LOGIN“Oh … Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!”
Mira nyaris menabrak CEO baru itu. Saat tahu pria tinggi besar berada di depannya, Mira segera membuat jarak. Satu tangan kirinya memegang kantong kertas berisi makan siang dari warung langganannya, sementara tangan kanan buru-buru merapikan helaian rambut yang tertiup angin dari pintu otomatis.
Firman yang berjalan mengitari lobby, sempat terhenti ketika melihat sosok itu. Mira. Dengan nama lengkap Mira Hartono. Nama yang mana masih mengendap di kepalanya saat pertama kali melihat papan nama yang tercetak jelas di meja kubikel itu. Nama yang dulu, di masa SMA, tak pernah berarti baik untuknya.
“Nggak apa-apa,” jawabnya datar bernada sopan. Suaranya dibuat seprofesional mungkin, meski tatapannya tak bisa sepenuhnya menghindari dari wajah Mira.
Balasan Mira hanya senyuman yang kaku, seolah tahu dirinya berada di posisi yang tak nyaman.
“Emm, Anda … habis rapat ya pak?” tanya Mira sekadar basa-basi, suaranya kini lebih rendah dari biasanya.
Firman mengangguk membenarkan. “Baru saja selesai dan saya ingin makan siang di luar.” Telunjuknya langsung mengarah pada kantong kertas yang berada di tangan Mira. “Sepertinya kamu baru beli makan siang juga.”
“Be–benar, Pak. Kebetulan saya lebih suka beli makan di luar, sekalian aja jam istirahat dimanfaatkan buat cari udara segar.” Mira tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana.
Beberapa detik hening menyusul. Mira mulai merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa tatapan pria itu seperti merasa dirinya diadili olehnya. Tentu, dia menerka-nerka, apakah pria itu mengingat dia dari masa lalu? Mira tahu, Firman adalah korban rundungannya dulu. Mungkinkah bagi Firman buat mengungkit hal yang telah lalu?
Firman tersenyum tipis sambil melenggut pelan. “Baiklah kalau begitu. Selamat nikmati makan siangnya ya, Bu Mira.”
Nada suaranya terdengar sopan, tapi cukup membuat Mira tertegun. Mira bahkan belum mengenal namanya pada CEO tersebut, tapi bagaimana bisa CEO baru itu tahu?
Di sisi lain, Firman justru mengulang-ulang nama itu. Dia ingat baik-baik, mencoba menyusun semua itu. Juga bagaimana kenangan masa SMA yang begitu pahit, ada ledekan kecil di lorong sekolah, bisik-bisik teman sekelas, dan ejekan intens yang dulu sempat membuat ia pengap di kelas.
“Saya duluan.” Firman berucap pamit dan berjalan seperti biasa, menjauhi Mira yang entah kenapa masih berdiri di sekitar lobby, tak bergerak sama sekali.
Beberapa jam kemudian, selesai makan siang di luar–hanya sendirian, Firman melangkah sepanjang koridor khusus pimpinan. Kakinya perlahan lambat bergerak. Dia sadar, menjadi CEO FoodBeary berarti dirinya bakal sering ketemu Mira. Dia juga sadar, rasa tak karuan yang muncul pertama kali bukan semata-mata karena kenangan buruk. Ada sesuatu yang lain, yang bahkan dia sendiri belum ingin akui.
Sembari terus berjalan menuju ruangannya, pikirannya kembali ke beberapa hari lalu, saat pertemuan pertamanya dengan seluruh divisi di ruang konferensi. Tak sengaja, tatapannya bersiorobok dengan Mira. Yang membuatnya sempat berhenti lebih lama untuk memastikan wanita itu lagi.
Kini, pertemuan singkat di lobby tadi membuat memori masa SMA muncul lebih jelas. Entah kenapa, dia ingin tahu, apakah Mira sudah merenungkan kesalahannya selama ini? Mengingat kesalahan Mira padanya terlalu besar.
***
Sisi lain, Mira berdiri di dekat pintu ruang pantry, terdiam beberapa detik. Teringat dengan pertemuan Firman, si CEO baru itu, membuat dirinya sedikit gelisah. Dari tatapannya saja, tentu bukanlah tatapan kagum, melainkan seperti orang yang kenal dirinya dari tempat yang familiar.
