sini. Sarjana S2 kawe segala pake acara syukuran!”
"Kamu ngomong apa?"
"Udah deh, Bang. Yuk ah, Bun pulang!" Aku menggamit lengan Bunda berjalan menuju mobil sambil geleng-geleng kepala. Aku dan Abang masih menahan tawa.
“Jadi, tadi Firman kamu apain? Nangisnya sampe histeris gitu. Bunda kan jadi gak enak.” Tanya Bunda saat di dalam mobil.
“Abang gokil, Bun. Masa Kak Firman dikatain banci.”
“Serius kamu, Den?”
“Bukan Cuma banci, si Firman itu anak Mami. Dendy gak yakin kalau si Firman kuliah di luar negeri. Orang anak Mi gitu!” ucap Abang mengejek. Bunda membuang napas.
"Gak boleh bilang gitu, Nak ... Tapi Bunda juga gak yakin sih!"
"Nah, kaaan ... Lah terus ngapain Bunda pake kenalin si Ayu ama si Banci?"
“Soalnya ... Jeng Ratih pengen jodohin Firman sama Ayu.”
“Apa???” Aku dan Abang serempak terkejut.
“Bunda setuju?” tanya Abang melirik dari kaca spion depan. “Tadinya setuju, tapi lihat tingkah dia kayak gitu, Bunda jadi mikir lagi.” “Jangan pake mikir, Bun. Lagian Bunda main jodoh-jodohin aja. Udah bukan zaman Siti Nurbaya, Bun.” Nada bicara Abang terdengar kesal. “Dendy, kok jadi kamu yang sewot?” “Sewot? Dendy biasa aja! Eh, Ayu, emang lo mau dinikahin ama banci itu?” tanya Abang memicingkan kedua matanya lewat kaca spion.Aku pura-pura berpikir. “Hmm ... mau gak mau sih! Tapi menurut Ayu ya Bun, Kak Firman gak banci kok. Orang badannya kekar gitu. Kalau banci kan kemayu, melambai.” “Ya elah! Tadi kan lo lihat sendiri dia nangis-nangis.” “Wajar, Bang ... dia nangis. Orang dikatain banci,” sahutku menatap luar jendela. Padahal dalam hati amit-amit punya laki kayak si Firman. “Geser otak si Ayu. Udah gak bisa bedain laki-laki sejati ama laki-laki banci.” Abang masih gak mau kalah. “Emang laki-la
Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah. “Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu. “Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu. “Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi. “Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah! “Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa. “Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami. “Bunda ....” “Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku. “Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum
Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok.Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.“Napa emang?”“Idih, ditanya balik tanya
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s
Di dalam kamar, aku terus memikirkan sikap Abang. Apakah dia marah? Malu? Atau benci karena aku sudah lancang masuk kamarnya dan membaca buku agenda? Duh, bikin bingung aja. Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur. ***Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang. “Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah .... “Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....” “Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara. “Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena. “Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue
“Jelas-jelas dia sebut nama lo, napa bilang salah sambung?” Silvi menelisik. Sejak malam itu, aku sudah ilfeel banget ama si Firman. “Gak apa-apa. Ilfeel aja ama cowok kek dia. Dah ah, jangan dibahas!” Aku mengecek handphone kembali. Menekan foto profil WA Abang, lukisan sebuah taman. Abang termasuk orang yang jarang banget upload foto. Setahuku, Abang gak punya F******k, I*******m, apalagi Telegram. Dia Cuma WA. Aku mengetahui hal itu, saat pinjem handphonenya. “Abang gak punya I*, F*, Tele?” “Gak,” sahutnya ketika itu. “Kenapa?” “Gak suka.” “dih, norak!” Mengingat itu, aku tersenyum lagi. “Sil?” panggilku pada Silvi yang sudah asyik main game. “Hm.” “Kayaknya gue gak sanggup deh!” Dia menghentikkan main game, memerhatikanku. “Gak sanggup hidup?” “Bukan! Gak sanggup nahan gak chat ama Abang. Gue kangen tau!” Aku bersungut sambil memerhatikan WA Abang, gak online. “Serah lo! Gue kan Cuma kasih saran!” Kedua mata gadis itu fokus kembali pada handphone di tangan. Aku menge
PoV Abang“Iya.”Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba