Share

7

Penulis: Nalika Maurad
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-18 17:07:07
Pagi ini, seperti biasa aku mengantar Idam ke sekolah. Jalanan masih lengang, tapi suasana di dalam mobil terasa berat. Idam duduk diam di sampingku, menatap keluar jendela. Tiba-tiba, tanpa menoleh, dia bertanya pelan, “Kak, beneran ya Kak Nanas mau nikah?”

Aku menahan napas, mencoba tersenyum. “Enggak kok, Dam. Kakak belum mau nikah.”

Tapi Idam menggeleng, wajahnya serius. “Kakak jangan bohong. Mama bilang kakak mau nikah. Berarti di rumah nanti cookies-nya nggak ada lagi, ya?”

Aku berusaha bercanda, “Idam, kamu lebay. Kakak nggak akan kemana-mana. Cookies tetap ada, kok.”

Tapi dia tetap melanjutkan, suaranya makin pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Nanti... siapa yang bikin cookies buat Idam? Nggak sama kayak di toko. Kakak juga yang suka bikinin yang gosong dikit, kan cuma Idam yang suka. Terus, nanti kalau Idam mau ngerjain PR, siapa yang bantuin? Kak Ayar galak, suka jitak kepala Idam kalau salah. Nanti di rumah sepi, nggak ada yang teriak-teriak atau nyanyi-nyanyi nggak jelas.
Nalika Maurad

29 april 2025

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
laila lala
........ .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah Muda   13

    Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip

  • Menikah Muda   12

    Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.

  • Menikah Muda   11

    Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh

  • Menikah Muda   10

    Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang

  • Menikah Muda   9

    Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb

  • Menikah Muda   8

    Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status