Alara Senja berada di sisi Bahtiar Gema. Bersama klien yang menceritakan seluruh rangkaian kalimatnya hingga berujung pada proses perceraian. Sulit, Bund. Cuma jadi asistennya saja Alara sudah menemukan banyak kesusahan. Bagaimana dengan Gema yang selalu ekspresif menunjukkan wajah cerahnya padahal lelah maksimal?“Soal gono-gini kemarin, 'kan sudah clear bu. Sudah kita kirimkan lewat email ke Ibu dan tertuang dengan jelas berapa persen jumlahnya dan besarannya untuk di bagi ke anak-anak. Ini agak melanggar aturan sebenarnya. Karena intinya mau di kasih ke anak atau di kelola Ibunya sendiri nantinya memang ada aturannya sendiri. Jadi nggak masalah.”Nyonya Kumala Wijaya namanya. Yang posisinya berada di Bekasi dan mengharuskan Gema serta Lara untuk sampai di sini. Di Bekasi Square sekalian makan siang. Oke, tidak masalah. Toh Alara bisa santai sejenak dan cuci mata meskipun tangan dan otaknya terus bekerja. Mencatat hal-hal penting apa saja untuk di lingkari agar tidak terlewati sebag
Asli Bund, salah. Salah banget.Ngarepin keromantisan kok sama Bahtiar Gema. Di bucinin kagak di bikin dongkol sampai ubun-ubun iya.Ini loh konteks ajakannya kencan. K-E-N-C-A-N. Di bacanya wajib pelan dan di resapi supaya merasuk ke dalam sanubari. Eja satu per satu, Hyung. Biar lidahnya syahdu.Hilih kintil! Praktiknya nggak sama. Nggak sesuai ekspektasi Alara Senja yang kayak contohnya makan di restoran dengan suasana romantis. Diiringi pemain biola dan temaram lampu berhiaskan bunga-bunga mawar merah. Begitu baru benar. Atau yang lebih spesifik adalah satu restoran di booking cuma buat makan salad sayur dan wine merah dengan harga selangit. Ya, gitu tuh bayangan Lara. “Bang … gendong.” Rengek Alara yang sudah engap dengan track jalur menuju ke puncak. Ini bukan jalur pendaki yang sebenar-benarnya kalau mau naik gunung. Murni memang ingin sampai ke puncak dengan rute yang Gema buat memutar.Sayangnya nggak gitu, Beb. Enggak! Sudah mundur saja. Timbang gelinding kayak terenggiling
Pada akhirnya, setiap manusia memiliki masa di mana untuknya berhenti. Berhenti untuk tidak lagi peduli pada apa yang orang lain katakan. Berhenti untuk tidak lagi mendengarkan bagaimana orang menilai tentang dirinya. Dan berhenti untuk tidak lagi tertarik meyakinkan orang lain tentang bagaimana dirinya. Manusia memiliki kadar jenuh dan muak di dalam dirinya yang tak bisa lagi mentolerir kala orang lain memberinya penilaian buruk.Itu juga yang sudah pernah Alara Senja hadapi.Orang-orang macam itu adalah toxic. Dan sebagai penganut ‘no ribet’ Alara tinggalkan komentar pedas yang mengecam kehidupannya menajdi sebuah angin lalu lekas bergabung dengan debu jalanan. Alara sudah ada di fase persetan dengan semuanya terutama yang terjadi di dalam hidupnya. Terserah pada orang yang ingin menilainya baik mau pun buruk. Itu pilihannya dan benar kata Bahtiar Gema; kita tidak mempunyai wewenang untuk memaksa. Kenyataan yang terjadi adalah mereka hanya menilai orang dari sisi lain cerita gosip.
