Share

BAB 7

Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat  bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku.

"Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.

Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang.

"Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.

Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu.

"Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun."

"Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?"

"Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.

Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?

Dua hari kemudian mama datang dengan peralatan masak, set makanan beserta bu Pur. Mama merencanakan mengadakan makan malam bersama kami bertiga. Aku, Andrew dan mama yang beliau sebut makan malam keluarga.

Sejak siang bu Pur dan Serena berjibaku di dapur mempersiapkan semuanya. Mereka memasak steak.

Saat di meja makan sudah berjejer dengan rapih set peralatan makan, aku dan mama berbincang di kamar. Kami sedang bersiap.

Mama menggunakan dress merah di bawah lutut yang cantik. Tak luput mama memilihkan setelan yang harus ku gunakan.

"Kenapa harus memakai baju yang formal sih ma, padahal kita hanya makan di rumah saja?"

"Ini jarang terjadi jadi kita harus menciptakan suasana yang berbeda."

"Lagian kenapa kita gak makan di luar aja?"

"Mama rindu rumah ini." Pikiran mama sekilas menerawang. "Mama juga ingin suasana yang lebih kekeluargaan. Papa juga pasti akan setuju dengan mama."

Soal papa aku jadi teringat kembali tentang beliau. Dari aku sadar hingga hari ini belum pernah aku mengunjungi makamnya. Bahkan surat yang lainnya pun belum aku terima.

"Ma, bukannya papa menulis surat lain untukku?"

Mama yang sedang sibuk memilihkan pakaian untukku tiba-tiba berhenti. "Apa kamu mau membacanya hari ini?" 

"Iya, biar ku baca nanti setelah kita makan malam."

Mama menghampiri tasnya yang berada di meja komputer. Beliau mengeluarkan amplop serupa dengan surat sebelumnya namun kali ini bertuliskan angka 2. Kusimpan amplop itu di laci nakas.

***

Andrew datang lima menit sebelum waktu mama menyuruhnya kemari.

Kini di rumah ini hanya kami bertiga. Serena, bu Pur dan para sopir sedang makan malam bersama di luar.

Meja makan terlalu hening untuk yang disebut acara makan malam keluarga. Suara dentingan pisau dan piring justru yang mendominasi ruangan itu.

"Sepertinya kita harus sering-sering makan malam bersama seperti ini. Mama benar-benar merindukan kalian." Tak ada yang merespon ucapan mama.

"Bagaimana kabarmu?" Andrew akhirnya mulai mempedulikanku.

Pertanyaan yang harusnya ia tanyakan seminggu yang lalu saat aku pertama bertemu dengannya.

"Baik." Ucapku kaku.

"Apa kamu sudah pernah mengunjungi Daily Health?" 

"Belum, aku tak tertarik. Sejak dulukan memang aku tidak pernah berniat bekerja di kantor berita. Justru bukannya itu adalah cita-citamu?" Kekesalan yang sudah ku usahakan untuk ku lupakan sepertinya mulai menunjukan diri.

Andrew tesenyum sungging. "Memang Daily Helath itu adalah mimpi ku yang akhirnya ku buang karena permintaan papa."

"Kalau begitu kau bisa kembali ke Daily Health."

"Dan kamu ingin mengambil rumah sakit?Kamu selalu saja ingin berada di zona nyaman. Harusnya kamu belajar sesuatu dari nol." Andrew berkata tanpa beban. 

Hatiku panas. "Kamu menyepelekanku? Kamu pikir aku ini dokter sulap? Untuk menjadi dokter aku belajar dari 0 dengan jerih payahku,,,"

"Anak-anak, " Mama mencoba melerai namun suaranya kalah dari anak-anaknya.

",,,dan setelah semuanya berada ditanganku kamu merebutnya tanpa rasa bersalah."

"Merebutnya? Kata itu bukanlah kata yang cocok untuk kau sandingkan padaku. Yang ada aku harus bertanggung jawab menggantikanmu. Kamu pikir seberapa beratnya aku melepas Daily Health dan melihatnya hancur."

Aku berdiri menggebrak meja. "Daily Health hancur bukan karena aku tapi karena ketidak becusanmu sendiri. Coba kau lebih kompeten mengelola rumah sakit dan Daily Health berbarengan."

"Kau sendiri apa kemampuanmu?" Andrew berkata santai sambil memasukan potongan daging ke mulutnya.

"Anak-anak!! Apa kalian tidak menghargai mama?" Mama berdiri menggebrak meja. Menyadarkanku keberadaan beliau.

Amarahku mungkin meledak lagi kalau mama tidak menghentikan kami. Aku duduk. Mengalihkan perhatian dengan memotong daging di piring.

"Tenanglah anak-anak. Tidak ada yang perlu ke Daily Health kalau tidak mau. Baik Andrew mau pun Andreas, Andrew dalam posisinya sekarang dan Andreas kembali menjadi dokter kapan pun kamu siap."

"Aku tidak akan mengizinkan dia kembali menjadi dokter jika tangannya gemetar seperti itu." Mata Andrew menghardik tanganku.

Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Andrew. Kulihat memang benar tangaku bergetar tapi aku tak tahu sejak kapan.

"Dan satu lagi dokter bedah adalah orang yang tenang. Orang tempramen tidak pantas menjadi dokter bedah. Kamu bisa membunuh orang dengan sifatmu. Ku sarankan kamu untuk pergi ke psikolog."

Bruk. Lagi-lagi aku menggebrak meja. Menahan amarah. Menjadi dokter adalah satu-satunya yang aku miliki sekarang. Berani-beraninya dia menyepelekanku! Namun sebelum aku melontarkan kata lagi dia sudah berbicara.

"Aku sudah selesai makan. Aku akan pamit. Terima kasih atas makananaya, saya pulang dulu ma." Andrew pergi dari rumah mengendarai mobilnya.

Mama sejak tadi hanya memegang kepalanya. Pusing dengan kekacauan ini. Mama tidak memperkirakan akan ada kejadian seperti ini. 

"Sialan kau Andrew." Aku membanting piring dihadapanku ke dinding, pecahannya menyebar memenuhui ruangan. Aku masuk kamar tanpa kata.

Keheningan yang berjalan cukup lama itu terpecahkan oleh suara pintu depan yang terbuka. Samar terdengar suara bu Pur yang menanyakan kondisi mama. Ku dengar juga suara pecahan piring yang beradu. Mungkin Serena sedang membersihkannya. 

Aku baru sadar bahwa hal yang telah ku lakukan pastinya akan menghancurkan hari mama. 

"Andreas mama pulang ya." Ketukan kecil dan suara mama di balik pintu.

Perasaan bersalah ini bahkan membuat aku malu untuk menemui mama.

Aku hanya duduk diam di ujung kasur. Kemudian ku buka laci nakas di mana tadi ku simpan surat dari papa.

Isi surat :

Andreas pasti hatimu sedih dan harimu terasa berat mengetahui kenyataan ini dan itu. Papa yakin kesedihan tidak akan menghancurkanmu.

Kamu berhak memutuskan tetap berada di rumah sakit di bawah kekuasaan Andrew atau pergi ke rumah sakit lain. Tapi kalau kau tanya papa akan memilih apa papa akan menjawab papa akan keluar karena harga diri adalah segalanya. 

Ciptakan sesuatu yang bahkan kamu tidak pernah memikirkannya dan jadilah anak yang membanggakan seperti biasa. 

Kebahagiaanmu yang utama pikirkan semuanya baik-baik.

Salam papa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status