MENIKAH DENGAN BO-CAH 4
(POV GIA)
Beberapa bulan setelah aku menerima ijazah sekolah menengah pertama, Emak dan bapak menyuruhku bicara pada Rudi untuk melamarku.
Emak menyangka selama ini aku dan Rudi memiliki hubungan spesial, nyatanya kami hanya berteman biasa, memang ada rasa cinta untuknya. Akan tetapi, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Rudi meneruskan kuliah di luar kota, hingga kami tak saling sapa karena ponselku rusak, untuk keperluan darurat aku biasa nebeng pakai ponsel adikku.
"Kalau Rudi ga bisa nikahin kamu maka kamu harus nikah sama temen Emak, dia orang kota, punya kerjaan udah mapan, dan masih bujang pula," ucap Emak malam itu
Di kampungku tak ada anak gadis di usia delapan belas tahun, sebelum menginjak usia itu kami sudah dinikahkan, entah karena perjodohan ataupun menikah dengan kekasih impian.
Akhirnya mau tak mau aku nurut perkataan emak, pemuda kota itu datang ke kampungku, orangnya tinggi semampai, kulitnya sawo matang, dengan mata tajam dan hidung yang tegak.
Malam itu aku yang memakai rok dan tunik dipadukan dengan hijab segi empat tersenyum di pojokan dekat emak.
Saat itu Mas Alan terlihat dingin dan cuek, ia tak pernah membalas senyumku, bahkan seperti berpaling menghindar.
Bukan malah sakit hati aku malah tertantang untuk menaklukannya, beruntung wajahnya tampan walau beda jauh dengan Shah Rukh Khan.
"Neng Gia, Alan ini umurnya sudah tiga puluh lima tahun, apa Eneng mau jadi istrinya," ucap mama mertua.
Mulutku langsung menganga, kukira usia si tampan ini tak setua itu, jelas aku terkejut mendengarnya.
Aku memandang Mas Alan tak percaya, sedangkan lelaki itu malah melihat ke atas dan ke bawah, sepertinya ia salah tingkah.
Tak lama ia mengusap wajah lalu menengadah, wajah tampan itu seketika merenggut.
"Om Tante ada tissue ga?" tanya Alan sambil mengusap-usap pipinya.
"Adanya sapu tangan, nih pakai aja bersih kok." Emak menyerahkan sapu tangan yang sering kugunakan.
Aku meringis, padahal sapu tangan itu bekas membersihkan tanganku usai makan tadi, duh Gusti aku jadi merasa berdosa, mau ngomong juga udah telat.
"Pipinya kenapa Nak Alan?" tanya bapak, kami semua menoleh padanya
"Kejatuhan kotoran cicak, Om," jawabnya sambil meringis karena jijik
Aku menahan tawa kuat-kuat, jangan sampai ngakak di depannya, bisa-bisa acara lamaran ini gagal, dan emak akan malu oleh tetangga.
"Hah kotoran cicak." Mama mertua terlihat panik, sedangkan papa mertua malah menyeringai tipis sambil menundukkan wajah.
"Aduh, maaf ya Nak Alan, itu cicaknya ga sopan,ga pernah makan bangku sekolahan, berak malah di muka orang," celetuk Emak.
Mas Alan masih sibuk mengusap pipinya dengan sapu tangan bekasku itu.
"Lagian kamu sih ngapain coba tengok-tengok ke atas," sahut mama mertua menyalahkan.
Tuhan, aku tak tahan ingin ngakak sepuasnya.
"Kamu bersihin sana ke kamar mandi." Mama mertua menatap emak.
"Narsih, numpang ke kamar kecil ya."
"Ah boleh boleh di belakang belok kiri ya," jawab emak.
Mas Alan pun angkat kaki ke belakang, lalu ia kembali duduk bersama kami.
"Duh maaf ya Ela, rumahku udah tua jadi banyak cicak," ucap Emak sambil memandang mama mertua.
"Ga apa-apa, santai aja 'kan udah dibersihin." Mama mertua tersenyum.
Syukurlah keluarga Mas Alan tak jij1k, dan terlihat masih nyaman di rumah kami.
"Jadi gimana Neng Gia mau 'kan jadi mantu Mama?" tanya mama lagi.
Aku terharu belum nikah saja sudah menyebut dirinya mama, ia pasti baik tak jahat dan serakah seperti menanti di novel fiksi.
"Kalau Eneng sih mau, tapi Mas Alannya mau ga nikah sama perempuan kayak saya yang masih berumur delapan belas tahun."
Dan sekarang giliran Mas Alan yang menganga, lelaki itu menatapku tak percaya, entah apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas ia terkejut sama seperti aku tadi terkejut ketika mendengar usianya.
