“Tadinya setuju, tapi lihat tingkah dia kayak gitu, Bunda jadi mikir lagi.”
“Jangan pake mikir, Bun. Lagian Bunda main jodoh-jodohin aja. Udah bukan zaman Siti Nurbaya, Bun.” Nada bicara Abang terdengar kesal.
“Dendy, kok jadi kamu yang sewot?”
“Sewot? Dendy biasa aja! Eh, Ayu, emang lo mau dinikahin ama banci itu?” tanya Abang memicingkan kedua matanya lewat kaca spion.
Aku pura-pura berpikir.“Hmm ... mau gak mau sih! Tapi menurut Ayu ya Bun, Kak Firman gak banci kok. Orang badannya kekar gitu. Kalau banci kan kemayu, melambai.”
“Ya elah! Tadi kan lo lihat sendiri dia nangis-nangis.”
“Wajar, Bang ... dia nangis. Orang dikatain banci,” sahutku menatap luar jendela. Padahal dalam hati amit-amit punya laki kayak si Firman.
“Geser otak si Ayu. Udah gak bisa bedain laki-laki sejati ama laki-laki banci.” Abang masih gak mau kalah.
“Emang laki-laki sejati kayak siapa?”
“Abanglah!”
“Huuuuuhhh ... Pedeeee ....” Aku dan Bunda menyorakinya. Bibir Abang mengerucut.
“Beraninya maen keroyokan!” Aku tertawa melihat ekspresi Abang. Dasar gengsian!
***
Malam harinya, aku terbangun, tenggorokan haus. Kulihat jam dinding pukul 00.35.Bangkit dari tempat tidur, melangkahkan kaki ke dapur. Saat melewati kamar Bunda, samar kudengar orang yang sedang berbincang. Pintu kamar Bunda setengah terbuka. Aku menempelkan tubuh pada dinding kamar. Melongok sedikit ke dalam kamar. Terlihat Abang duduk berlutut di bawah kaki Bunda. Sementara Bunda duduk di tepian tempat tidur.“Bun, tolong ngertiin perasaan, Dendy.”
“Apa kata orang-orang kalau sampe kamu nikahin Ayu?” Aku menutup mulut mendengar pertanyaan Bunda dengan nada ditekan.
“Gak peduli! Dendy gak peduli omongan orang-orang. Selama ini, Dendy gak pernah dekat sama cewek karena hati Dendy udah ada Ayu. Ayu cinta pertama dan terakhir Dendy. Tolong, Bunda ... jangan pernah biarin Ayu nikah sama cowok lain. Dendy benar-benar sayang Ayu. Dendy, mohon ....” Seketika mataku berembun. Tak menyangka Abang memiliki perasaan yang begitu besar.
“Bagaimana kalau Ayu gak punya perasaan yang sama dengan kamu? Apa kamu tetap maksa dia buat nikah dengan kamu?” Pertanyaan Bunda sangat menohok. Spontan kupegang dada ini. Meraba hati. Apa aku sebenarnya punya perasaan yang sama dengan Abang? Aku memang sayang Abang, tapi sejauh ini hanya rasa sayang kepada kakak.
“Jawab, Nak ... apa akan memaksa Ayu untuk mencintai kamu?”
“Enggak. Dendy gak akan maksa. Kalau emang ada laki-laki yang menurut Dendy baik, bisa lindungi Ayu, Dendy rela Ayu dinikahi laki-laki itu.” Jawaban Abang membuat air mataku menitik. Aku tak sanggup mendengarnya lagi. Setengah berlari kembali masuk kamar. Mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Rasa haus yang sempat menyerang, kini basah oleh isak tangis.
Ya Allah, hanya Engkau yang tahu siapa jodohku. Aku mohon, berikan laki-laki yang terbaik untuk imamku kelak. Aamiin.
***
Pagi hari, aku masih bersikap biasa. Berbeda dengan Bunda dan Abang. Mereka terlihat lebih pendiam dari biasanya.“Ehm, Bang! Sebelum ke kampus, anterin Ayu ke toko buku langganan ya?” tanyaku memecah keheningan. Bunda menghentikkan suapan nasi goreng, menoleh ke Abang, lalu kepadaku.
“Ayu, naik gojek aja ya? Abang mau anter Bunda belanja.” Kulirik Abang masih cuek, dia menyantap sarapannya tanpa menoleh sedikitpun.
“Iya, Bun,” sahutku tersenyum tipis.
Kenapa Bunda seolah melarang? Apa Bunda tidak suka, kalau aku dekat sama Abang?“Ayu berangkat, Bun.” Aku mencium punggung tangan Bunda.
“Ojeknya udah dateng?” tanya Abang. Entah kenapa, kali ini mendengar suara Abang aku sangat senang.
“Udah. Ayu berangkat ya? Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Selama perjalanan ke kampus, aku teringat ucapan Abang semalam. Dia kelihatan sangat tulus mencintaiku. Tapi sikap bunda, seolah tak menyukai perasaannya. Mungkinkah aku bukan calon mantu idaman Bunda? Apa mungkin karena asal usulku yang tidak jelas?
Bunda seorang wanita sosialita. Abang juga punya perusahaan sendiri. Perusahaan yang didirikan oleh Almarhum Ayah. Bagaimana jadinya kalau Bunda punya menantu yang asal usulnya gak jelas sepertiku? Aku hanya anak angkat. Bayi diletakkan di depan gerbang rumah Bunda di dalam kardus.
Tidak! Aku harus tahu diri. Bunda dan keluarga sudah sangat baik merawat dan menyekolahkanku. Mumpung perasaanku belum bisa ditebak, aku harus mengubur harapan ini. Meski Abang sayang padaku, kalau Bunda tidak merestui, lebih baik aku mengalah.
Bimbingan skripsiku alhamdulillah sudah kelar. Kemungkinan seminggu lagi sidang. Semoga dilancarkan. Aku ingin segera lulus, supaya cepat dapat kerja dan tinggal di rumah kontrakan.
“Yu, Abang kamu gak jemput?” tanya Sudira salah satu sahabatku.
“Kayaknya enggak.”
“Aku anterin ya?”
“Boleh.”
Kami pun berjalan beriringan, mantan ketua BEM itu membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk.*** Sudira mematikan mesin mobil di depan gerbang rumah.“Makasih, Dir.”
Aku langsung turun dari mobil. Tepat di depan pintu gerbang, temanku itu memanggil.“Yu, Ayu!” Aku menoleh.
“Ada apa?” Sudira berdiri di hadapanku.
“Nanti malam nonton yuk! Filmnya bagus lho!”
“Emang film apaan?”
“Film drama Korea. Ceritanya romantis. Bisa ya?” Aku berpikir sejenak. Menimbang ajakan lelaki bernama lengkap Sudira Hernanda.
“Gak bisa!” Tiba-tiba Abang menjawab dari belakang punggungku. Aku mendongak menatapnya.
“Si Ayu gak suka film begituan!” Dahi Dira berkerut.
“Emang Ayu sukanya film apa?”
“Film India!” jawab Abang ketus.
“Abang, ih!” Aku nyeletuk. Asal jawab amat.
“Udah pulang sana!” Abang mendorong bahu Sudira.
“Beneran, Yu kamu suka film India?”
Baru saja mulutku menjawab.“Iya bener! Gak percayaan amat! Udah pulang sana! Ayu masuk ke dalam.” titah Abang, kedua matanya melotot.
“Iya, Bang.”
Aku tersenyum melihat tingkah Abang yang masih bersikap protektif. Tak kuhiraukan suara Dira yang masih memanggil.Semoga selamanya Abang seperti ini. Aamiin.Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah. “Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu. “Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu. “Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi. “Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah! “Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa. “Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami. “Bunda ....” “Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku. “Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum
Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok.Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.“Napa emang?”“Idih, ditanya balik tanya
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s
Di dalam kamar, aku terus memikirkan sikap Abang. Apakah dia marah? Malu? Atau benci karena aku sudah lancang masuk kamarnya dan membaca buku agenda? Duh, bikin bingung aja. Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur. ***Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang. “Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah .... “Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....” “Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara. “Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena. “Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue
“Jelas-jelas dia sebut nama lo, napa bilang salah sambung?” Silvi menelisik. Sejak malam itu, aku sudah ilfeel banget ama si Firman. “Gak apa-apa. Ilfeel aja ama cowok kek dia. Dah ah, jangan dibahas!” Aku mengecek handphone kembali. Menekan foto profil WA Abang, lukisan sebuah taman. Abang termasuk orang yang jarang banget upload foto. Setahuku, Abang gak punya F******k, I*******m, apalagi Telegram. Dia Cuma WA. Aku mengetahui hal itu, saat pinjem handphonenya. “Abang gak punya I*, F*, Tele?” “Gak,” sahutnya ketika itu. “Kenapa?” “Gak suka.” “dih, norak!” Mengingat itu, aku tersenyum lagi. “Sil?” panggilku pada Silvi yang sudah asyik main game. “Hm.” “Kayaknya gue gak sanggup deh!” Dia menghentikkan main game, memerhatikanku. “Gak sanggup hidup?” “Bukan! Gak sanggup nahan gak chat ama Abang. Gue kangen tau!” Aku bersungut sambil memerhatikan WA Abang, gak online. “Serah lo! Gue kan Cuma kasih saran!” Kedua mata gadis itu fokus kembali pada handphone di tangan. Aku menge
PoV Abang“Iya.”Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba
Di balik pintu kamar, tubuhku melorot. Air mata mengalir deras. Hatiku sakit dianggap sebagai cewek gampangan. Padahal selama ini, hanya hitungan jari aku pergi atau diantar oleh laki-laki selain Abang. Itu pun selalu sepengetahuannya. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mandi. Membersihkan diri.Pukul sepuluh malam, suara pintu diketuk.“Siapa?” tanyaku sambil menyeka air mata. Namun tak ada jawaban. Aku menyambar kerudung bergo, memakainya.“Abang mau ngomong,” ucap Abang saat pintu terbuka. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Laki-laki berambut di atas bahu itu duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Beberapa menit hening. Aku enggan memulai bicara. Memilih diam dan merunduk.“Ini hapenya. Nanti charger lagi, belum penuh.” Abang meletakkan handphone di atas meja. Aku tak bergeming, membuang muka sambil menyeka cairan yang keluar dari hidung dengan ujung jilbab.&nb