LOGIN“Jadi gimana, Man?” tanya Pak Junaedi antusias. “Kamu tidak mau ambil tawaran yang sudah saya katakan barusan?”
Ekspresi beliau separuh bercanda, separuh serius. Bagaimana tidak? Beliau memanggil Firman–anak kolega lamanya berkumpul ke kafe cuma sekadar mempertimbangkan jabatan yang sedang dia emban.
CEO. Jabatan tertinggi yang mana Firman harus ambil alih, karena Pak Junaedi pun merasa ingin perusahaan miliknya punya suasana baru.
“Pak. Perusahaan Anda bisa terbilang bagus loh.” Firman mengangkat map berlogo FoodBeary yang tadi Pak Junaedi kasih. “Juga, saya baru aja pulang loh dari LN. Kepala saya masih kebawa suasana santai, masa langsung loncat jadi CEO.”
Benar. Firman belum lama ini kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan magister computer science di salah satu kampus bergengsi di Vancouver. Tentu dia balik rumah hanya niat sederhana, yaitu beristirahat, menikmati waktu bersama keluarga, dan sesekali membantu bisnis kecil mamanya. Pekerjaan dalam jangka besar sama sekali tak ada dalam rencananya.
“Nak. Sebelumnya saya sudah bilang sama mama kamu soal ini.” Pak Junaedi menyela keheningan sebentar. “Mama kamu juga setuju, untuk kamu nantinya mengemban jabatan CEO.”
Firman membuang napasnya pelan. “Meskipun begitu, pak. Saya nggak bisa memimpin perusahaan besar punya bapak sendiri. Lagipula kalau saya nantinya bikin kesalahan, Pak Junaedi bakal repot sendiri.”
Pak Junaedi hanya mengangkat alis, seolah sudah mendengar jawaban itu sebelum Firman mengucapkannya. Mereka bukan orang asing. Firman mengenal Pak Junaedi sangat lama. Hubungan keduanya hampir seperti keluarga sendiri, sehingga tawaran ini terasa lebih seperti dorongan pribadi daripada sekadar urusan bisnis.
Firman tahu reputasinya bukan sembarangan. Saat kuliah, dia sempat memimpin tim kecil dalam sebuah proyek internasional, dan hasilnya sukses besar. Catatan itu rupanya masih melekat di ingatan Pak Junaedi, yang sekarang tengah mencari pengganti untuk memimpin FoodBeary.
“Kamu punya kemampuan memimpin, saya lihat sendiri. FoodBeary butuh darah segar, orang yang ngerti tren baru, tapi juga punya hati buat orang-orangnya,” kata Pak Junaedi, suaranya menghangat namun tegas.
Firman memutar pandangannya ke luar jendela besar. Jalanan sore depan kafe terasa ramai, tetapi pikirannya jauh melayang. Menjadi CEO berarti kembali ke ritme kerja yang padat, mengambil keputusan yang akan mempengaruhi ratusan karyawan. Itu tanggung jawab yang besar—terlalu besar untuk seseorang yang baru saja pulang dari hidup santai.
Namun, di matanya, ada sedikit percikan tantangan. Mungkin ini bukan hanya tentang pekerjaan. Melainkan ini adalah kesempatan untuk membuktikan sesuatu, terlebih kepada dirinya sendiri, juga kepada orang-orang yang dulu meremehkannya.
“Baiklah, Pak. Tapi kalau saya terima, jangan salahkan saya kalau saya bikin gebrakan,” ucap Firman sambil tersenyum miring, seakan dirinya memandang potensi baru dari perusahaan tersebut, begitu sempat membaca latar belakangnya.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Firman akhirnya menginjakkan kaki di kantor FoodBeary. Belum resmi menjabat, tapi Pak Junaedi memintanya untuk mengenal lingkungan kerja lebih dulu. Hari itu, dia berkeliling ke setiap divisi, menyapa para kepala tim, dan mengamati suasana kerja.
Semua berjalan lancar sampai dirinya tiba di divisi digital marketing. Ruangan itu terasa lebih hidup daripada yang lain—papan ide penuh coretan warna-warni, beberapa pegawai sibuk mengetik, sementara yang lain berdiskusi sambil memegang tablet.
Dan di tengah hiruk-pikuk itu, matanya terpaku pada satu sosok. Seorang wanita dengan rambut yang diikat rapi, tengah berbincang dengan salah satu pegawai. Wanita itu tampak serius mendengar obrolan temannya tersebut. Namun, saat melihat papan identitas di meja kerja, spontan membuat Firman tercekat.
