LOGINJam kerja selesai sejak jam 5 sore tadi. Bahkan semua pegawai sudah pulang duluan dan ruangan divisi hening. Mira tentu masih terpaku di kursinya. Matanya menatap angka-angka yang berjejer di layar, grafik engagement yang naik turun, persentase CTR yang kadang anjlok, kadang melonjak.
Selama pengerjaan itu, dia menarik napas panjang. Di balik kepalanya, ada satu pikiran yang mengusik: kenapa harus Firman yang memberi tugasnya? Kenapa tidak Bu Nia saja, seperti biasa?
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat tersadar ruangan makin sepi. Hanya lampu meja yang menemani. Mira meregangkan bahu, berusaha menepis rasa lelah. Tapi semakin lama menatap layar, semakin sering wajah Firman muncul di benaknya.
“Firman Setiawan …” Dia mengucap pelan nama itu, nyaris seperti gumaman.
Dan tiba-tiba, kenangan itu menyeruak. Koridor SMA dengan dinding hijau pucat. Suara tawa teman-teman sekelas. Dirinya—Mira remaja—berdiri dengan tangan terlipat, melontarkan kalimat yang ia anggap sepele waktu itu.
"Heh Man, kamu tuh banyakan diam aja kayak patung. Nggak heran sih nggak bakal ada teman-teman yang mau dekat sama kamu."
Mira tahu, itu sangat tajam. Dan terdengar jelas dari dalam bayangannya. Mira meremas jarinya di atas meja, wajahnya memerah. Rasa bersalah begitu mencuat dari dirinya.
“Kenapa aku harus ketemu dia lagi … apalagi dalam posisi ini?” bisiknya, suara serak tertahan di antara hening malam. "Sebelum Pak Junaedi diganti, justru tidak ada hal yang bikin aku terbebani."
Laptop kantor masih menyala, grafik masih terpampang. Mira sadar, dengan kesalahan yang dia perbuat pada Firman dulu, membuat dia harus membayar semuanya. Kerja keras serta beban yang datang langsung dair orang yang dulu pernah dia rendahkan.
"Sudah, Mira. Jangan mengeluh." Dia menepuk pipinya berkali-kali, agar mengusir kantuk yang mulai melandanya. "Pokoknya aku harus selesaikan ini, anggap aja ini tugas kantor yang bukan dari Firman.
Kedua tangan Mira bergerak mengetikkan tuts demi tuts, lalu sejenak dia menyusun kesimpulan, merapikan tabel, menambahkan grafik visual agar lebih mudah dipahami.
Jarum jam hampir menunjuk pukul sebelas malam ketika tersadar notifikasi di ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.
Pesan itu singkat, hanya satu baris. Dari nomor yang baru tersimpan.
(Ke ruangan saya sekarang.)
Nama pengirimnya jelas—Firman Setiawan.
Mira tertegun. Tangannya refleks menggenggam ponsel erat-erat. Ragu sempat menguasai langkahnya, namun beberapa menit akhirnya ia berdiri, mengambil print-out laporan yang baru saja selesai, lalu melangkah ke lantai teratas dengan degup jantung berlipat ganda.
Lorong menuju ruangan CEO itu sunyi, hanya suara denting lift yang baru menutup di belakangnya. Cahaya lampu remang menyapu lantai, membuat suasana terasa lebih tegang. Mira mengetuk pintu perlahan, hampir tanpa suara.
“Masuk.” Suara berat itu menyambut dari dalam.
Mira melangkah, membawa map laporan ke mejanya. Sementara itu Firman duduk tegak di kursi, jasnya masih rapi meski jam sudah larut. Laptop di hadapannya terbuka, menampilkan lembar kerja yang penuh angka.
“Ini, Pak … laporan tiga bulan terakhir.” Mira meletakkan map di atas meja, suaranya sedikit bergetar.
Firman tak segera menyentuhnya. Matanya hanya menatap Mira sekilas, dingin, sebelum akhirnya membuka halaman pertama. Sunyi melingkupi ruangan itu, hanya terdengar suara kertas yang dibalik perlahan. Mira berdiri kaku, kedua tangannya terlipat di depan, menahan gelisah.
“Engagement stabil di bulan pertama … menurun di bulan kedua … ada kenaikan tipis di bulan ketiga …” Firman bergumam pelan, matanya fokus pada grafik. Lalu berhenti, menatap Mira datar. “Tunggu. Ini yang kamu kerjain ini, laporan analisis atau cuma laporan mentah?”
Mira meneguk ludah, mencoba untuk menjelaskan. “Sa–saya tambahkan insight, Pak. Di halaman terakhir ada kesimpulan tentang strategi konten.”
Firman membuka halaman itu, menatap beberapa poin yang sudah Mira ketik dengan hati-hati. Namun ekspresinya tetap sama—datar, nyaris tanpa emosi.
“Hmm.” Firman menutup mapnya perlahan, meletakkannya di atas meja. “Untuk ukuran staf baru, ini … lumayan. Tapi masih terlalu dangkal.”
