Langit mulai mengeluarkan cahayanya. Namun mata Shani masih terpejam dan tubuhnya terbungkus selimut tebal. Ia menggeliat sejenak sebelum akhirnya mulai membuka matanya. Pemandangan langit-langit kamar, nakas samping kasur dan televisi besar itu sedikit berbeda dari miliknya. Shani memicingkan mata seraya memproses apa yang baru saja ia lihat.
Saat mulai tersadar, Shani langsung meloncat. Kaget bukan main saat mengetahui dirinya sedang berada di tempat asing.
“Aku dimana?” Shani panik, berusaha mengembalikan nyawanya yang sebelumnya sempat keluar dari raganya. Ia semakin kaget ketika mendapati tubuhnya tidak dibalut pakaian satu pun. Shani langsung melilit tubuhnya dengan selimut.
Kepalanya terasa sangat pusing, Shani menjambak rambutnya sendiri sambil mencoba mengingat kembali apa yang ia lakukan semalam. Perlahan, secercah ingatan mulai berangsur kembali.
Ingatan terkait kepergiannya ke bar untuk melampiaskan patah hatinya karena Daroll, gebetannya, ternyata sudah memiliki kekasih. Shani juga mengingat dengan sangat jelas kejadian kemarin malam saat dia menggoda seorang lelaki yang umurnya berbeda jauh darinya. Lelaki dengan perawakan yang cukup mirip dengan gebetannya. Akibat godaannya, mereka akhirnya bersenggama dan tanpa sadar jadi menghabiskan malam bersama hingga pagi hari.
Setelah mulai mengingat, Shani mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, matanya tiba-tiba tertuju pada area yang Shani yakini adalah kamar mandi. Ia dengan perlahan mendekat untuk memastikan kebenaran dari ingatannya.
Benar saja, terlihat punggung seorang lelaki di dalam sana sedang menikmati pancuran air dari shower. Seketika Shani langsung beringsut mundur sambil membekap mulutnya, tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Shani dan lelaki itu benar-benar menghabiskan waktu bersama.
Alkohol sialan. Ucapnya dalam hati.
Ia merasa sedikit frustasi. Namun satu hal yang Shani yakini harus ia lakukan saat ini, yaitu kabur.
“Ya. Benar. Aku harus kabur sekarang.” Shani bergumam pelan sambil mengendap untuk mencari bajunya.
Setelah berpakaian. Shani segera melipir kabur dari sana. Untungnya saat ini hotel masih sepi. Shani lebih lega karena tak ada yang melihatnya dengan kondisi yang menyedihkan seperti saat ini.
Shani akhirnya tiba di apartemen kumuh yang selama ini ia tinggali. Ia melangkah memasuki lorong apartemen sambil menghela napas lega karena sudah kembali ke tempat yang seharusnya.
Tiba-tiba saja pintu apartemen di sebelahnya terbuka, menampakkan wajah Aland yang terlihat sangat cemas sambil tak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di tangannya.
“S-shani?” Aland langsung berjalan cepat menghampiri Shani yang baru saja memegang gagang pintu apartemennya.
“Kamu kemana semalam? Tiba-tiba saja menghilang. Bahkan kamu meninggalkan semua barang-barangmu.” Lanjut Aland.
Aland adalah sahabatnya sekaligus pemilik bar yang Shani datangi semalam. Shani ingat, sebelum ia menggoda lelaki semalam, Aland sempat meninggalkannya dan meminta dia untuk tidak melakukan hal aneh-aneh. Nahas, ketika Aland kembali, Shani malah sudah sibuk bergumul dengan lelaki yang ia goda. Maka tidak mengherankan jika Aland menjadi sangat panik sekarang.
Shani terdiam sejenak lalu tersenyum simpul, “Sekarang aku sudah hampir terlambat bekerja. Aland. Nanti aku akan menceritakan semuanya.” Balas Shani kemudian masuk ke dalam apartemennya
***
Walau dunia kiamat, Shani harus tetap bekerja. Begitulah kenyataan yang harus di hadapi oleh Shani.
“Shani.” Pak Harris, manajer divisi memanggilnya, saat Shani baru saja menginjakkan kakinya di ruang divisi.
“Iya, Pak Harris. Ada apa?”
“Setelah menaruh tas, segera datang ke ruangan CEO, ya.” Ucap Pak Harris sebelum berlalu meninggalkan Shani.
Shani mengernyitkan alisnya sedikit, merasa bingung dengan perintah Pak Harris. Pasalnya, ia tak pernah diminta untuk menemui CEO. Tapi, ia hanya mengangguk pelan lalu buru-buru mendatangi mejanya, menaruh tas, dan bergegas keluar ruangan untuk mendatangi ruangan CEO.
Ia berlari kecil di sepanjang lorong yang menghubungkan antar divisi. Melewati beberapa petugas kebersihan yang sedang membersihkan lantai kantor, dan ada pula yang sedang mengelap kaca, ia tak lupa menyapa dengan senyuman hangatnya.
Ditengah-tengah itu. Shani juga berpapasan dengan Daroll.
“Selamat pagi, Daroll.” Shani menyapa dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Berusaha menahan perasaan sakit yang kembali muncul ketika bertemu Daroll.
Namun, Daroll melengos begitu saja. Tak menyapa balik. Tatapannya pun datar saja, tidak seperti biasanya. Dahi Shani sampai mengkerut dibuatnya, sedikit kebingungan. Walaupun mereka berada di divisi yang berbeda, tetapi Daroll sering kali mengajak Shani mengobrol atau hanya sekedar menyapanya saat mereka berpapasan.
Apakah dia sedang tidak enak badan? Atau dia sedang tidak mood? Shani bertanya dalam hatinya. Lalu kembali melangkahkan kakinya.
Tadinya, