MENIKAH DENGAN BO-CAH 3
"Sama siapa?!" tanyaku agak membentak.
"Sama Si Meri, Si Mario maksudnya."
Aku bergidik seketika, Meri alias Mario tetangga kami yang agak b3ngkok, seketika burung perkututku merasa gatal.
"Mama tega bener sih masa s3mpak aku ditukerin sama b*nci!" Aku melotot.
"Bukan dituker tapi ketuker, udah sini mana s3mp4knya Mama mau tuker lagi sama Ceu Romlah." Mama menyebut nama ibunya si Meri alias Mario.
"Ogah ogah ah, Mama mau aku pakai celana bekas si Meri, terus nanti b*rung aku ikut-ikutan b3ngkok kaya dia," cerocosku sambil bergidik.
Tak terbayang pakai c3lana d4lam bekas b*nc1, ini pasti karena mama keasikan ngegosip sampai lupa sama d4l3man anak sendiri.
"Ya jangan dong, kalau b3ngk0k kaya Si Meri kapan Mama punya cucu dari kamu."
Raut wajah mama terlihat lemes. "Duh, mana itu s3m-p4k mahal, Lan, sayang banget kalau ga ditukerin, Ceu Romlah juga ga bilang kalau keresek kita ketuker."
Mama masuk kamar dengan tampang lesu.
"Itu karma, kebanyakan nyelipin amplop kondangan," ejekku dengan suara pelan, untung mama ga denger.
Aku pun masuk kamar, benar saja yang sejak tadi mengaji ternyata Gia, dia sedang mengajari menggunakan aplikasi Alquran di ponselnya, bocah yang sering kuejek tak bisa apa-apa karena menikah di usia b3 l1a.
Suaranya sangat mirip dengan qoriah yang sering kudengar di yu*ub, lantunan yang begitu tartil dan pelan.
"Udah isya, salat gih, Mas," ajak Gia, wajah bulatnya memancarkan cahaya yang berasal dari air wudhu, bukan skincare mahal yang sering dipakai Delia.
"Emm ... kamu lagi datang bulan ko ngaji?"
"Bisa kok, Mas, asal jangan sentuh Alquran, aku kan pakai hape ngajinya, habis aku bosan mau ngapain."
"Nanti kita salat berjamaah ya, Mas, kalau aku udah selesai haid, Mas yang jadi imamnya, soalnya sebelum nikah aku tuh kepengen salat sama suami." Gia mesem-mesem.
Lain lagi dengan aku yang tak enak perasaan, mau ditaruh di mana wajahku jika Gia tahu aku tak pandai mengaji sepertinya, hapalan Alquran pun hanya hafal tiga Qul saja.
Nyesel juga dulu sering bolos ngaji kalau disuruh mama.
****
"Kamu belajar ngaji di mana, Gi?" tanyaku saat selesai salat.
"Di mesjid sama ustadz Faruq, emang kenapa?"
"Berduaan gitu sama dia?" tanyaku penasaran.
"Ya engga lah, banyakan." Gia terkekeh.
"Oh kirain."
"Ustadz Faruq itu punya dua istri loh, Mas. Dan katanya sekarang lagi nyari istri ketiga, untung aku udah nikah kalau engga ny4w4ku terancam."
Aku melongo menatap wajahnya. "Demen banget."
"Dia 'kan k4 ya, tokonya banyak sawahnya pun luas, punya 1str1 empat pun ga masalah."
Aku hanya ber oh ria, ternyata bocah ini tak seperti yang kupikirkan, ia asyik diajak bercanda, pinter masak dan pintar ngaji, entah pintar apalagi yang belum kuketahui.
"Mas mau langsung tidur apa minum teh dulu? nanti Eneng bikinin," tanya Gia.
"Oh boleh deh, bikinin teh aja jangan kebanyakan gula ya."
"Ya jangan, ngapain banyak gula, lihat Eneng juga udah manis." Ia terkikik lalu melangkah keluar.
Aku merasa seperti raja diperlakukan olehnya, sejauh ini dapat kutilai ia bahkan lebih dewasa dari Delia, semoga saja ke depannya bocah ini tetap begitu tak berubah.
"Mas, kamu tahu ga Mama nangis loh sambil ngelamun di dapur," ucap Gia begitu kembali.
"Nangis kenapa?" tanyaku antusias, biasanya sih mama bakal nangis kalau menyangkut masalah u4ng.
