Share

Tak Sengaja Dengar

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2021-07-16 11:47:48

“Bunda setuju?” tanya Abang melirik dari kaca spion depan.

“Tadinya setuju, tapi lihat tingkah dia kayak gitu, Bunda jadi mikir lagi.”

“Jangan pake mikir, Bun. Lagian Bunda main jodoh-jodohin aja. Udah bukan zaman Siti Nurbaya, Bun.” Nada bicara Abang terdengar kesal. 

“Dendy, kok jadi kamu yang sewot?”

“Sewot? Dendy biasa aja! Eh, Ayu, emang lo mau dinikahin ama banci itu?” tanya Abang memicingkan kedua matanya lewat kaca spion.

Aku pura-pura berpikir.

“Hmm ... mau gak mau sih! Tapi menurut Ayu ya Bun, Kak Firman gak banci kok. Orang badannya kekar gitu. Kalau banci kan kemayu, melambai.”

“Ya elah! Tadi kan lo lihat sendiri dia nangis-nangis.”

“Wajar, Bang ... dia nangis. Orang dikatain banci,” sahutku menatap luar jendela. Padahal dalam hati amit-amit punya laki kayak si Firman.

“Geser otak si Ayu. Udah gak bisa bedain laki-laki sejati ama laki-laki banci.” Abang masih gak mau kalah.

“Emang laki-laki sejati kayak siapa?”

“Abanglah!”

“Huuuuuhhh ... Pedeeee ....” Aku dan Bunda menyorakinya. Bibir Abang mengerucut.

“Beraninya maen keroyokan!” Aku tertawa melihat ekspresi Abang. Dasar gengsian!

*** 

Malam harinya, aku terbangun, tenggorokan haus. Kulihat jam dinding pukul 00.35.

Bangkit dari tempat tidur, melangkahkan kaki ke dapur. Saat melewati kamar Bunda, samar kudengar orang yang sedang berbincang. Pintu kamar Bunda setengah terbuka. Aku menempelkan tubuh pada dinding kamar. Melongok sedikit ke dalam kamar. Terlihat Abang duduk berlutut di bawah kaki Bunda. Sementara Bunda duduk di tepian tempat tidur.

“Bun, tolong ngertiin perasaan, Dendy.”

“Apa kata orang-orang kalau sampe kamu nikahin Ayu?” Aku menutup mulut mendengar pertanyaan Bunda dengan nada ditekan.

“Gak peduli! Dendy gak peduli omongan orang-orang. Selama ini, Dendy gak pernah dekat sama cewek karena hati Dendy udah ada Ayu. Ayu cinta pertama dan terakhir Dendy. Tolong, Bunda ... jangan pernah biarin Ayu nikah sama cowok lain. Dendy benar-benar sayang Ayu. Dendy, mohon ....” Seketika mataku berembun. Tak menyangka Abang memiliki perasaan yang begitu besar.

“Bagaimana kalau Ayu gak punya perasaan yang sama dengan kamu? Apa kamu tetap maksa dia buat nikah dengan kamu?” Pertanyaan Bunda sangat menohok. Spontan kupegang dada ini. Meraba hati. Apa aku sebenarnya punya perasaan yang sama dengan Abang? Aku memang sayang Abang, tapi sejauh ini hanya rasa sayang kepada kakak.

“Jawab, Nak ... apa akan memaksa Ayu untuk mencintai kamu?”

“Enggak. Dendy gak akan maksa. Kalau emang ada laki-laki yang menurut Dendy baik, bisa lindungi Ayu, Dendy rela Ayu dinikahi laki-laki itu.” Jawaban Abang membuat air mataku menitik. Aku tak sanggup mendengarnya lagi. Setengah berlari kembali masuk kamar. Mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Rasa haus yang sempat menyerang, kini basah oleh isak tangis.

Ya Allah, hanya Engkau yang tahu siapa jodohku. Aku mohon, berikan laki-laki yang terbaik untuk imamku kelak. Aamiin. 

*** 

Pagi hari, aku masih bersikap biasa. Berbeda dengan Bunda dan Abang. Mereka terlihat lebih pendiam dari biasanya.

