Share

BAB 7

last update Last Updated: 2021-06-17 15:42:26

Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat  bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku.

"Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.

Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang.

"Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.

Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu.

"Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun."

"Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?"

"Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.

Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?

Dua hari kemudian mama datang dengan peralatan masak, set makanan beserta bu Pur. Mama merencanakan mengadakan makan malam bersama kami bertiga. Aku, Andrew dan mama yang beliau sebut makan malam keluarga.

Sejak siang bu Pur dan Serena berjibaku di dapur mempersiapkan semuanya. Mereka memasak steak.

Saat di meja makan sudah berjejer dengan rapih set peralatan makan, aku dan mama berbincang di kamar. Kami sedang bersiap.

Mama menggunakan dress merah di bawah lutut yang cantik. Tak luput mama memilihkan setelan yang harus ku gunakan.

"Kenapa harus memakai baju yang formal sih ma, padahal kita hanya makan di rumah saja?"

"Ini jarang terjadi jadi kita harus menciptakan suasana yang berbeda."

"Lagian kenapa kita gak makan di luar aja?"

"Mama rindu rumah ini." Pikiran mama sekilas menerawang. "Mama juga ingin suasana yang lebih kekeluargaan. Papa juga pasti akan setuju dengan mama."

Soal papa aku jadi teringat kembali tentang beliau. Dari aku sadar hingga hari ini belum pernah aku mengunjungi makamnya. Bahkan surat yang lainnya pun belum aku terima.

"Ma, bukannya papa menulis surat lain untukku?"

Mama yang sedang sibuk memilihkan pakaian untukku tiba-tiba berhenti. "Apa kamu mau membacanya hari ini?" 

"Iya, biar ku baca nanti setelah kita makan malam."

Mama menghampiri tasnya yang berada di meja komputer. Beliau mengeluarkan amplop serupa dengan surat sebelumnya namun kali ini bertuliskan angka 2. Kusimpan amplop itu di laci nakas.

***

Andrew datang lima menit sebelum waktu mama menyuruhnya kemari.

Kini di rumah ini hanya kami bertiga. Serena, bu Pur dan para sopir sedang makan malam bersama di luar.

Meja makan terlalu hening untuk yang disebut acara makan malam keluarga. Suara dentingan pisau dan piring justru yang mendominasi ruangan itu.

"Sepertinya kita harus sering-sering makan malam bersama seperti ini. Mama benar-benar merindukan kalian." Tak ada yang merespon ucapan mama.

"Bagaimana kabarmu?" Andrew akhirnya mulai mempedulikanku.

Pertanyaan yang harusnya ia tanyakan seminggu yang lalu saat aku pertama bertemu dengannya.

"Baik." Ucapku kaku.

"Apa kamu sudah pernah mengunjungi Daily Health?" 

"Belum, aku tak tertarik. Sejak dulukan memang aku tidak pernah berniat bekerja di kantor berita. Justru bukannya itu adalah cita-citamu?" Kekesalan yang sudah ku usahakan untuk ku lupakan sepertinya mulai menunjukan diri.

Andrew tesenyum sungging. "Memang Daily Helath itu adalah mimpi ku yang akhirnya ku buang karena permintaan papa."

"Kalau begitu kau bisa kembali ke Daily Health."

"Dan kamu ingin mengambil rumah sakit?Kamu selalu saja ingin berada di zona nyaman. Harusnya kamu belajar sesuatu dari nol." Andrew berkata tanpa beban. 

Hatiku panas. "Kamu menyepelekanku? Kamu pikir aku ini dokter sulap? Untuk menjadi dokter aku belajar dari 0 dengan jerih payahku,,,"

"Anak-anak, " Mama mencoba melerai namun suaranya kalah dari anak-anaknya.

",,,dan setelah semuanya berada ditanganku kamu merebutnya tanpa rasa bersalah."