Kata “dangkal” menusuk Mira seperti duri. Dadanya terasa sesak, meski dirinya tengah berusaha menahan wajahnya tetap tenang.
“Revisi.” Firman memerintah, sambil membuang laporan yang Mira buat ke lantai.
Mira segera mengiyakan. “Ba–baik, Pak. Saya akan perbaiki.”
Firman hanya mengangguk sekali. “Besok pagi, jam delapan, saya mau lihat versi yang lebih matang. Kalau kamu memang bisa, buktikan di situ.”
Mira menunduk, lalu melangkah mundur sebelum keluar dari ruangan.
“Sa–saya … pa–pamit ya pak.”
Firman tak membalas lagi. Mira spontan membuka pintu lalu menutupnya dengan pelan, meninggalkan keheningan yang mencekik.
Di sepanjang lorong, Mira berjalan dengan langkah berat, map kosong di tangannya kini seolah beban yang tak kalah berat dari hatinya.
“Sekarang lihatlah, dia seperti atasan yang galak ke bawahannya. Dia juga datar lagi.” Mira sedikit mengomel lalu matanya perlahan menatap pada lantai maermer yang dingin.
Tentu dia tahu, jauh dari dalam dirinya, semangat kecil yang dia miliki tetap menyala. Dia bertekad, ingin membuktikan bahwa dirinya bukan lagi Mira yang dulu, bukan lagi gadis SMA yang hanya tahu melontarkan kata-kata pedas.
***
Mira menuruni tangga darurat perlahan. Map kosong itu masih dia genggam seolah enggan untuk dilepaskan. Jam sudah menunjuk hampir pukul sebelas malam, kantin kantor tutup sejak lama, dan hanya suara derap langkah kakinya yang mengisi lorong.
“Maksud aku, kenapa kerjaan kayak ini harus aku yang kerjakan?” Mira berbisik lirih sambil menghela napas berat. “Padahal jelas-jelas ada Pak Fahmi. Itu kerjaan yang sesuai dengan job desk, bukan kerjaan content strategist kayak aku.”
Tangannya sibuk meraih tas selempang, memeriksa ponsel yang baterainya sudah kritis. Notifikasi pesan dari teman-temannya berderet, menanyakan kenapa ia belum juga pulang. Mira hanya menatap sekilas, lalu memasukkan kembali ponselnya dengan wajah muram.
Di ruang lobi yang sudah sepi, Mira berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di dinding kaca. Rambutnya berantakan, matanya sembab, wajahnya letih. Sekilas, dirinya merasa sedang melihat sosok lain—remaja SMA yang dengan mudahnya melempar ejekan ke seorang anak laki-laki yang tidak pernah membalas perbuatannya dulu.
“Firman Setiawan …” gumamnya pelan, menyebut nama itu dengan getir.
Hatinya mencelos. Semua yang terjadi barusan—perintah mendadak, komentar datar, bahkan lembar laporan yang dibuang begitu saja—membuatnya tersadar.
“Mungkin ini karma buat aku.” Mira memeluk tasnya erat-erat. “Dulu aku seenaknya sama dia. Sekarang giliran aku yang harus terima semuanya, tanpa bisa banyak protes.”
Pikirannya makin kalut. Kalau benar Firman masih ingat masa lalu mereka, mungkin tugas ini bukan sekadar uji coba. Bisa jadi, ini cara Firman menunjukkan siapa yang berkuasa sekarang.
Namun, di balik rasa sesak itu, ada tekad kecil yang mulai tumbuh. Mira menegakkan bahunya, menatap pantulan dirinya sekali lagi.
“Aku nggak boleh kalah. Aku bukan Mira yang dulu. Kalau aku bisa buktiin kerjaan ini, mungkin … dia bakal beda memandang aku yang sekarang..”
Dengan langkah berat tapi penuh keyakinan, Mira akhirnya melangkah keluar dari gedung kantor. Angin malam menyapa wajahnya, dingin, tapi entah kenapa membuat hatinya sedikit lebih ringan.