“Ehm, Bang! Sebelum ke kampus, anterin Ayu ke toko buku langganan ya?” tanyaku memecah keheningan. Bunda menghentikkan suapan nasi goreng, menoleh ke Abang, lalu kepadaku.

“Ayu, naik gojek aja ya? Abang mau anter Bunda belanja.” Kulirik Abang masih cuek, dia menyantap sarapannya tanpa menoleh sedikitpun.

“Iya, Bun,” sahutku tersenyum tipis. 

Kenapa Bunda seolah melarang? Apa Bunda tidak suka, kalau aku dekat sama Abang?

“Ayu berangkat, Bun.” Aku mencium punggung tangan Bunda. 

“Ojeknya udah dateng?” tanya Abang. Entah kenapa, kali ini mendengar suara Abang aku sangat senang.

“Udah. Ayu berangkat ya? Assalamualaikum.” 

“Waalaikumsalam.”

Selama perjalanan ke kampus, aku teringat ucapan Abang semalam. Dia kelihatan sangat tulus mencintaiku. Tapi sikap bunda, seolah tak menyukai perasaannya. Mungkinkah aku bukan calon mantu idaman Bunda? Apa mungkin karena asal usulku yang tidak jelas?

Bunda seorang wanita sosialita. Abang juga punya perusahaan sendiri. Perusahaan yang didirikan oleh Almarhum Ayah. Bagaimana jadinya kalau Bunda punya menantu yang asal usulnya gak jelas sepertiku? Aku hanya anak angkat. Bayi diletakkan di depan gerbang rumah Bunda di dalam kardus. 

 Tidak! Aku harus tahu diri. Bunda dan keluarga sudah sangat baik merawat dan menyekolahkanku. Mumpung perasaanku belum bisa ditebak, aku harus mengubur harapan ini. Meski Abang sayang padaku, kalau Bunda tidak merestui, lebih baik aku mengalah. 

Bimbingan skripsiku alhamdulillah sudah kelar. Kemungkinan seminggu lagi sidang. Semoga dilancarkan. Aku ingin segera lulus, supaya cepat dapat kerja dan tinggal di rumah kontrakan.

“Yu, Abang kamu gak jemput?” tanya Sudira salah satu sahabatku.

“Kayaknya enggak.”

“Aku anterin ya?”

“Boleh.”

Kami pun berjalan beriringan, mantan ketua BEM itu membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk.

*** 

Sudira mematikan mesin mobil di depan gerbang rumah.

“Makasih, Dir.”

Aku langsung turun dari mobil. Tepat di depan pintu gerbang, temanku itu memanggil.

“Yu, Ayu!” Aku menoleh.

“Ada apa?” Sudira berdiri di hadapanku.

“Nanti malam nonton yuk! Filmnya bagus lho!”

“Emang film apaan?” 

“Film drama Korea. Ceritanya romantis. Bisa ya?” Aku berpikir sejenak. Menimbang ajakan lelaki bernama lengkap Sudira Hernanda.

“Gak bisa!” Tiba-tiba Abang menjawab dari belakang punggungku. Aku mendongak menatapnya. 

“Si Ayu gak suka film begituan!” Dahi Dira berkerut.

“Emang Ayu sukanya film apa?”

“Film India!” jawab Abang ketus.

“Abang, ih!” Aku nyeletuk. Asal jawab amat.

“Udah pulang sana!” Abang mendorong bahu Sudira.

“Beneran, Yu kamu suka film India?”

Baru saja mulutku menjawab.

“Iya bener! Gak percayaan amat! Udah pulang sana! Ayu masuk ke dalam.” titah Abang, kedua matanya melotot.

“Iya, Bang.”

Aku tersenyum melihat tingkah Abang yang masih bersikap protektif. Tak kuhiraukan suara Dira yang masih memanggil.

Semoga selamanya Abang seperti ini. Aamiin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
lucu juga si abang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Melahirkan

    PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Peresmian dan Persalinan

    PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Kebakaran

    PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Bidadari Dalam Mimpi

    PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Perubahan Dokter Rahmat

    PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Pemakaman

    PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status