"Merebutnya? Kata itu bukanlah kata yang cocok untuk kau sandingkan padaku. Yang ada aku harus bertanggung jawab menggantikanmu. Kamu pikir seberapa beratnya aku melepas Daily Health dan melihatnya hancur."

Aku berdiri menggebrak meja. "Daily Health hancur bukan karena aku tapi karena ketidak becusanmu sendiri. Coba kau lebih kompeten mengelola rumah sakit dan Daily Health berbarengan."

"Kau sendiri apa kemampuanmu?" Andrew berkata santai sambil memasukan potongan daging ke mulutnya.

"Anak-anak!! Apa kalian tidak menghargai mama?" Mama berdiri menggebrak meja. Menyadarkanku keberadaan beliau.

Amarahku mungkin meledak lagi kalau mama tidak menghentikan kami. Aku duduk. Mengalihkan perhatian dengan memotong daging di piring.

"Tenanglah anak-anak. Tidak ada yang perlu ke Daily Health kalau tidak mau. Baik Andrew mau pun Andreas, Andrew dalam posisinya sekarang dan Andreas kembali menjadi dokter kapan pun kamu siap."

"Aku tidak akan mengizinkan dia kembali menjadi dokter jika tangannya gemetar seperti itu." Mata Andrew menghardik tanganku.

Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Andrew. Kulihat memang benar tangaku bergetar tapi aku tak tahu sejak kapan.

"Dan satu lagi dokter bedah adalah orang yang tenang. Orang tempramen tidak pantas menjadi dokter bedah. Kamu bisa membunuh orang dengan sifatmu. Ku sarankan kamu untuk pergi ke psikolog."

Bruk. Lagi-lagi aku menggebrak meja. Menahan amarah. Menjadi dokter adalah satu-satunya yang aku miliki sekarang. Berani-beraninya dia menyepelekanku! Namun sebelum aku melontarkan kata lagi dia sudah berbicara.

"Aku sudah selesai makan. Aku akan pamit. Terima kasih atas makananaya, saya pulang dulu ma." Andrew pergi dari rumah mengendarai mobilnya.

Mama sejak tadi hanya memegang kepalanya. Pusing dengan kekacauan ini. Mama tidak memperkirakan akan ada kejadian seperti ini. 

"Sialan kau Andrew." Aku membanting piring dihadapanku ke dinding, pecahannya menyebar memenuhui ruangan. Aku masuk kamar tanpa kata.

Keheningan yang berjalan cukup lama itu terpecahkan oleh suara pintu depan yang terbuka. Samar terdengar suara bu Pur yang menanyakan kondisi mama. Ku dengar juga suara pecahan piring yang beradu. Mungkin Serena sedang membersihkannya. 

Aku baru sadar bahwa hal yang telah ku lakukan pastinya akan menghancurkan hari mama. 

"Andreas mama pulang ya." Ketukan kecil dan suara mama di balik pintu.

Perasaan bersalah ini bahkan membuat aku malu untuk menemui mama.

Aku hanya duduk diam di ujung kasur. Kemudian ku buka laci nakas di mana tadi ku simpan surat dari papa.

Isi surat :

Andreas pasti hatimu sedih dan harimu terasa berat mengetahui kenyataan ini dan itu. Papa yakin kesedihan tidak akan menghancurkanmu.

Kamu berhak memutuskan tetap berada di rumah sakit di bawah kekuasaan Andrew atau pergi ke rumah sakit lain. Tapi kalau kau tanya papa akan memilih apa papa akan menjawab papa akan keluar karena harga diri adalah segalanya. 

Ciptakan sesuatu yang bahkan kamu tidak pernah memikirkannya dan jadilah anak yang membanggakan seperti biasa. 

Kebahagiaanmu yang utama pikirkan semuanya baik-baik.

Salam papa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 29

    Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 28

    Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p

  • Menikah dengan Pria Lain   Bab 27

    Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 26

    Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 25

    Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa

  • Menikah dengan Pria Lain   BAB 24

    "Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status