"Ya ga apa-apa, Mama juga dulu nikah umur segitu, emakmu juga 'kan? yang penting baik dan shalihah," sahut mama mertua.
"Tapi, Ma." Mas Alan melirik ibunya, dari tatapan wajah aku mengerti jika lelaki itu keberatan.
"Yang penting bisa bisa jadi istri shalihah, Alan." Mama mertua tersenyum meyakinkan putranya
"Kalau Masnya keberatan dan mau mundur gapapa saya terima kok," sahutku sambil tersenyum sungkan.
"Engga kok Neng Gia, Alan ga akan mundur, sudah saatnya dia menikah," jawab mama mertua.
"Iya 'kan Alan?" Ia menyenggol lengan putranya
Malam itu Mas Alan resmi melamarku, hanya saja waktu pernikahan belum ditentukan, dan aku juga melihat keraguan di matanya, mungkin faktor umur salah satu penyebabnya.
****
Setelah dua minggu keluarga Mas Alan kembali datang membawa tanggal pernikahan, sekaligus menyerahkan sebuah kalung emas sebagai hadiah lamaran untukku.
Kali ini wajah Mas Alan tak terlalu kaku, sesekali ia tersenyum padaku walau senyuman itu seolah dipaksaan, tak masalah suatu saat akan kubuat ia tergila-gila pada istrinya ini.
"Gia, kamu yakin mau nikah denganku? setelah menikah nanti kamu akan kehilangan masa depan, apa kamu ga akan menyesal?" tanya Mas Alan, ketika kami ngobrol di teras bertiga, adikku sedang jadi kambing conge di belakang.
"Ga kok, Mas 'kan Mas masa depanku." Aku tersenyum dan Mas Alan hanya manggut-manggut.
Setelah itu tak ada lagi komunikasi hingga proses pernikahan kami. Namun, yang membuatku sedih kenapa Rudi kembali di saat seminggu lagi pernikahanku hendak digelar?
Ia datang ke rumah bersama kedua orang tuannya, sejak ia masuk lelaki itu selalu mencari celah untuk bicara berdua denganku.
Hingga kesempatan itu datang saat aku keluar dari kamar mandi, karena sejak tadi kami dikelilingi banyak orang
"Gia," sapanya sambil tersenyum
"Kak Rudi." Aku pun membalas senyumannya.
"Gimana kabarmu?" Ada raut kesedihan di matanya yang agak sipit.
"Ya begini." Aku jadi serba salah, maklum rasa kagum dan entah rasa apa lagi masih tersisa di dalam sini.
"Selama ini aku selalu kirim pesan lewat messenger F4c3b00k, kenapa kamu ga pernah lihat?"
Aku tertegun sambil menatap matanya. "Pesan apa?"
"Aku yakin kalau kamu baca itu maka pernikahan ini ga bakal terjadi," ucapnya membuat mataku sedikit berkaca.
"Gia! Gia!" Emak memanggil dari arah depan.
Sedangkan Rudi bergegas pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
Aku berlari mencari Sinta--adikku--hendak meminjam ponselnya, karena aku belum memiliki uang untuk membeli ponsel baru.
Lalu membuka aplikasi F4c3b00k dan mengecek messenger, seketika air mataku luruh membaca pesan darinya satu persatu.
Namun, apalah daya masa depanku sudah di depan mata, sedangkan Rudi hanya masa lalu yang harus kutinggalkan.
****
Pernikahanku dan Mas Alan digelar dan di acara yang lumayan meriah itu aku tak melihat keberadaan Rudi sama sekali.
Usai pesta pernikahan berakhir Mas Alan membawaku ke rumahnya, karena kami tak mungkin menjalani malam pertama di rumah emak, rumah kami sempit dan selama ini aku satu kamar dengan kedua adikku.
Malam itu Mas Alan begitu dingin dan cuek, tapi aku tak ingin terlihat lemah dan pasrah begitu saja di hadapannya, aku memberanikan diri untuk agresif di hadapannya walau usahaku sia-sia.
"Del, Del, kenapa kamu gitu sih? kenapa ningalin aku?"
Aku mengerjap ketika tengah malam Mas Alan memanggil nama seseorang, terus kutatap lelaki yang sedang terbaring disampingku itu dengan heran.
"Del, Del."
Ia terus memanggil nama itu.
MENIKAH DENGAN BO-CAH 5(POV ALAN)Kutatap wanita yang telah melahirkanku itu dengan bengis."Ngapain sih, Ma?"Perempuan yang mengenakan daster bolong di bagian ketiaknya itu terkekeh menatap kami berdua yang sedang kikuk.Rasanya seperti digrebek warga, sumpah!"Mama salah masuk, maaf ya. Ayo lanjut lagi."Mama menutu pintu sambil nyengir.Aku mengacak rambut dengan kesal."Sabar, Mas, Mama cuma salah masuk kamar," tutur Gia Kalau begini aku jadi ingin pindah ke kamar depan!****Pagi ini aku sarapan sambil cemberut, beberapa kali mama berdehem pun tetap kuabaikan, entah dia keselek biji duren atau sengaja memancingku bicara."Alan, mumpung kamu masih libur ajakin Gia jalan-jalan sana," ucap ibu sambil naruh tumis kangkung ke piringku."Ga ada duit, gajian masih lama."Uang tabunganku memang habis separuh untuk biaya pernikahan kemarin, mana amplop hasil undangan dari para tamu dipegang mama semua."Nih." Mama menyerahkan lima lembar uang warna merah, senyumku seketika mengembang.E
MENIKAH DENGAN BOCAH 6Sepanjang motor melaju Gia duduk begitu jauh dari tubuhku, padahal tadi pas mau berangkat dia langsung nempel kayak perangko, sekarang aku tak ubahnya seperti tukang ojek."Mas aja gih yang ke dalam," ujar Gia saat melepas helm."Kamu marah? yang tadi itu bukan siapa-siapa aku, Gi." Aku terpaksa merayunya dulu.Entahlah aku risih saja melihatnya cemberut begitu, aku lebih suka Gia yang periang dan ceria."Mantan kamu?" tanya Gia tanpa menoleh ke arahku."Iya."Gia terlihat menghela napas."Kayaknya perempuan itu masih cinta sama Mas." Wajah Gia langsung tak bergairah.Sejujurnya bukan hanya dia, tapi aku pun sama masih mencintainya, hanya saja aku lebih memilih dewasa dan menerima kenyataan."Dia udah punya suami."Seketika senyum Gia mengembang."Oh udah nikah, kirain janda." Gia terkekeh."Dih." Aku langsung melongo, secepat itu mood Gia kembali?"Ya udah yuk masuk, aku pilihin kamu baju ya, tadi Mama ngasih duit," bisikku ke dekat telinganya.Wajah Gia makin
Suara pintu terdengar dibuka dari luar, duh gawat, Gia malah masuk ke kamar, padahal aku belum selesai bicara, Delia juga malah sibuk menangis bukan cepat bicara, dasar perempuan. "Lan, kamu marah sama siapa?" Ternyata mama yang masuk, malah tambah berabe kalau begini, matanya bisa mengeluarkan cahaya jika tahu aku telponan dengan Delia. "Emm ... Ini, Ma, temen kantorku, Mama keluar dulu aku lagi nelpon." "Emang temen kantormu ada yang namanya Dadang?" Mama menatap layar ponsel dan wajahku bergantian, entah kenapa perempuan satu ini bawaannya curiga terus. "Ya ada lah, Ma, udah sana sana keluar, ganggu aja ah.", "Oh berani kamu ya ngusir Mama, minta dikutuk hah?!" Aku menggaruk kepala yang tak gatal, menghadapi emak emak emang serba salah. "Ya udah kutuk aja, Ma, kutuk jadi orang kaya!" Mama hanya mendelik sambil mencebikkan mulutnya lalu keluar dan menutup pintu kamarku, tetapi entah kenapa perasaanku mengatakan jika mama belum pergi dan menguping pembicaraanku. Sengaja aku
"Gi, kamu marah? Udah dong jangan marah ya," ujarku dengan suara pelan, bisa gawat kalau sampai mama tahu masalah ini. Gia masih tetap diam, air yang dia minum sudah habis beberapa gelas, dia sudah seperti kesurupan ikan piranha, minum tiada henti seperti tidak merasa kembung di perutnya. "Aku nggak marah, Mas," ujarnya lagi dengan penuh penekanan. "Kalau enggak marah senyum dong kok ketus begitu." Bukan tersenyum dia malah melirikku dengan tajam, mataku sampai terpejam tak kuasa melihat nya. "Hemm." Gia tersenyum paksa sampai gigi putihnya terlihat, tetapi dari tatapan matanya sama sekali tidak terlihat ada ketulusan. Setelah itu dia kembali pergi menjauh, aku terus mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke kamar, saat aku akan masuk saat itu pula Gia menutup pintu, ah untung saja pintu tersebut tidak mengenai keningku. Aku memilih ke dapur saja, biarkan Gia menenangkan diri di kamar, nanti jika dia sudah meredam amarahnya aku akan minta maaf. "La
