Setelah semalam berdebat dengan akhir yang cukup menegangkan. Gema dan Lara ketika di sandingkan memang tiada duanya. Perdebatan yang mereka ciptakan menjadi hiburan tersendiri sebelum menu utamanya di buka.Dan paginya, menjadi waktu paling tepat untuk Gema beraksi. Melihat Lara yang masih anteng bergelung dengan selimut, mata Gema bahkan harus ternoda melihat punggung mulus Lara terekspos. Sayangnya, ada sayatan luka panjang yang terpampang. Tidak Gema masalahkan. Tapi kekepoannya merajai tanpa akhlak.Sudah beristigfar—suka bikin dosa begini—Gema bisa nyebut. Bergegas bagus dan mengenakan bajunya. Gema arahkan kedua tungkainya menuju dapur. Menilik bahan-bahan apa saja untuk dirinya olah. Biarkan hari ini menjadi milik Gema. Sebelum esok Lara yang beraksi.“Telur lagi.” Gema mendesah kesal. Kenapa menunya tidak jauh-jauh dari telur. Ya maksudnya—you know what I mean? Sampai gedek Gema di buatnya.Tapi alih-alih kesal, Gema tetap meraih telur dalam bungkusan mika dan memadu padankan
Jam makan siang belum usai. Tapi Lara harus melihat drama yang tersaji secara epic di ruangan atasannya. Bukan bermaksud cemburu. Cukup sederhana saja bagi Lara untuk memisahkan mana pekerjaan dan mana yang pribadi. Namun mendengar bisikan Leha perihal wanita yang ada di dalam ruangan Gema, ada percikan api yang tersulut. Ingin mengakui bahwa itu cemburu, takut kekanakan. Tapi memendam sendiri apa yang dirasakan, juga bukan solusi yang tepat.“Serius lo ini mantan istrinya?” Leha mengangguk. Bukan Lara yang kepo. Adalah Saras. Datang-datang menyedot es teh susu bobanya.m. “Gila gengs. Oke bohaylah untuk seumuran 30 tahun.” Oh, masih muda. “Tapi ngapain coba dia datang ke sini?”“Rujuk kali. Kan pak Gema juga masih melajang. Biasa, duda-janda demen gitu; kawin cerai.”“Apa bagusnya, sih, ya kayak gitu tuh. Di sangka nyari duwit segampang balikin telapak tangan saja.”“Orang kaya suka bebas. Nggak ada pandang bulu soal gampang susahnya.”Benar juga. Lara jadi diam. Mendadak otak Lara b
Beberapa orang memiliki prinsipnya masing-masing. Soal cinta, jika ternyata orang yang saat ini berdiri di sampingnya ternyata bukanlah pilihan yang Tuhan cantumkan, takkan ada sesal yang di rasai. Namun bersamaan dengan itu, belum tentu orang lain punya cara pikir yang sama. Jika gagal, mereka akan menyebutnya dengan trauma dan butuh waktu cukup lama untuk sembuh. Ada juga yang bahagia telah menyediakan cinta sebaik dan setulus ini. Intinya, semuanya tergantung dari mana ingin kita melihat sisinya. Ada yang ketika sudah mencintai tidak mengharapkan balasan apa pun. Ada yang banyak menuntut. Ada yang ingin memiliki seutuhnya. Dan semua kembali pada diri manusianya. Ingin seperti apa caranya dalam mencintai.Marini—Mama Gema—sangat girang saat berkunjung ke kantor putra bungsunya. Tidak tahu hal apa yang membuat wanita cantik di usia senja itu ke mari. Namun dampak kegirangannya adalah melihat Alara Senja yang masih bertahan di bawah naungan Bahtiar Gema padahal sudah tahu sekaku apa
Ah, pagi-pagi sekali di hari minggu, Lara kedatangan tamu. Yang tak lain adalah kakak dari si calon suami. Datang dengan senyum menawan yang mana cantiknya paripurna di umur yang mendekati kepala empat. Aih, Lara cemburu sekali alih-alih untuk insecure.“Kalau Mbak nggak ke sini, nggak bakalan ada niatan si duda itu bawa kamu balik ke rumah.”Lara tersenyum. Menerima sekantong oleh-oleh yang di bawa wanita—seingat Lara bernama Ama.“Mbak nggak bawa banyak. Cuma bisa masakin itu doang. Tadi sebelum ke sini, anak-anak minta di antar renang ke rumah om-nya. Jadi mbak buru-buru banget.”Oke, first impression yang ingin Alara Senja sematkan adalah: baik dan ramah. Bahkan mbak Ama tipikal yang suka membangun obrolan kalau Lara boleh mengatakan demikian. Itu terlihat dari caranya yang nggak bosan mencari topik padahal Lara menanggapi dengan senyuman doang.“Mbak mau minum apa?” tawar Lara. Bukan untuk basa basi. Tapi memang demikian aturannya. “Kebetulan aku baru selesai masak. Mbak mau gabu
Weekend kali ini berbeda. Banyak nasihat yang khususnya untuk Alara Senja kantongi. Ceritanya nanti saja, ya. Tanggung. Jangan mikir yang iya iya woi. Ini nggak kayak yang di pikirkan para penghuni jahanam Jadi, Bahtiar Gema tetap berkutat dengan segudang pekerjaannya. Yang belum usai dan Lara menjadi terkena imbasnya. Cemburu sekali rasanya sampai ingin mencabik-cabik wajah Gema yang anteng maksimal di sofanya.Tapi Lara memilih acuh. Jadinya gegoleran secara estetik dengan paha Gema sebagai bantalan. Protesan?Jangan tanya. Gema itu bucin makanya pasrah saja melihat kelakuan Lara yang males-malesan seperti sekarang ini. Malahan Gema menunjukkan kasih sayangnya sebagai cowok ke ceweknya dengan bersikap lembut. Tangan kanannya menggulir tablet guna memeriksa setiap data. Sedang tangan kirinya mengusapi kepala Lara. “Kok berhenti!?” Begitu kiranya jika tangan Gema tak lagi terasa di kepala Lara. “Abang egois banget leboh cinta ke dokumen ketimbang aku.”Lara akan misuh-misuh yang me
“Rencananya mau langsung hamil apa mau pacaran dulu?”Alara Senja cengengesan. Di tanya begitu oleh sang calon Ibu mertua rasanya, ugh, sesuatu sekali ceunah. Masalahnya ini masih di lingkungan kantor. Dan kabar hubungan Lara bersama Gema sejauh ini tidak terendus oleh publik.“Terserah Abangnya nanti tan—”“Mama. Kan sudah dibilang dari kemarin. Manggilnya Mama. Kamu jangan mau di paksa-paksa Gema semisal ada nunda, ya. Mama tuh pengen nimang cucu dari dia.”“Oke Ma.”Sejak tahu Gema bertindak gesit melamar Alara Senja, sejak hari itu juga Marini getol menyambangi kantor. Alasannya berbagai macam. Mulai dari membawakan makan siang yang aslinya berkedok untuk mengobrol dengan Lara. Seperti saat ini.“Gema tuh suka bikin keputusan yang kadang-kadang di satu pihak nggak bisa nerimanya.” Marini mulai bercerita. “Sudah umur mah tua tapi kelakuan kayak bocah.”“Jatuhin saja terus Ma,” sahut Gema.“Mama pikir kamu ke luar kantor loh.”Eksistensinya sudah jelas terlihat sejak Marini menapaki
Diam bukan artinya tidak mendengar apa-apa. Diam bukan artinya tidak tahu apa-apa.Mosa tahu dan membuat dendamnya berkali lipat lebih menyebalkan. Rasanya … mengesalkan ketika Alara Senja mendapatkan apa yang lebih dari dirinya. Pikir Mosa, merebut Prabu dari tangan Lara adalah sebuah keputusan yang paling tepat. Nyatanya tidak demikian kala Lara membawa lelaki yang jauh lebih baik dari Prabu. Ingin sekali Arini hancurkan Alara Senja sekali lagi. Namun …“Itu nggak kecepetan ya, Nak Gema?” tanya Jayanti gugup. Tangannya mulai meremas satu sama lain sebagai tanda kegelisahannya.Nampaknya tidak semudah dulu memengaruhi Prabu. Lelaki bernama Bahtiar Gema ini amatlah berbeda. Mata Mosa menatapnya lembut. Menelisik penuh nilai. Mencari-cari di mana letak perbedaan yang tak bias di sandingkan dengan Prabu. Dan, ah dapat, yakni kharisma. Benar. Lelaki ini penuh dengan karakter tak terduga yang tersimpan di dalam dirinya. Sebagai perempuan berpengalaman, Mosa tahu itu. Dan pantas jika Ala
“Tadi keren, 'kan abang ngomongnya?”Adalah Bahtiar Gema yang dengan bangga menepuk-nepuk dadanya.“Kiceup si Prabu mantan kamu itu. Goblok, sih jadi orang.”Kepala Lara hanya menggeleng tidak peduli. Biarkan sebahagia Gema saja. Orang seperti Gema jika sedang dalam kondisi mood yang baik kok di senggol, ngebacok nanti. Kan nggak etis calon pengantin saling ngebunuh.“Tapi abang serius, Ra. Nggak ada bohong atau rekayasa.”Masih di pekarangan kediaman orang tua Alara Senja. Mobil Gema belum bergerak untuk beranjak hengkang dari sana. Memang sengaja hendak berbincang deeply dengan calon istrinya.“Apa pun yang ada di diri kamu abang suka. Kamu yang arogan dan suka mengumpat, abang suka. Kamu yang egois soal pilihan dalam membatasi diri, abang suka. Kamu yang kasar dengan berbagai tindakan konyol, pun abang tetap suka. Bahkan kamu yang nggak konsisten dengan hubungan ini, abang tetap suka. “Kamu yang penuh dengan kekurangan… maaf. Nggak seharusnya abang bertindak jauh malam itu buat ny