Nama itu jelas tertulis: Mira Hartono.
Kilasan masa SMA seketika menyerbu ingatannya—koridor sekolah, bisik-bisik sinis, dan tawa yang dulu terasa seperti sayatan. Mira Hartono, gadis yang dulu menjadi salah satu sumber luka yang tak pernah ingin dia bagi pada siapa pun.
Jantung Firman berdetak lebih cepat. Bukan karena dia merasa rindu atau bernostalgia manis, tapi karena percampuran antara keterkejutan dan dorongan untuk menjaga wajahnya tetap tenang. Ini bukan SMA. Ini adalah FoodBeary. Dan sekarang, dia berdiri di sini bukan sebagai korban masa lalu, melainkan calon pemimpin perusahaan.
“Tolong perhatian semuanya!” Suara interupsi dari Firman spontan membuat ruangan menjadi hening. Dia berdiri tegak dengan mata yang tajam dan pembawaannya yang penuh percaya diri.
“Saya sudah keliling semua divisi, dan menurut Pak Junaedi, divisi ini salah satu yang punya kinerja stabil,” ucap Firman dengan suaranya yang bulat dan tegas.
Begitu melihat semua wajah-wajah di divisi marketing, dia melanjutkan ucapannya. Saya ke sini hanya ingin memperkenalkan diri. Saya akan mulai aktif tiga hari ke depan, sampai Pak Junaedi menyelesaikan transisinya.”
Firman memandang wanita yang bernama Mira itu, mulai membelalak kecil. Di situ, Mira menegakkan badan di atas kursi memperhatikan dirinya yang berbicara tegas di depan akses masuk divisi.
“Nama saya Firman. Firman Setiawan. CEO baru FoodBeary yang akan menggantikan Pak Junaedi.”
Setelah perkenalan itu, Firman langsung beringsut pergi dari divisi itu, dan niat untuk melanjutkan keliling divisi.
***
Firman menggelengkan kepala saat bayangan dari perkenalan itu, juga tawaran dari Pak Junaedi untuk menjabat sebagai CEO, mulai menelusup dalam kepalanya. Tentang bagaimana pula bertemu dengan mantan pelaku perundung semasa SMA, membuat dirinya terasa berat begitu mengembani jabatan tersebut.
“Seharusnya aku tolak tawaran beliau lebih keras,” gumamnya lirih, jemarinya mengetuk permukaan meja.
Namun, penyesalan itu bukan sekadar soal jabatan. Ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya, yaitu pertemuannya dengan Mira Hartono. Wanita yang kini duduk sebagai content strategist, salah satu posisi penting di divisi marketing FoodBeary.
“Kamu harus uji dia, Man. Jangan biarkan masa lalu bikin kamu ragu,” suara hatinya seakan memberi dorongan.
Firman menegakkan badan. Pandangan matanya kini lebih serius, meski masih tersisa kegelisahan. Ia tahu, cepat atau lambat, Mira akan menjadi orang yang harus ia hadapi secara langsung dalam pekerjaannya.
“Baiklah,” ucap Firman mantap, kali ini lebih lantang meski hanya dirinya sendiri yang mendengar. “Kalau aku CEO di sini, aku tak boleh lembek. Bahkan padanya sekalipun.”