Misal papa telat transfer duit bulanan, atau du1t yang diselipin di d4d4nya jatuh tak sengaja, dan satu lagi jika Tupprware miliknya lupa kubawa pulang.
"Engga tahu, barusan ditanya jawabnya gapapa." Gia menyerahkan secangkir teh beraroma melati ke tanganku.
Tuhan, aku tersanjung rasa teh buatannya begitu berbeda, kalah jauh jika dibandingkan dengan buatan mama.
"Enak 'kan, Mas?" Gia bertanya dengan suara mengg*da.
Ya Tuhan, darahku mulai panas.
"Ini kok tehnya beda." Aku berusaha biasa saja, meski si Joni sudah mulai cenat-cenut b3rgair*h.
Gia menyibak rambut panjang nan hitamnya ke samping, hingga leh3r jenjang dan putih itu terlihat jelas, duh nih anak sengaja m3ngg0d4 apa gimana sih? kalau ga lagi palang merah sih mending.
"Itu teh bikinan Eneng di kampung, Mas, jelas beda bikinnya pakai cinta." Ia terkikik lagi, sambil menepuk pelan lenganku.
Tepukan itu terasa lembut sekali, aku menatap tangan Gia yang masih menempel di atas pergelangan lenganku yang bertumpu di atas kedua s3langk*ng4n.
K4mpr3t!
Otakku langsung travelling ke surga.
"Di kampung, Emak suka bikin racikan teh, Eneng suka bantu, kadang bantu bikin atau bantu masarin. Kalau punya modal rencananya Eneng mau bikin racikan teh di sini terus dijual online," ujarnya lagi, aku melirik ke bawah, tangan Gia Masih betah bertumpu di sana.
Duh, gimana kalau si Joni kesenggol, mending kalau dia tanggung jawab.
"Oh bagus itu, Gi. Kamu mau belajar bisnis?" tanyaku, sejujurnya aku sudah tak fokus bicara, karena otakku sudah traveling ke mana-mana.
"Mau dong, Mas, biar pun lulusan SMP, tapi Eneng ga monoton, di sumur harus rajin, di kasur harus pinter sama di dapur harus bisa, nyari d*it juga harus bisa biar ga tergantung terus sama suami," cerocosnya.
"Hayoo di kasur pinter apaan?" tanyaku dengan tatapan mulai s4yu
"Pinter g0y4ng." Dia tertawa ngakak.
"Gimana goy4ngnya coba?" tanyaku menantang.
"Yakin mau dig0y4ng sekarang?" Gia menyenderkan tubuhnya di bahuku, bikin tambah panas saja nih bocah.
"Banyak gaya ka ya udah bisa aja, awas kalau nanti nangis jejeritan ya," sahutku, tak terasa wajah kami sudah menyatu.
Dari dekat wajah Gia nampak begitu cantik dan berseri-seri, aroma tubuhnya khas, berbeda dengan Delia yang kerap memakai parfum mahal dan menyengat, kata dia sih wangi, tapi kataku malah bau tengi.
"Mas, kamu harus belajar mencintai aku ya, walaupun aku tahu kamu menikahiku tanpa ada rasa cinta sama sekali," bisiknya.
Lagi tegang begini dia malah ngomongin cinta, ia tak tahu saja apa isi otakku sekarang.
"Alaan! Alaan!"
Kami berdua langsung terperanjat saat pintu kamar dibuka tiba-tiba oleh mama, dadaku langsung ngos-ngosan seketika, duh padahal baru aja mulai, nih nenek-nenek juga mau ngapain masuk kamar orang teriak-teriak.