***
Jam kerja selesai sejak jam 5 sore tadi. Bahkan semua pegawai sudah pulang duluan dan ruangan divisi hening. Mira tentu masih terpaku di kursinya. Matanya menatap angka-angka yang berjejer di layar, grafik engagement yang naik turun, persentase CTR yang kadang anjlok, kadang melonjak.Selama pengerjaan itu, dia menarik napas panjang. Di balik kepalanya, ada satu pikiran yang mengusik: kenapa harus Firman yang memberi tugasnya? Kenapa tidak Bu Nia saja, seperti biasa?Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat tersadar ruangan makin sepi. Hanya lampu meja yang menemani. Mira meregangkan bahu, berusaha menepis rasa lelah. Tapi semakin lama menatap layar, semakin sering wajah Firman muncul di benaknya.“Firman Setiawan …” Dia mengucap pelan nama itu, nyaris seperti gumaman.Dan tiba-tiba, kenangan itu menyeruak. Koridor SMA dengan dinding hijau pucat. Suara tawa teman-teman sekelas. Dirinya—Mira remaja—berdiri dengan tangan terlipat, melontarkan kalimat yang ia angg
“Oh … Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!”Mira nyaris menabrak CEO baru itu. Saat tahu pria tinggi besar berada di depannya, Mira segera membuat jarak. Satu tangan kirinya memegang kantong kertas berisi makan siang dari warung langganannya, sementara tangan kanan buru-buru merapikan helaian rambut yang tertiup angin dari pintu otomatis.Firman yang berjalan mengitari lobby, sempat terhenti ketika melihat sosok itu. Mira. Dengan nama lengkap Mira Hartono. Nama yang mana masih mengendap di kepalanya saat pertama kali melihat papan nama yang tercetak jelas di meja kubikel itu. Nama yang dulu, di masa SMA, tak pernah berarti baik untuknya.“Nggak apa-apa,” jawabnya datar bernada sopan. Suaranya dibuat seprofesional mungkin, meski tatapannya tak bisa sepenuhnya menghindari dari wajah Mira.Balasan Mira hanya senyuman yang kaku, seolah tahu dirinya berada di posisi yang tak nyaman.“Emm, Anda … habis rapat ya pak?” tanya Mira sekadar basa-basi, suaranya kini lebih rendah dari biasanya.Firman m
“Jadi gimana, Man?” tanya Pak Junaedi antusias. “Kamu tidak mau ambil tawaran yang sudah saya katakan barusan?”Ekspresi beliau separuh bercanda, separuh serius. Bagaimana tidak? Beliau memanggil Firman–anak kolega lamanya berkumpul ke kafe cuma sekadar mempertimbangkan jabatan yang sedang dia emban.CEO. Jabatan tertinggi yang mana Firman harus ambil alih, karena Pak Junaedi pun merasa ingin perusahaan miliknya punya suasana baru.“Pak. Perusahaan Anda bisa terbilang bagus loh.” Firman mengangkat map berlogo FoodBeary yang tadi Pak Junaedi kasih. “Juga, saya baru aja pulang loh dari LN. Kepala saya masih kebawa suasana santai, masa langsung loncat jadi CEO.”Benar. Firman belum lama ini kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan magister computer science di salah satu kampus bergengsi di Vancouver. Tentu dia balik rumah hanya niat sederhana, yaitu beristirahat, menikmati waktu bersama keluarga, dan sesekali membantu bisnis kecil mamanya. Pekerjaan dalam jangka besar sama sekali tak a
“Jaga FoodBeary baik-baik selama saya tidak di sini, ya,” ucap Pak Junaedi memberikan pesan kepada Mira yang terlihat kedua mata sembab saat perpisahan kecil-kecilan di ruang utama.Sudah minggu kedua, akhirnya Pak Junaedi resmi berbenah dari FoodBeary. Benar-benar meninggalkan kesan mendalam bagi para pegawai, termasuk divisi digital marketing yang menuai sorotan atas kinerja yang bagus.Mira tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sambil terus memegang kedua tangan berkeriput itu—yang mana beliau sudah dia anggap sebagai bapak sendiri.“Pak. Kalau Bapak benar-benar ingin menenangkan diri dari pekerjaan, Bapak jangan lupa untuk tetap kasih kabar di grup. Kami nggak akan mengeluarkan Bapak di grup itu, dan bila Bapak mau kasih motivasi, tidak masalah, selama itu bisa jadi semangat buat kami,” ucap Mira sambil memberikan pesan pada beliau.Pak Junaedi tak akan lupa bagaimana beliau mengapresiasi kinerja Mira di FoodBeary, meskipun Mira tetap datang ke ruangannya dan mencurahkan keluh
“Dalam waktu dekat, saya akan mengundurkan diri sebagai CEO.”Ucapan itu mengalir begitu saja dari bibir Pak Junaedi. Membuat Mira Anindita Hartono—31 tahun, seorang content strategist di divisi digital marketing. Dia nyaris menjatuhkan gelas air mineral yang sedang ia genggam. Sejenak, tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup pelan namun tidak tenang.“Ma—maksudnya, Pak? Bapak mau … mengundurkan diri?” tanya Mira perlahan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. “Nggak. Nggak mungkin Bapak mundur dari jabatan Bapak gitu aja.”Rasanya seperti mendengar kabar buruk di siang bolong. Mira belum bisa memercayai bahwa seorang CEO yang ia anggap seperti ayahnya sendiri, justru tiba-tiba membuat keputusan sebesar itu.Padahal selama ini, Pak Junaedi tidak pernah terlihat tertekan. Justru beliaulah yang selalu memberikan semangat kepada para pegawai, dari divisi manapun. Termasuk Mira yang baru genap enam bulan bergabung di FoodBeary. Perusahaan jasa pengantaran khusus makanan yang sedang berkem