MENIKAH DENGAN BO-CAH 9(POV GIA)Menyebalkan sekali Mas Alan ini, mentang mentang usiaku masih muda dia bisa membohongi dan membodohiku begitu?Awalnya aku mengira nomor kontak yang bernama Dadang itu memang teman lelakinya, tetapi rupanya Tuhan menunjukkan sesuatu padaku.Siang itu ketika Mas Alan sedang mendengkur keras di siang bolong, tiba-tiba saja ponselnya berdering, kontak bernama Dadang terlihat meneleponnya tanpa berpikir panjang aku pun langsung mengangkat panggilan itu.Siapa sangka ternyata yang bicara di seberang sana adalah seorang perempuan, awalnya aku mengira perempuan tersebut istrinya Dadang.Aku pun langsung mematikan panggilan menyalin nomor kontak Dadang dan memperlihatkan Poto profil WhatsApp nya pada ibu."Ini mah nomor si Delia, Gi, kenapa emangnya?"Sejak saat itu hatiku begitu dongkol dan kesal, lalu sekarang Mas Alan malah telponan begitu lama dengan perempuan itu.Aku ingin sekali marah dan memperlihatkan rasa cemburu tetapi seketika langsung sadar aku i
MENIKAH DENGAN BO-CAH 10(POV ALAN)Buset, hampir saja jantungku lompat saat melihat Gia membuka matanya, udah lebih serem dari Suzana pas lagi melotot."Maaf, Gi, Mas tadi ... Anuu ... Ngigau, iya Mas Ngigau." Duh semoga aja nih bocah percaya."Masa sih, Mas?" Dih dia malah tersenyum genit, bangun lagi kan kuda lumpingku, ah elaah."Iya bener, udah tidur lagi, Mas ngantuk."Aku hendak membalikan badan, tetapi dia malah memegang leherku, yah dia mau ngapain nih, udah kayak vampir aja pegang pegang leher."Kenapa nggak dilanjutin, Mas?"Suaranya begitu halus dan menggoda, sebagai lelaki normal tentu saja aku langsung merinding mendengarnya, apalagi tangannya yang agak kasar itu terus memb3lai tengkukku, wah mulai lagi nih bo cah"Engga ah." Aku pura pura jual mahal padahal mau."Kenapa engga mau, yakin?"Dia mengedipkan matanya, membuat yang sudah tegang jadi makin tegang."Udah deh, Gi, nggak u
"Mas kenapa sih? Mangap mangap gitu?" Tanya Gia sambil mendekat.Sumpah, gue malu banget sama kakak ipar, kok gua bisa sekonyol itu ngasih tontonan gratis sama dia, aduh kalau dia ngira gua cowok c4b*l gimana coba, lebih parahnya kalau dia bilang mama, pasti dia ngomel sampe tahun depan.Ah elah, Alan Alan, lagian sih maen buka aja tuh kandang jadinya salah sasaran kan, duh kalau jadi cacing auto buat lobang paling dalam ini mah."Mas!"Bahuku terguncang karena kaget dengan gertakan Gia."Apaan sih ah, orang lagi panik.""Ya panik kenapa?""Engga, nggak apa apa kok."Yang bener aja masa iya aku harus cerita, kalau begini jadi malu keluar kamar, semoga aja kakak ipar ku itu amnesia mendadak, eh."Kamu mah belum pernah ngobrol ya sama Teh Sari?""Belum lah, Gi, kapan ngobrolnya coba, aneh kamu tuh ya." Aku langsung membuka lemari."Ini aku udah siapin, Mas, ngapain buka lemari."Melirik ke belaka
Aku langsung melirik ke belakang, betapa terkejutnya melihat Delia terjengkang menabrak kursi kursi para tamu, bahkan bajunya kotor terkena minimum, kirain tadi Gia yang jatuh."Alan!""Alan! Istrimu nih dorong aku!" Teriak Delia."Engga, Mas, aku nggak dorong kok, kaki Mbak Delia tadi yang menghalangi jalanku, dia terjatuh karena nggak sengaja badannya mau aku pegang.""Alah, dia bohong, Lan."Aduh, aku jadi bingung siapa yang bohong dan jujur masalah ini? Tapi kan dari tadi Delia buat gara gara terus, ini pasti dia yang mulai, tapi mungkin juga Gia yang mulai karena dia cemburu pada Delia, ah aku jadi pusing sendiri."Ya udah, kamu nggak apa apa kan, Del?""Sakit nih pinggangku, Lan." Dia dibangunkan orang orang sekitar."Nanti juga sembuh sendiri kok itu, kalau gitu aku makan dulu ya, Del. Yuk, Gi."Walaupun tak tega aku pun terpaksa mengacuhkan nya, bisa dianggap pebinor kalau aku terus terusan menolong Delia di depa