Helaan napas menghiasi keheningan, kemudian berjalan mantap memasuki pantry untuk mengambil air minum sebelum balik ke meja kerjanya. Tetapi, lagi-lagi, dia terus menerus memikirkan momen barusan di lobby.
“Dia tahu namaku …” Mira bergumam pelan, hampir tak terdengar. “Gimana dia bisa tahu namaku, ya?”
“Ada Mira Hartono di sini?” Suara berat seseorang menyadarkan Mira dari lamunannya sebentar, kemudian menoleh untuk mengecek siapa yang memanggil nama lengkapnya.
Mira mengintip di ruang pantry, rupanya Firman. Pria berjas hitam garis-garis dan celana yang senada, berjalan dengan wibawanya, mencari-cari satu sosok. Mengelilingi meja kubikel.
“Saya ingin Mira ada di sini. Di mana dia?” Firman seolah mendesak agar sosok itu muncul di depannya sekarang juga.
“Sa–saya, Pak. Saya Mira.” Wanita itu keluar dengan langkah pelan dari ruang pantry. Dia mengangkat tangan rendah, agar CEO itu tahu dia benar-benar orang yang dicari.
Dengan menyibakkan sedikit jas miliknya dan posisi yang berkacak pinggang, Firman segera melayangkan satu perintah untuk Mira. “Saya ingin kamu kerjakan laporan optimasi sosial media perusahaan dari tiga bulan terakhir, lengkap dengan statistik engagement per bulan.”
Mira terkejut, kemudian matanya agak terbelalak. “Emm, maaf sebelumnya, Pak. Laporan itu biasanya kan lewat Pak Fahmi dulu. Kenapa mesti … saya?”
Firman menarik napas dengan keras, terdengar jelas bahwa perintahnya itu tidak boleh dibantah sama sekali.
“Saya mau laporan itu langsung dari kamu. Tolong tambahkan juga hitungan metrik per konten. Ada kan, reach-nya berapa, impressions-nya berapa, CTR, dan semuanya. Kamu kan content strategist, harusnya kamu tahu itu semua."
Suasana divisi marketing langsung terasa tegang. Pegawai lain pura-pura sibuk dengan layar masing-masing, sesekali pula melirik ke arah dua orang yang saling berhadapan dekat pintu masuk ruang divisi.
Mira mengerjap cepat, mencoba untuk memproses permintaan itu. Dalam pikirannya, ini sangat aneh. Jarang seorang CEO langsung meminta laporan teknik kepada staff, terlebih melewati jalur koordinasi formal.
“Ngerti?” tanya Firman memastikan.
“I–Iya. Mengerti, pak. Saya akan langsung kerjakan laporannya,” jawab Mira akhirnya, walau suaranya terdengar kaku.
Firman tak sekadar memberikan tugas tersebut begitu saja. Dia tahu dirinya pernah memimpin tim marketing di sebuah start-up di Vancouver, membuatnya terbiasa memeriksa data secara detail. Laporan tersebut bukan cuma angka di spreadsheet, melainkan cerminan kerja tim serta strategi yang dijalankan.
Akan tetapi, tidak sampai di situ saja. Firman ingin menguji Mira, mengingat jabatan Mira sebagai content strategist membuatnya bertanggung jawab atas ide dan konsep yang diunggah di sosial media perusahaan.
“Saya butuh laporannya paling lambat dua hari lagi,” sambung Firman dengan nada suaranya yang tenang namun penuh penekanan.
Mira mengangguk, meski pikirannya mulai penuh pertanyaan. Entah tujuan Firman apa, mungkinkan hal ini menyangkut hal profesional, atau bisa jadi ada urusan personal yang bahkan Mira tak dapat mengira? Entah situasi sekarang ini, apakah sekadar ujian profesional, atau CEO baru itu ada alasan lain yang masuk ke ranah personal?
“Kalau kamu bisa ngerjainnya cepat, akan lebih bagus.” Firman berimbuh lagi, kemudian berbalik meninggalkan divisi marketing. Kedatangannya cuma sekadar menyuruh Mira, bukan hal lain.