MENIKAH DENGAN BO-CAH 4(POV GIA)Beberapa bulan setelah aku menerima ijazah sekolah menengah pertama, Emak dan bapak menyuruhku bicara pada Rudi untuk melamarku.Emak menyangka selama ini aku dan Rudi memiliki hubungan spesial, nyatanya kami hanya berteman biasa, memang ada rasa cinta untuknya. Akan tetapi, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.Rudi meneruskan kuliah di luar kota, hingga kami tak saling sapa karena ponselku rusak, untuk keperluan darurat aku biasa nebeng pakai ponsel adikku."Kalau Rudi ga bisa nikahin kamu maka kamu harus nikah sama temen Emak, dia orang kota, punya kerjaan udah mapan, dan masih bujang pula," ucap Emak malam ituDi kampungku tak ada anak gadis di usia delapan belas tahun, sebelum menginjak usia itu kami sudah dinikahkan, entah karena perjodohan ataupun menikah dengan kekasih impian.Akhirnya mau tak mau aku nurut perkataan emak, pemuda kota itu datang ke kampungku, orangnya tinggi semampai, kulitnya sawo matang, dengan mata tajam dan hidung yang te
MENIKAH DENGAN BO-CAH 5(POV ALAN)Kutatap wanita yang telah melahirkanku itu dengan bengis."Ngapain sih, Ma?"Perempuan yang mengenakan daster bolong di bagian ketiaknya itu terkekeh menatap kami berdua yang sedang kikuk.Rasanya seperti digrebek warga, sumpah!"Mama salah masuk, maaf ya. Ayo lanjut lagi."Mama menutu pintu sambil nyengir.Aku mengacak rambut dengan kesal."Sabar, Mas, Mama cuma salah masuk kamar," tutur Gia Kalau begini aku jadi ingin pindah ke kamar depan!****Pagi ini aku sarapan sambil cemberut, beberapa kali mama berdehem pun tetap kuabaikan, entah dia keselek biji duren atau sengaja memancingku bicara."Alan, mumpung kamu masih libur ajakin Gia jalan-jalan sana," ucap ibu sambil naruh tumis kangkung ke piringku."Ga ada duit, gajian masih lama."Uang tabunganku memang habis separuh untuk biaya pernikahan kemarin, mana amplop hasil undangan dari para tamu dipegang mama semua."Nih." Mama menyerahkan lima lembar uang warna merah, senyumku seketika mengembang.E
MENIKAH DENGAN BOCAH 6Sepanjang motor melaju Gia duduk begitu jauh dari tubuhku, padahal tadi pas mau berangkat dia langsung nempel kayak perangko, sekarang aku tak ubahnya seperti tukang ojek."Mas aja gih yang ke dalam," ujar Gia saat melepas helm."Kamu marah? yang tadi itu bukan siapa-siapa aku, Gi." Aku terpaksa merayunya dulu.Entahlah aku risih saja melihatnya cemberut begitu, aku lebih suka Gia yang periang dan ceria."Mantan kamu?" tanya Gia tanpa menoleh ke arahku."Iya."Gia terlihat menghela napas."Kayaknya perempuan itu masih cinta sama Mas." Wajah Gia langsung tak bergairah.Sejujurnya bukan hanya dia, tapi aku pun sama masih mencintainya, hanya saja aku lebih memilih dewasa dan menerima kenyataan."Dia udah punya suami."Seketika senyum Gia mengembang."Oh udah nikah, kirain janda." Gia terkekeh."Dih." Aku langsung melongo, secepat itu mood Gia kembali?"Ya udah yuk masuk, aku pilihin kamu baju ya, tadi Mama ngasih duit," bisikku ke dekat telinganya.Wajah Gia makin
Suara pintu terdengar dibuka dari luar, duh gawat, Gia malah masuk ke kamar, padahal aku belum selesai bicara, Delia juga malah sibuk menangis bukan cepat bicara, dasar perempuan. "Lan, kamu marah sama siapa?" Ternyata mama yang masuk, malah tambah berabe kalau begini, matanya bisa mengeluarkan cahaya jika tahu aku telponan dengan Delia. "Emm ... Ini, Ma, temen kantorku, Mama keluar dulu aku lagi nelpon." "Emang temen kantormu ada yang namanya Dadang?" Mama menatap layar ponsel dan wajahku bergantian, entah kenapa perempuan satu ini bawaannya curiga terus. "Ya ada lah, Ma, udah sana sana keluar, ganggu aja ah.", "Oh berani kamu ya ngusir Mama, minta dikutuk hah?!" Aku menggaruk kepala yang tak gatal, menghadapi emak emak emang serba salah. "Ya udah kutuk aja, Ma, kutuk jadi orang kaya!" Mama hanya mendelik sambil mencebikkan mulutnya lalu keluar dan menutup pintu kamarku, tetapi entah kenapa perasaanku mengatakan jika mama belum pergi dan menguping pembicaraanku. Sengaja aku