Setelah semalam berdebat dengan akhir yang cukup menegangkan. Gema dan Lara ketika di sandingkan memang tiada duanya. Perdebatan yang mereka ciptakan menjadi hiburan tersendiri sebelum menu utamanya di buka.Dan paginya, menjadi waktu paling tepat untuk Gema beraksi. Melihat Lara yang masih anteng bergelung dengan selimut, mata Gema bahkan harus ternoda melihat punggung mulus Lara terekspos. Sayangnya, ada sayatan luka panjang yang terpampang. Tidak Gema masalahkan. Tapi kekepoannya merajai tanpa akhlak.Sudah beristigfar—suka bikin dosa begini—Gema bisa nyebut. Bergegas bagus dan mengenakan bajunya. Gema arahkan kedua tungkainya menuju dapur. Menilik bahan-bahan apa saja untuk dirinya olah. Biarkan hari ini menjadi milik Gema. Sebelum esok Lara yang beraksi.“Telur lagi.” Gema mendesah kesal. Kenapa menunya tidak jauh-jauh dari telur. Ya maksudnya—you know what I mean? Sampai gedek Gema di buatnya.Tapi alih-alih kesal, Gema tetap meraih telur dalam bungkusan mika dan memadu padankan
Jam makan siang belum usai. Tapi Lara harus melihat drama yang tersaji secara epic di ruangan atasannya. Bukan bermaksud cemburu. Cukup sederhana saja bagi Lara untuk memisahkan mana pekerjaan dan mana yang pribadi. Namun mendengar bisikan Leha perihal wanita yang ada di dalam ruangan Gema, ada percikan api yang tersulut. Ingin mengakui bahwa itu cemburu, takut kekanakan. Tapi memendam sendiri apa yang dirasakan, juga bukan solusi yang tepat.“Serius lo ini mantan istrinya?” Leha mengangguk. Bukan Lara yang kepo. Adalah Saras. Datang-datang menyedot es teh susu bobanya.m. “Gila gengs. Oke bohaylah untuk seumuran 30 tahun.” Oh, masih muda. “Tapi ngapain coba dia datang ke sini?”“Rujuk kali. Kan pak Gema juga masih melajang. Biasa, duda-janda demen gitu; kawin cerai.”“Apa bagusnya, sih, ya kayak gitu tuh. Di sangka nyari duwit segampang balikin telapak tangan saja.”“Orang kaya suka bebas. Nggak ada pandang bulu soal gampang susahnya.”Benar juga. Lara jadi diam. Mendadak otak Lara b
Beberapa orang memiliki prinsipnya masing-masing. Soal cinta, jika ternyata orang yang saat ini berdiri di sampingnya ternyata bukanlah pilihan yang Tuhan cantumkan, takkan ada sesal yang di rasai. Namun bersamaan dengan itu, belum tentu orang lain punya cara pikir yang sama. Jika gagal, mereka akan menyebutnya dengan trauma dan butuh waktu cukup lama untuk sembuh. Ada juga yang bahagia telah menyediakan cinta sebaik dan setulus ini. Intinya, semuanya tergantung dari mana ingin kita melihat sisinya. Ada yang ketika sudah mencintai tidak mengharapkan balasan apa pun. Ada yang banyak menuntut. Ada yang ingin memiliki seutuhnya. Dan semua kembali pada diri manusianya. Ingin seperti apa caranya dalam mencintai.Marini—Mama Gema—sangat girang saat berkunjung ke kantor putra bungsunya. Tidak tahu hal apa yang membuat wanita cantik di usia senja itu ke mari. Namun dampak kegirangannya adalah melihat Alara Senja yang masih bertahan di bawah naungan Bahtiar Gema padahal sudah tahu sekaku apa
Ah, pagi-pagi sekali di hari minggu, Lara kedatangan tamu. Yang tak lain adalah kakak dari si calon suami. Datang dengan senyum menawan yang mana cantiknya paripurna di umur yang mendekati kepala empat. Aih, Lara cemburu sekali alih-alih untuk insecure.“Kalau Mbak nggak ke sini, nggak bakalan ada niatan si duda itu bawa kamu balik ke rumah.”Lara tersenyum. Menerima sekantong oleh-oleh yang di bawa wanita—seingat Lara bernama Ama.“Mbak nggak bawa banyak. Cuma bisa masakin itu doang. Tadi sebelum ke sini, anak-anak minta di antar renang ke rumah om-nya. Jadi mbak buru-buru banget.”Oke, first impression yang ingin Alara Senja sematkan adalah: baik dan ramah. Bahkan mbak Ama tipikal yang suka membangun obrolan kalau Lara boleh mengatakan demikian. Itu terlihat dari caranya yang nggak bosan mencari topik padahal Lara menanggapi dengan senyuman doang.“Mbak mau minum apa?” tawar Lara. Bukan untuk basa basi. Tapi memang demikian aturannya. “Kebetulan aku baru selesai masak. Mbak mau gabu
Weekend kali ini berbeda. Banyak nasihat yang khususnya untuk Alara Senja kantongi. Ceritanya nanti saja, ya. Tanggung. Jangan mikir yang iya iya woi. Ini nggak kayak yang di pikirkan para penghuni jahanam Jadi, Bahtiar Gema tetap berkutat dengan segudang pekerjaannya. Yang belum usai dan Lara menjadi terkena imbasnya. Cemburu sekali rasanya sampai ingin mencabik-cabik wajah Gema yang anteng maksimal di sofanya.Tapi Lara memilih acuh. Jadinya gegoleran secara estetik dengan paha Gema sebagai bantalan. Protesan?Jangan tanya. Gema itu bucin makanya pasrah saja melihat kelakuan Lara yang males-malesan seperti sekarang ini. Malahan Gema menunjukkan kasih sayangnya sebagai cowok ke ceweknya dengan bersikap lembut. Tangan kanannya menggulir tablet guna memeriksa setiap data. Sedang tangan kirinya mengusapi kepala Lara. “Kok berhenti!?” Begitu kiranya jika tangan Gema tak lagi terasa di kepala Lara. “Abang egois banget leboh cinta ke dokumen ketimbang aku.”Lara akan misuh-misuh yang me