***
Jam kerja selesai sejak jam 5 sore tadi. Bahkan semua pegawai sudah pulang duluan dan ruangan divisi hening. Mira tentu masih terpaku di kursinya. Matanya menatap angka-angka yang berjejer di layar, grafik engagement yang naik turun, persentase CTR yang kadang anjlok, kadang melonjak.Selama pengerjaan itu, dia menarik napas panjang. Di balik kepalanya, ada satu pikiran yang mengusik: kenapa harus Firman yang memberi tugasnya? Kenapa tidak Bu Nia saja, seperti biasa?Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat tersadar ruangan makin sepi. Hanya lampu meja yang menemani. Mira meregangkan bahu, berusaha menepis rasa lelah. Tapi semakin lama menatap layar, semakin sering wajah Firman muncul di benaknya.“Firman Setiawan …” Dia mengucap pelan nama itu, nyaris seperti gumaman.Dan tiba-tiba, kenangan itu menyeruak. Koridor SMA dengan dinding hijau pucat. Suara tawa teman-teman sekelas. Dirinya—Mira remaja—berdiri dengan tangan terlipat, melontarkan kalimat yang ia angg
“Oh … Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!”Mira nyaris menabrak CEO baru itu. Saat tahu pria tinggi besar berada di depannya, Mira segera membuat jarak. Satu tangan kirinya memegang kantong kertas berisi makan siang dari warung langganannya, sementara tangan kanan buru-buru merapikan helaian rambut yang tertiup angin dari pintu otomatis.Firman yang berjalan mengitari lobby, sempat terhenti ketika melihat sosok itu. Mira. Dengan nama lengkap Mira Hartono. Nama yang mana masih mengendap di kepalanya saat pertama kali melihat papan nama yang tercetak jelas di meja kubikel itu. Nama yang dulu, di masa SMA, tak pernah berarti baik untuknya.“Nggak apa-apa,” jawabnya datar bernada sopan. Suaranya dibuat seprofesional mungkin, meski tatapannya tak bisa sepenuhnya menghindari dari wajah Mira.Balasan Mira hanya senyuman yang kaku, seolah tahu dirinya berada di posisi yang tak nyaman.“Emm, Anda … habis rapat ya pak?” tanya Mira sekadar basa-basi, suaranya kini lebih rendah dari biasanya.Firman m
“Jadi gimana, Man?” tanya Pak Junaedi antusias. “Kamu tidak mau ambil tawaran yang sudah saya katakan barusan?”Ekspresi beliau separuh bercanda, separuh serius. Bagaimana tidak? Beliau memanggil Firman–anak kolega lamanya berkumpul ke kafe cuma sekadar mempertimbangkan jabatan yang sedang dia emban.CEO. Jabatan tertinggi yang mana Firman harus ambil alih, karena Pak Junaedi pun merasa ingin perusahaan miliknya punya suasana baru.“Pak. Perusahaan Anda bisa terbilang bagus loh.” Firman mengangkat map berlogo FoodBeary yang tadi Pak Junaedi kasih. “Juga, saya baru aja pulang loh dari LN. Kepala saya masih kebawa suasana santai, masa langsung loncat jadi CEO.”Benar. Firman belum lama ini kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan magister computer science di salah satu kampus bergengsi di Vancouver. Tentu dia balik rumah hanya niat sederhana, yaitu beristirahat, menikmati waktu bersama keluarga, dan sesekali membantu bisnis kecil mamanya. Pekerjaan dalam jangka besar sama sekali tak a
“Jaga FoodBeary baik-baik selama saya tidak di sini, ya,” ucap Pak Junaedi memberikan pesan kepada Mira yang terlihat kedua mata sembab saat perpisahan kecil-kecilan di ruang utama.Sudah minggu kedua, akhirnya Pak Junaedi resmi berbenah dari FoodBeary. Benar-benar meninggalkan kesan mendalam bagi para pegawai, termasuk divisi digital marketing yang menuai sorotan atas kinerja yang bagus.Mira tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sambil terus memegang kedua tangan berkeriput itu—yang mana beliau sudah dia anggap sebagai bapak sendiri.“Pak. Kalau Bapak benar-benar ingin menenangkan diri dari pekerjaan, Bapak jangan lupa untuk tetap kasih kabar di grup. Kami nggak akan mengeluarkan Bapak di grup itu, dan bila Bapak mau kasih motivasi, tidak masalah, selama itu bisa jadi semangat buat kami,” ucap Mira sambil memberikan pesan pada beliau.Pak Junaedi tak akan lupa bagaimana beliau mengapresiasi kinerja Mira di FoodBeary, meskipun Mira tetap datang ke ruangannya dan mencurahkan keluh
“Dalam waktu dekat, saya akan mengundurkan diri sebagai CEO.”Ucapan itu mengalir begitu saja dari bibir Pak Junaedi. Membuat Mira Anindita Hartono—31 tahun, seorang content strategist di divisi digital marketing. Dia nyaris menjatuhkan gelas air mineral yang sedang ia genggam. Sejenak, tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup pelan namun tidak tenang.“Ma—maksudnya, Pak? Bapak mau … mengundurkan diri?” tanya Mira perlahan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. “Nggak. Nggak mungkin Bapak mundur dari jabatan Bapak gitu aja.”Rasanya seperti mendengar kabar buruk di siang bolong. Mira belum bisa memercayai bahwa seorang CEO yang ia anggap seperti ayahnya sendiri, justru tiba-tiba membuat keputusan sebesar itu.Padahal selama ini, Pak Junaedi tidak pernah terlihat tertekan. Justru beliaulah yang selalu memberikan semangat kepada para pegawai, dari divisi manapun. Termasuk Mira yang baru genap enam bulan bergabung di FoodBeary. Perusahaan jasa pengantaran khusus makanan yang sedang berkem







