Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku.
"Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.
Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang.
"Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.
Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu.
"Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun."
"Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?"
"Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.
Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Dua hari kemudian mama datang dengan peralatan masak, set makanan beserta bu Pur. Mama merencanakan mengadakan makan malam bersama kami bertiga. Aku, Andrew dan mama yang beliau sebut makan malam keluarga.
Sejak siang bu Pur dan Serena berjibaku di dapur mempersiapkan semuanya. Mereka memasak steak.
Saat di meja makan sudah berjejer dengan rapih set peralatan makan, aku dan mama berbincang di kamar. Kami sedang bersiap.
Mama menggunakan dress merah di bawah lutut yang cantik. Tak luput mama memilihkan setelan yang harus ku gunakan.
"Kenapa harus memakai baju yang formal sih ma, padahal kita hanya makan di rumah saja?"
"Ini jarang terjadi jadi kita harus menciptakan suasana yang berbeda."
"Lagian kenapa kita gak makan di luar aja?"
"Mama rindu rumah ini." Pikiran mama sekilas menerawang. "Mama juga ingin suasana yang lebih kekeluargaan. Papa juga pasti akan setuju dengan mama."
Soal papa aku jadi teringat kembali tentang beliau. Dari aku sadar hingga hari ini belum pernah aku mengunjungi makamnya. Bahkan surat yang lainnya pun belum aku terima.
"Ma, bukannya papa menulis surat lain untukku?"
Mama yang sedang sibuk memilihkan pakaian untukku tiba-tiba berhenti. "Apa kamu mau membacanya hari ini?"
"Iya, biar ku baca nanti setelah kita makan malam."
Mama menghampiri tasnya yang berada di meja komputer. Beliau mengeluarkan amplop serupa dengan surat sebelumnya namun kali ini bertuliskan angka 2. Kusimpan amplop itu di laci nakas.
***
Andrew datang lima menit sebelum waktu mama menyuruhnya kemari.
Kini di rumah ini hanya kami bertiga. Serena, bu Pur dan para sopir sedang makan malam bersama di luar.
Meja makan terlalu hening untuk yang disebut acara makan malam keluarga. Suara dentingan pisau dan piring justru yang mendominasi ruangan itu.
"Sepertinya kita harus sering-sering makan malam bersama seperti ini. Mama benar-benar merindukan kalian." Tak ada yang merespon ucapan mama.
"Bagaimana kabarmu?" Andrew akhirnya mulai mempedulikanku.
Pertanyaan yang harusnya ia tanyakan seminggu yang lalu saat aku pertama bertemu dengannya.
"Baik." Ucapku kaku.
"Apa kamu sudah pernah mengunjungi Daily Health?"
"Belum, aku tak tertarik. Sejak dulukan memang aku tidak pernah berniat bekerja di kantor berita. Justru bukannya itu adalah cita-citamu?" Kekesalan yang sudah ku usahakan untuk ku lupakan sepertinya mulai menunjukan diri.
Andrew tesenyum sungging. "Memang Daily Helath itu adalah mimpi ku yang akhirnya ku buang karena permintaan papa."
"Kalau begitu kau bisa kembali ke Daily Health."
"Dan kamu ingin mengambil rumah sakit?Kamu selalu saja ingin berada di zona nyaman. Harusnya kamu belajar sesuatu dari nol." Andrew berkata tanpa beban.
Hatiku panas. "Kamu menyepelekanku? Kamu pikir aku ini dokter sulap? Untuk menjadi dokter aku belajar dari 0 dengan jerih payahku,,,"
"Anak-anak, " Mama mencoba melerai namun suaranya kalah dari anak-anaknya.
",,,dan setelah semuanya berada ditanganku kamu merebutnya tanpa rasa bersalah."
"Merebutnya? Kata itu bukanlah kata yang cocok untuk kau sandingkan padaku. Yang ada aku harus bertanggung jawab menggantikanmu. Kamu pikir seberapa beratnya aku melepas Daily Health dan melihatnya hancur."
Aku berdiri menggebrak meja. "Daily Health hancur bukan karena aku tapi karena ketidak becusanmu sendiri. Coba kau lebih kompeten mengelola rumah sakit dan Daily Health berbarengan."
"Kau sendiri apa kemampuanmu?" Andrew berkata santai sambil memasukan potongan daging ke mulutnya.
"Anak-anak!! Apa kalian tidak menghargai mama?" Mama berdiri menggebrak meja. Menyadarkanku keberadaan beliau.
Amarahku mungkin meledak lagi kalau mama tidak menghentikan kami. Aku duduk. Mengalihkan perhatian dengan memotong daging di piring.
"Tenanglah anak-anak. Tidak ada yang perlu ke Daily Health kalau tidak mau. Baik Andrew mau pun Andreas, Andrew dalam posisinya sekarang dan Andreas kembali menjadi dokter kapan pun kamu siap."
"Aku tidak akan mengizinkan dia kembali menjadi dokter jika tangannya gemetar seperti itu." Mata Andrew menghardik tanganku.
Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Andrew. Kulihat memang benar tangaku bergetar tapi aku tak tahu sejak kapan.
"Dan satu lagi dokter bedah adalah orang yang tenang. Orang tempramen tidak pantas menjadi dokter bedah. Kamu bisa membunuh orang dengan sifatmu. Ku sarankan kamu untuk pergi ke psikolog."
Bruk. Lagi-lagi aku menggebrak meja. Menahan amarah. Menjadi dokter adalah satu-satunya yang aku miliki sekarang. Berani-beraninya dia menyepelekanku! Namun sebelum aku melontarkan kata lagi dia sudah berbicara.
"Aku sudah selesai makan. Aku akan pamit. Terima kasih atas makananaya, saya pulang dulu ma." Andrew pergi dari rumah mengendarai mobilnya.
Mama sejak tadi hanya memegang kepalanya. Pusing dengan kekacauan ini. Mama tidak memperkirakan akan ada kejadian seperti ini.
"Sialan kau Andrew." Aku membanting piring dihadapanku ke dinding, pecahannya menyebar memenuhui ruangan. Aku masuk kamar tanpa kata.
Keheningan yang berjalan cukup lama itu terpecahkan oleh suara pintu depan yang terbuka. Samar terdengar suara bu Pur yang menanyakan kondisi mama. Ku dengar juga suara pecahan piring yang beradu. Mungkin Serena sedang membersihkannya.
Aku baru sadar bahwa hal yang telah ku lakukan pastinya akan menghancurkan hari mama.
"Andreas mama pulang ya." Ketukan kecil dan suara mama di balik pintu.
Perasaan bersalah ini bahkan membuat aku malu untuk menemui mama.
Aku hanya duduk diam di ujung kasur. Kemudian ku buka laci nakas di mana tadi ku simpan surat dari papa.
Isi surat :
Andreas pasti hatimu sedih dan harimu terasa berat mengetahui kenyataan ini dan itu. Papa yakin kesedihan tidak akan menghancurkanmu.
Kamu berhak memutuskan tetap berada di rumah sakit di bawah kekuasaan Andrew atau pergi ke rumah sakit lain. Tapi kalau kau tanya papa akan memilih apa papa akan menjawab papa akan keluar karena harga diri adalah segalanya.
Ciptakan sesuatu yang bahkan kamu tidak pernah memikirkannya dan jadilah anak yang membanggakan seperti biasa.
Kebahagiaanmu yang utama pikirkan semuanya baik-baik.
Salam papa.
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Suara ribut dan aroma masakan ternyata juga mengusik tim Wanda. Ketika aku ke sana beberapa sudah ada yang menebak-nebak menu apa yang disediakan dan sebagian lagi tidak sabar untuk makan. "Bagaimana ada kendala?" Tanyaku pada Wanda yang sedang sibuk mengambil data dari leptop Natalie. "Belum sama sekali karena kami juga belum memulainya. Kami baru saja mengambil data-data di leptop." "Kalian bisa makan dulu kalau setting makan siangnya sudah selesai ya." Wanda setuju dan menyuruh mahasiswa-mahasiwinya untuk makan secara bergantian sebelum memulai bekerja. Sementara setengah mahasiswanya makan setengah lagi bersaman Wanda sibuk mencetak dan membaca data-data keuangan yang akan diaudit. Aku memutuskan untuk menunggu Wanda selesai melakukan tugasnya. Aku ingin makan bersama dia. Aku dan Wanda adalah teman satu kampus. Kami berbeda jurusan namun dipertemukan dikegiatan organisasi, organisasi itulah yang juga mempertemukanku dengan Anna. H
Matahari hampir hilang ketika aku keluar dari Tower 11 bersama Serena. Aku pergi terlebih dahulu setelah sebelumnya membahas kinerja perusahaan bersama tim desain dan tim redaksi. Ketika aku pamit kepada Wanda yang masih sibuk mengecek hasil auditan murid-muridnya dia memperkenalkanku pada Sean. Seorang mahasiswa yang diberi kepercayaan mengetuai tim audit ini. "Jadi jika ada apa-apa kamu bisa langsung menghubunginya dan sebaliknya dia juga menghubungimu." Ucap Wanda. "Aku tidak akan setiap hari ke sini karena harus bekerja dan mengajar juga." Tambah Wanda. Setelah Sean bertukar nomor telepon dengan Serena kami pamit. Sesuai janjiku tadi pagi aku ingin membeli sebuah handphone terbaru, untuk itu kami pergi ke sebuah mall yang tak jauh dari lokasi Tower 11. "Merk apa yang bagus dan paling terbaru?" Aku bertanya kepada penjaga toko ketika sampai disebuah toko HP. "Mari sebelah sini pak." Penjaga toko itu mengajakku ke sebua
Entah mengapa aku berlari tanpa arah seperti orang yang ketakutan. Padahal dalam hal ini aku tidak salah apa pun. Aku tidak pernah dengan sengaja membuat diriku kecelakaan atau koma selama tujuh tahun. Kalianlah yang seharusnya malu dan meminta maaf. Mengetahui dia bisa tertawa lepas dengan pria lain seperti tadi membuat hatiku hancur dan aku tidak ingin melihat pemandangan itu. Andrew kehidupanmu sungguh sempurna, harusnya akulah yang ada diposisimu itu. "Pak Andreas," tiba-tiba ada yang menarik tangan dan memelukku. Aku terkejut tapi tidak melepaskan pelukan itu karena pelukannya begitu menenangkan. Aku sadar sekarang sedang berada di parkiran mobil lantai 5 dan orang yang memelukku adalah Serena. Ku lihat barang bawaan kami berceceran di lantai. Serena berkata pelan tanpa henti. "Tenang pak saya ada di sini, tenang." Aku hendak menyudahi pelukan ini tapi suara Serena, pelukannya dan gerakan tangan kanannya yang menepuk-nepuk pundakku menaha
Perasaan Serena Serena menatap langit-langit kamar. Malam ini ia berbaring dengan perasaan paling bahagia. Baginya hari ini adalah hari yang paling berbeda dalam hidupnya. Dia tiba-tiba memiliki profesi yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Menjadi seorang sekretaris. Serena tersenyum mengingat kejadian di mobil seusai pulang dari pemakaman, Andreas tiba-tiba menunjuknya menjadi sekretaris. Hanya sekretaris tanpa perlu memakai seragam dan membereskan rumah lagi. Serena bangun duduk, menatap kantong-kantong belanjaan yang ia beli tadi di mall. Ia menghampirinya mengambil salah satu pakaian dan menempelkannya di badan seraya berputar-putar di depan cermin besar yang terpaku di dinding kamar. Baju ini bukanlah baju mahal seperti yang digunakan Anna atau wanita-wanita kaya lainnya tapi sungguh Serena merasa bahagia karena yang memberikannya adalah Andreas. Aku tidak boleh mengecewakan pak Andreas secara visual maupun kemampuan. Pikirnya. Seren
Serena sudah mandi sebelum matahari terlihat. Kebiasaan yang ia lakukan seperti yang ibunya ajarkan yakni mandi sebelum memulai aktivitas. Menjadi asisten rumah tangga itu pekerjaan yang berat mereka harus memulai bekerja sebelum tuannya membuka mata sampai mereka menutup mata kembali. Maka dari itu mandi pagi-pagi sekali adalah kunci agar memiliki energi saat memulai aktivitas. Meski pun kini Serena bukan lagi seorang asisten rumah tangga namun kebiasaan itu mengalir begitu saja. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi yang mereka gunakan bersama. Alasan inilah yang membuat Serena mandi sebelum Andreas bangun. Selesai membasuh tubuhnya Serena mengeringkan rambutnya dengan hair dryer lalu ia mengikat rambut dengan gaya kuncir kuda. Poninya ia jepit dengan jepitan rambut berwarna abu. Pakaian yang Serena kenakan adalah kaos berwarna abu-abu dengan celana berwarna abu juga. Selesai menyemprotkan parfum berbau soft ia keluar kamar untuk membangunkan pak Andreas. Serena
Setelah mengalami banyak hal yang berbeda dengan kehidupanku sebelum koma, aku mulai merencanakan banyak hal. Salah satunya adalah rencana balas dendamku. Namun untuk melakukan balas dendam aku harus memiliki pertahanan yang kuat. Dari segi fisik dan materi. Sudah ku susun untuk menerapkan pola hidup dan makan sehat setiap hari. Kemudian dari segi materi pun demikian, tak mungkin aku bisa menyerang Andrew jika tidak memiliki uang. Maka dari itu prioritaku sekarang adalah Daily Health dan aku berencana bahwa Daily Health sendirilah yang akan menyerang Andrew. Sepertinya itu akan jauh menyakitkan karena Daily Health adalah sesuatu yang ia bangun dengan tangannya sendiri.“Pak mari sudah sampai.” Aku menganggukkan kepala menjawab Serenan.Aku dan Serena turun dari mobil berjalan bersama masuk ke Tower 11 menuju kantor Daily Health. Kami kemudian berpisah di depan pintu ruang meeting. Aku harus masuk ruang meeting sedangkan Serena ke ruang tengah untuk me