"Gi, kamu marah? Udah dong jangan marah ya," ujarku dengan suara pelan, bisa gawat kalau sampai mama tahu masalah ini. Gia masih tetap diam, air yang dia minum sudah habis beberapa gelas, dia sudah seperti kesurupan ikan piranha, minum tiada henti seperti tidak merasa kembung di perutnya. "Aku nggak marah, Mas," ujarnya lagi dengan penuh penekanan. "Kalau enggak marah senyum dong kok ketus begitu." Bukan tersenyum dia malah melirikku dengan tajam, mataku sampai terpejam tak kuasa melihat nya. "Hemm." Gia tersenyum paksa sampai gigi putihnya terlihat, tetapi dari tatapan matanya sama sekali tidak terlihat ada ketulusan. Setelah itu dia kembali pergi menjauh, aku terus mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke kamar, saat aku akan masuk saat itu pula Gia menutup pintu, ah untung saja pintu tersebut tidak mengenai keningku. Aku memilih ke dapur saja, biarkan Gia menenangkan diri di kamar, nanti jika dia sudah meredam amarahnya aku akan minta maaf. "La
MENIKAH DENGAN BO-CAH 9(POV GIA)Menyebalkan sekali Mas Alan ini, mentang mentang usiaku masih muda dia bisa membohongi dan membodohiku begitu?Awalnya aku mengira nomor kontak yang bernama Dadang itu memang teman lelakinya, tetapi rupanya Tuhan menunjukkan sesuatu padaku.Siang itu ketika Mas Alan sedang mendengkur keras di siang bolong, tiba-tiba saja ponselnya berdering, kontak bernama Dadang terlihat meneleponnya tanpa berpikir panjang aku pun langsung mengangkat panggilan itu.Siapa sangka ternyata yang bicara di seberang sana adalah seorang perempuan, awalnya aku mengira perempuan tersebut istrinya Dadang.Aku pun langsung mematikan panggilan menyalin nomor kontak Dadang dan memperlihatkan Poto profil WhatsApp nya pada ibu."Ini mah nomor si Delia, Gi, kenapa emangnya?"Sejak saat itu hatiku begitu dongkol dan kesal, lalu sekarang Mas Alan malah telponan begitu lama dengan perempuan itu.Aku ingin sekali marah dan memperlihatkan rasa cemburu tetapi seketika langsung sadar aku i
MENIKAH DENGAN BO-CAH 10(POV ALAN)Buset, hampir saja jantungku lompat saat melihat Gia membuka matanya, udah lebih serem dari Suzana pas lagi melotot."Maaf, Gi, Mas tadi ... Anuu ... Ngigau, iya Mas Ngigau." Duh semoga aja nih bocah percaya."Masa sih, Mas?" Dih dia malah tersenyum genit, bangun lagi kan kuda lumpingku, ah elaah."Iya bener, udah tidur lagi, Mas ngantuk."Aku hendak membalikan badan, tetapi dia malah memegang leherku, yah dia mau ngapain nih, udah kayak vampir aja pegang pegang leher."Kenapa nggak dilanjutin, Mas?"Suaranya begitu halus dan menggoda, sebagai lelaki normal tentu saja aku langsung merinding mendengarnya, apalagi tangannya yang agak kasar itu terus memb3lai tengkukku, wah mulai lagi nih bo cah"Engga ah." Aku pura pura jual mahal padahal mau."Kenapa engga mau, yakin?"Dia mengedipkan matanya, membuat yang sudah tegang jadi makin tegang."Udah deh, Gi, nggak u
"Mas kenapa sih? Mangap mangap gitu?" Tanya Gia sambil mendekat.Sumpah, gue malu banget sama kakak ipar, kok gua bisa sekonyol itu ngasih tontonan gratis sama dia, aduh kalau dia ngira gua cowok c4b*l gimana coba, lebih parahnya kalau dia bilang mama, pasti dia ngomel sampe tahun depan.Ah elah, Alan Alan, lagian sih maen buka aja tuh kandang jadinya salah sasaran kan, duh kalau jadi cacing auto buat lobang paling dalam ini mah."Mas!"Bahuku terguncang karena kaget dengan gertakan Gia."Apaan sih ah, orang lagi panik.""Ya panik kenapa?""Engga, nggak apa apa kok."Yang bener aja masa iya aku harus cerita, kalau begini jadi malu keluar kamar, semoga aja kakak ipar ku itu amnesia mendadak, eh."Kamu mah belum pernah ngobrol ya sama Teh Sari?""Belum lah, Gi, kapan ngobrolnya coba, aneh kamu tuh ya." Aku langsung membuka lemari."Ini aku udah siapin, Mas, ngapain buka lemari."Melirik ke belaka