Di kediaman keluarga Ariesandy terdapat sebuah ruangan rahasia yang hanya bisa diakses oleh pemiliknya, yakni Om Savian. Ruangan itu cukup luas dengan fasilitas lengkap. Namun sayang, pencahayaan yang redup membuat suasana di sana terkesan menyeramkan. Ditambah lagi, berbagai koleksi persenjataan membuat ruangan semakin mencekam. Di bagian tengah, terdapat meja meeting yang kini ditempati oleh tujuh orang pria. Mereka duduk mengelilingi meja menghadap depan tepatnya di layar monitor yang menampilkan 4 kotak tayangan layaknya CCTV. Masing-masing dari mereka memakai earpiece sebagai sarana komunikasi dengan orang suruhan yang berada di sana. Misi kali ini melibatkan anak buah Om Savian dan Papi Kafka yang bersatu untuk menangkap Darwin. Empat diantaranya membawa kamera tersembunyi yang terpasang pada tubuhnya. Kamera itu tidak disertai alat penyadap suara sehingga tidak bisa mendengarkan pembicaraan di sana. Tak apa, ini sudah menjadi bagian dari rencana agar tidak dicurigai. “
“Belum puas kah kau menghancurkan hidupku, Wirya?!”Papa Wirya mengernyitkan kening bingung. “Apa maksudmu?”Raya tertawa sarkas. “Jangan pura-pura tidak tahu. Apa kau tidak ingat dengan pria bernama Rusman Santoso?”Kerutan di dahi Papa Wirya semakin kentara mendengar nama yang tidak asing lagi baginya. Beberapa detik setelahnya, beliau mengingat seorang pria yang dulu pernah menjadi saingannya dalam sebuah tender yang dijalankan oleh perusahaan BUMN. “Dia, pria sangat kejam yang tega meninggalkan keluarga kecilnya demi kehidupan mewah. Dan semua itu karena kau, Wirya?!” Raya menunjuk ke arah Papa Wirya dengan jari telunjuknya.“Memang apa yang sudah saya lakukan sehingga dia meninggalkan keluarga kecilnya?” tanya Papa Wirya.“Kau merebut tender itu yang membuat perusahaan ayahku bangkrut. Tender itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan perusahaan kami dari pailit.”“Itu karena kesalahannya sendiri yang berbuat curang,” balas Papa Wirya.Pada awalnya, Rusman memang berhasil mem
“Mas beneran nggak ikut pulang besok?” Azwa tengah memasukkan pakaiannya juga pakaian Wafa ke dalam koper untuk dibawa pulang ke Semarang. Di depannya ada Aufal yang ikut membantu. “Mas masih ada beberapa urusan yang harus Mas selesaikan di sini sebelum benar-benar pindah ke Semarang. Kamu pulang duluan bareng Papa sama Mama, ya. Mas pasti langsung pulang kalau semuanya udah beres,” jawab Aufal. Azwa menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Aufal. “Beneran loh, Mas. Jangan lama-lama pulangnya.” “Iya, Sayang.” Beberapa menit kemudian, keduanya sudah selesai packing. Kini, Azwa duduk di sofa sambil memperhatikan gerak-gerik suaminya yang sedang mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Aufal duduk di samping Azwa. “Ini untukmu,” ucapnya sambil menyodorkan dua buah kartu debit dan satu buku tabungan. “Apa ini Mas?” Azwa menerima tiga benda itu dengan heran. Aufal tersenyum lalu menunjuk salah satu kartu di tangan Azwa. “Ini kartu debit yang berisi gaji Mas yang langs
Sehabis Subuh sekitar pukul lima pagi, Azwa sedang video call dengan Aufal di kamar bersama Wafa. Sejak pulang dari Jakarta, Azwa memilih tinggal di rumahnya sendiri. Terhitung sudah empat hari dia di sini sembari menunggu Aufal pulang.“Papa jadi pulang hari ini kan?” Azwa mengarahkan ponselnya ke bawah agar wajahnya dan wajah Wafa bisa terlihat di layar ponsel. Di seberang sana, Aufal tampak sedang duduk di teras dengan pakaian yang sudah rapi. “Jadi dong, Bunda. Sekarang Papa lagi memanaskan mobil. Nih, lihat.”Layar berubah menjadi kamera belakang yang menyoroti sebuah mobil putih terparkir sempurna di halaman rumah. Hanya sebentar sebelum layar kembali menampilkan wajah tampan Aufal.“Tumben Wafa udah bangun jam segini?” tanyanya.“Nggak tau, tadi waktu mendengar suara Mas dia langsung bangun. Kangen bapaknya mungkin.” Azwa mencium gemas pucuk kepala putranya yang sudah ditumbuhi rambut cukup lebat.Wafa mengulurkan tangan, meraih ponsel, dan hadapkan ke wajahnya sendiri. “Papp
“Mas Ofa!”Azwa terbangun dari tidurnya dengan napas ngos-ngosan dan keringat membanjiri tubuh. Dia menatap sekeliling yang ternyata berada di kamarnya sendiri. Wanita itu menghela napas lega karena hanya mimpi. Mimpi yang terasa nyata dan tentunya sangat mengerikan dimana Aufal mengalami kecelakaan dan dinyatakan hilang.Azwa beranjak turun lantas mencari suaminya. Pasti sekarang sudah pulang. Aufal bilang akan langsung menjemputnya begitu tiba dari Jakarta.Dengan senyum merekah, dia mencari suaminya di seluruh penjuru rumah. “Mas Ofa,” panggilnya saat mencari di bagian dapur, tapi tidak menemukan keberadaan Aufal.Kembali ke depan, Azwa bertemu dengan ibunya. “Bunda tau nggak dimana Mas Ofa? Mas Ofa udah pulang kan, Bun?” tanyanya tidak sabar.Bunda Nawa tidak menjawab melainkan hanya diam dan menatapnya sendu. Sikap yang menurut Azwa aneh padahal dia cuma bertanya tentang Aufal saja.“Apa mampir dulu di rumah Mama, ya?” Azwa mengusap dagunya berpikir. “Iya, mungkin aja Mas Ofa ad
“Ayah!” Seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari kelas berlari saat melihat orang yang tak disangka datang menjemputnya. Dia sangat merindukan sosok itu karena beberapa hari ini tidak bertemu. Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung berwarna navy tengah berlutut sambari merentangkan tangannya. Dia tak memedulikan pandangan orang-orang terhadapnya. Begitu sampai, bocah itu langsung menghambur dalam pelukan hangatnya. Dia tertawa dan membalas pelukan tak kalah erat. “Hai, little boy. Kangen banget ya?” Bocah itu mengangguk. “Wafa kangen Ayah. Beberapa hari ini Ayah nggak dateng.” “Ayah juga kangen banget sama Wafa. Ayah minta maaf, ya, Sayang. Pekerjaan Ayah banyak banget.” Pria itu melepaskan pelukannya lantas mengusap kepala sang anak penuh kasih sayang. “Wafa maafin, tapi jangan diulangi,” ucap anak laki-laki yang bernama Wafa. “Siap, Boy.” Pria itu mengangkat tubuh Wafa ke dalam gendongan dan membawanya menuju mobil. Dia mendudukkan Wafa di kur
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib