Hari sudah gelap tatkala Gilang turun dari taksi yang membawanya dari bandara ke rumah. Lampu ruang tamu menyala. Tandanya ada tamu. Hati Gilang sedikit gusar memikirkan nasibnya. Sekar yang tiba-tiba kabur pulang. Bahkan ia rela membolos kerja. Bahkan, dia sendiri tak tahu apa sebabnya.Istrinya itu telah menonaktifkan telepon sejak kemaren. Siaga perang harus dilaksanakan, meski pikirannya masih meraba. Apa yang salah hingga Sekar nekat pulang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Assalamualaikum,” ucapnya setelah mencoba mengendalikan gemuruh di dadanya. Ini di halaman rumahnya sendiri. Tapi, rasanya seperti hendak masuk medan laga. Pintu terbuka. Ada mama, papa, dan kedua mertuanya duduk berhadapan. Semuanya menatapnya. Mata Gilang menciut sambil memindai. Kemana Sekar? Gilang terduduk lemas di sofa setelah menyalami keempat orangtuanya. “Kamu ini gimana tho, Le. Istrinya sakit malah di suruh pulang sendiri…” Papa Gilang langsung membuka pembicaraan. Gilang terkesiap. Menegakka
“Dik, kamu bisa kan nggak usah ngambek kayak anak-anak?” tanya Gilang sambil menutup tubuh Sekar dengan selimut. Sekar tak menjawab. Dia memilih membalikkan badannya menghadap ke tembok. Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Bagaimana bisa dia bicara baik-baik jika Sekar masih marah seperti itu. Bahkan dia belum paham duduk masalahnya. Apalagi sampai mertua dan orang tuanya menyangka dia punya ‘simpanan’. Jelas-jelas sudah tak ada hubungan apapun dia dengan wanita lain. Sakina saja sudah diblokir nomornya. Lalu, kenapa Sekar bisa sampe ngambek dan pulang? Gilang mengacak rambutnya frustasi. Hanya salah paham kecil. Kenapa harus jadi besar? Hanya karena dia pergi sebentar keluar tanpa bilang kemana karena buru-buru. Ah! Dasar kekanak-kanakan. Apalagi baru beberapa hari lalu Sekar bilang tidak mau pulang karena biaya besar. Dan kepulangan mendadak seperti ini jelas menguras tabungan. Huff!“Dik, kamu nggak mau makan dulu? Perutmu kosong habis muntah.” Gilang memutar otak. Sek
Semilir angin rumah makan yang menyediakan nasi ayam kremes menerpa hingga tempat duduk Gilang dan Sekar di ujung pendopo yang memiliki ventilasi yang lebar. Rumah makan yang menggantungkan pada sirkulasi udara alami dibandingkan dinginnya AC. Sekar sebenarnya masih kesal dengan Gilang dan orang tua Gilang yang menyangka dirinya hamil. Bukan karena nggak ingin hamil. Tapi, Sekar sama sekali tak berfikir secepat itu. Bahkan, mendapatkan hati Gilang saja rasanya sulit. Sebelum menikah dengan Gilang, dia membayangkan akan memiliki suami yang perhatian. Seperti di novel-novel dan buku-buku islami yang pernah dibacanya, dimana di awal pernikahan akan dipenuhi diskusi tentang masa depan. Mau tinggal di mana. Desain rumah seperti apa. Mau anak berapa. Pendidikan anak-anak bagaimana. Ah, rasanya menyenangkan. Bukan malah awal pernikahan yang dipenuhi pertengkaran seperti yang dialaminya. Bahkan, menikah tak lain karena bayaran hutang! Sungguh takdir yang tak pernah diimpikan. “Makan yang b
Gilang menatap Sekar sekilas, lalu mencebik. “Nggak. Kita nggak akan datang. Kebetulan saja kita pas pulang, ” ujar Gilang saat melihat wajah Sekar sudah berubah murung. “Gimana sih, sudah di sini juga. Datang saja. Atau….kamu juga patah hati?” Faras mengerling ke Gilang. Dia seolah tak melihat ada Sekar di sana. Membuat darah panas seolah mendidih.“Kamu kan yang sudah berjasa jagain dia siang malam…hahaha. Udah rame tuh gosipnya. Jagain jodoh orang kalo kata anak sekarang.” Suara Faras terbahak hampir memenuhi cafe itu. “Apaan sih, Ras!” Gilang meninju lengan Faras. Gilang sudah menyadari perubahan muka Sekar. Semua akan tak baik-baik saja jika ucapan Faras tidak segera direm.“Kita kira kamu yang bakal ke pelaminan sama Sakina. Taunya malah orang lain.” Faras masih berderai tawa. Sekar merasa jengah mendengar candaan Faras. Dadanya sudah kembang kempis. Namun, ditahannya demi harga dirinya. Dasar mulut Faras minta dikasih sambel ayam kremes. Tangan Sekar yang tadi sibuk menyuap
“Memang kamu nggak takut kalau dilaknat malaikat sampai pagi?” Suara Gilang setengah merayu. Sekar menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan. Hatinya kesal. Mengapa sih lelaki harus punya kuasa dan menggunakan cara-cara intimidasi. Apa wanita tak punya hak untuk marah dan memberinya pelajaran? Kenapa harus ditakut-takuti dengan laknat? Apa dia tak punya cara lain yang lebih cerdas tanpa harus menakut-nakuti? Dasar tidak kreatif!Tiba-tiba Sekar punya ide….“Mas…Mas…awas! Aku mau muntah!” Gilang serta merta mengangkat tangannya bertumpu di atas pinggang Seka, memberi ruang pada istrinya untuk bangkit. Secepat kilat Sekar berlari ke toilet belakang. Gilang mengikutinya. Kali ini bukan karena perintah mama dan mertuanya, namun, dia juga sedikit cemas kalau-kalau orang rumahnya terbangun karena suara berisik.“Sudah, Dik?” Gilang mengurut leher Sekar sambil membaluri dengan minyak angin. Persis seperti yang dilakukan mamanya tadi sore. Pria itu mulai menyadari, banyak hal yang h
Gilang memarkir motornya dengan kasar di depan rumah. Langkahnya cepat, namun seketika terhenti tatkala mendengar di ruang tamu ramai orang ngobrol. Saat dirinya sudah berdiri di sudut sana, seketika amarahnya harus direndam. Ada ibu mertuanya tampak sedang asyik bersenda gurau dengan istrinya. “Mas, ibu bawa nasi tiwul. Enak!” Tanpa dosa, Sekar menunjukkan nasi berbahan tapioka itu dan menyendoknya dengan lahap. Mata lelaki itu melotot dengan garang. “Ya Salaam, aku sudah antri hampir satu jam beli bubur lethok, kamu malah makan tiwul?” ujar Gilang sambil menghempaskan plastik berisi satu bungkus bubur di atas meja. Ia menatap tajam ke arah Sekar yang cuek sambil makan tiwul dengan tangannya. Lahap seperti sebulan nggak makan. “Mas, kamu mau kemana?” tanya Sekar saat Gilang hendak beranjak menjauh. “Ke kamar. Bete! Mau ikut?” ujar Gilang tanpa menoleh. “Bentar!” Sekar beranjak, lalu ia menarik tangan Gilang. “Ada apa sih?” Mukanya masih jutek, menatap istrinya dengan tat
Sekar menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Ia dulu membayangkan memiliki suami yang penuh cinta padanya. Tak pernah marah dan selalu tersenyum hingga sering memanjakannya. Sekarang? Mimpi apa dia? Ah! Lelaki itu memang menyebalkan! Dia sudah mengenalnya sejak kecil, sudah hafal perangainya. Herannya, mengapa malah bapak dan ibu menerima-nerima saja pinangannya. Ah, kalau bukan karena drama hutang, ingin rasanya kabur dari kawin paksa ini. Sekar bergumam dalam hati. Namun, tiba-tiba, mulut Sekar terasa ingin mengunyah yang asam-asam. "Sepertinya rujak di warung Mbak Minah di ujung kampung enak" gumam Sekar sambil membayangkan potongan buah-buahan yang dipadu dengan sambal kacang. Cukup untuk menghilangkan rasa neg di mulutnya. Mau minta tolong Gilang, jelas nggak mungkin. Sekar malas berdebat lagi. Dari pada kesal, Sekar akhirnya memutuskan bergegas pergi sendiri. Secepat ia bangkit dari posisinya rebahannya. “Mau kemana kamu?” Gilang rupanya tepat berdiri di depan pintu kam
“Jahat! kok bisa mereka bilang gitu. "Mata Sekar melotot. Mulutnya ikut menganga. Kedua telapak tangannya saling bertangkup menutup mulutnya.Sementara Gilang hanya mengerutkan dahi seraya menggeleng. “Apa? Dari mana mereka tahu Sekar hamil?!” tanya Bu Hanum. Perjodohan yang merupakan impiannya, tak rela harus ternoda dengan gosip murahan. Seketika Gilang ingat. Kejadian tadi pagi saat antri bubur. Jangan-jangan, itu jadi sumber gossip? "Dasar ibu-ibu kurang kerjaan," batinnya. Tangan Gilang seketika mengepal. Mulutnya terkatup rapat. Kesal dan marah dengan tingkah ibu-ibu. “Tapi, kan kenyataannya memang Sekar hamil kan, Ma?” tanya Gilang. Dia mulai tak yakin. Apalagi memang belum ada bukti pemeriksaan. Baik dia, mama dan papanya selama ini hanya menduga. Dari muntah dan tingkah aneh Sekar. “Lha, iya." Bu Ndari menimpali dengan mantap. "Tapi kalau sampai dibilang Sekar hamil duluan, ya, aku nggak terima,” sambungnya. “Lagian, Ibu sih, pake mantu mendadak. Jadinya malah jadi goss