Sementara itu, Mira kini melangkah pelan menuju meja kerjanya dengan dada sedikit sesak. Dia sadar tugas yang bakal dikerjakan menyita waktu banyak, tapi yang membuatnya gelisah adalah fakta bahwa orang yang menyuruhnya adalah Firman. Lelaki yang dia kenal di masa SMA. Alih-alih membuat momen baik kala itu, dia justru membuat lelaki tersebut trauma akibat perbuatannya.
***
Firman melangkah keluar dari divisi marketing dengan napas berat yang dia tahan-tahan sejak tadi. Langkah kakinya terdengar mantap, namun sebenarnya pikirannya masih penuh riuh.
“Dia benar-benar Mira. Mira Hartono.” gumamnya dalam hati, menekan gigi kuat-kuat.
Kepalan tangannya terbentuk secara spontan, mencoba menghapus bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul—saat dirinya masih berseragam putih abu, dijadikan bahan olok-olokan di depan banyak orang. Semua itu seolah hidup lagi ketika melihat wajah perempuan itu di balik meja marketing tadi.
Namun, sebagai CEO, Firman tidak boleh kehilangan kendali.
“Ini kesempatan.” Dia mendesis pelan ketika sampai di lorong, tatapannya menembus kaca jendela tinggi yang memantulkan cahaya malam kota. “Kalau dia benar-benar kompeten, dia bisa buktikan dengan mengerjakan tugas itu. Kalau tidak … ya, berarti dia masih sama seperti dulu.”
Firman menegakkan tubuhnya, membetulkan jas dengan gerakan tegas. Baginya, permintaan laporan tadi bukan sekadar tugas. Itu adalah bentuk ujian—ujian untuk mengukur profesionalisme Mira, juga mungkin sedikit, ujian untuk hatinya sendiri.
“Saya mau laporan itu langsung dari kamu.”
Kalimat itu kembali terngiang di kepalanya. Dia tersadar bahwa sengaja memotong jalur koordinasi akan menimbulkan tanda tanya bagi staf lain. Namun dia juga tahu. Dirinya punya hak penuh untuk menguji siapa pun di perusahaan.
Firman menghela napas panjang. Tatapannya kembali dingin ketika ia melangkah menuju ruang kerjanya di lantai paling atas.
“Kita lihat, Mira. Apakah kali ini kamu bisa menghadapi aku tanpa menjatuhkanku seperti dulu?”
***
Jam kerja selesai sejak jam 5 sore tadi. Bahkan semua pegawai sudah pulang duluan dan ruangan divisi hening. Mira tentu masih terpaku di kursinya. Matanya menatap angka-angka yang berjejer di layar, grafik engagement yang naik turun, persentase CTR yang kadang anjlok, kadang melonjak.Selama pengerjaan itu, dia menarik napas panjang. Di balik kepalanya, ada satu pikiran yang mengusik: kenapa harus Firman yang memberi tugasnya? Kenapa tidak Bu Nia saja, seperti biasa?Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat tersadar ruangan makin sepi. Hanya lampu meja yang menemani. Mira meregangkan bahu, berusaha menepis rasa lelah. Tapi semakin lama menatap layar, semakin sering wajah Firman muncul di benaknya.“Firman Setiawan …” Dia mengucap pelan nama itu, nyaris seperti gumaman.Dan tiba-tiba, kenangan itu menyeruak. Koridor SMA dengan dinding hijau pucat. Suara tawa teman-teman sekelas. Dirinya—Mira remaja—berdiri dengan tangan terlipat, melontarkan kalimat yang ia angg
“Oh … Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!”Mira nyaris menabrak CEO baru itu. Saat tahu pria tinggi besar berada di depannya, Mira segera membuat jarak. Satu tangan kirinya memegang kantong kertas berisi makan siang dari warung langganannya, sementara tangan kanan buru-buru merapikan helaian rambut yang tertiup angin dari pintu otomatis.Firman yang berjalan mengitari lobby, sempat terhenti ketika melihat sosok itu. Mira. Dengan nama lengkap Mira Hartono. Nama yang mana masih mengendap di kepalanya saat pertama kali melihat papan nama yang tercetak jelas di meja kubikel itu. Nama yang dulu, di masa SMA, tak pernah berarti baik untuknya.“Nggak apa-apa,” jawabnya datar bernada sopan. Suaranya dibuat seprofesional mungkin, meski tatapannya tak bisa sepenuhnya menghindari dari wajah Mira.Balasan Mira hanya senyuman yang kaku, seolah tahu dirinya berada di posisi yang tak nyaman.“Emm, Anda … habis rapat ya pak?” tanya Mira sekadar basa-basi, suaranya kini lebih rendah dari biasanya.Firman m
“Jadi gimana, Man?” tanya Pak Junaedi antusias. “Kamu tidak mau ambil tawaran yang sudah saya katakan barusan?”Ekspresi beliau separuh bercanda, separuh serius. Bagaimana tidak? Beliau memanggil Firman–anak kolega lamanya berkumpul ke kafe cuma sekadar mempertimbangkan jabatan yang sedang dia emban.CEO. Jabatan tertinggi yang mana Firman harus ambil alih, karena Pak Junaedi pun merasa ingin perusahaan miliknya punya suasana baru.“Pak. Perusahaan Anda bisa terbilang bagus loh.” Firman mengangkat map berlogo FoodBeary yang tadi Pak Junaedi kasih. “Juga, saya baru aja pulang loh dari LN. Kepala saya masih kebawa suasana santai, masa langsung loncat jadi CEO.”Benar. Firman belum lama ini kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan magister computer science di salah satu kampus bergengsi di Vancouver. Tentu dia balik rumah hanya niat sederhana, yaitu beristirahat, menikmati waktu bersama keluarga, dan sesekali membantu bisnis kecil mamanya. Pekerjaan dalam jangka besar sama sekali tak a
“Jaga FoodBeary baik-baik selama saya tidak di sini, ya,” ucap Pak Junaedi memberikan pesan kepada Mira yang terlihat kedua mata sembab saat perpisahan kecil-kecilan di ruang utama.Sudah minggu kedua, akhirnya Pak Junaedi resmi berbenah dari FoodBeary. Benar-benar meninggalkan kesan mendalam bagi para pegawai, termasuk divisi digital marketing yang menuai sorotan atas kinerja yang bagus.Mira tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sambil terus memegang kedua tangan berkeriput itu—yang mana beliau sudah dia anggap sebagai bapak sendiri.“Pak. Kalau Bapak benar-benar ingin menenangkan diri dari pekerjaan, Bapak jangan lupa untuk tetap kasih kabar di grup. Kami nggak akan mengeluarkan Bapak di grup itu, dan bila Bapak mau kasih motivasi, tidak masalah, selama itu bisa jadi semangat buat kami,” ucap Mira sambil memberikan pesan pada beliau.Pak Junaedi tak akan lupa bagaimana beliau mengapresiasi kinerja Mira di FoodBeary, meskipun Mira tetap datang ke ruangannya dan mencurahkan keluh
“Dalam waktu dekat, saya akan mengundurkan diri sebagai CEO.”Ucapan itu mengalir begitu saja dari bibir Pak Junaedi. Membuat Mira Anindita Hartono—31 tahun, seorang content strategist di divisi digital marketing. Dia nyaris menjatuhkan gelas air mineral yang sedang ia genggam. Sejenak, tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup pelan namun tidak tenang.“Ma—maksudnya, Pak? Bapak mau … mengundurkan diri?” tanya Mira perlahan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. “Nggak. Nggak mungkin Bapak mundur dari jabatan Bapak gitu aja.”Rasanya seperti mendengar kabar buruk di siang bolong. Mira belum bisa memercayai bahwa seorang CEO yang ia anggap seperti ayahnya sendiri, justru tiba-tiba membuat keputusan sebesar itu.Padahal selama ini, Pak Junaedi tidak pernah terlihat tertekan. Justru beliaulah yang selalu memberikan semangat kepada para pegawai, dari divisi manapun. Termasuk Mira yang baru genap enam bulan bergabung di FoodBeary. Perusahaan jasa pengantaran khusus makanan yang sedang berkem







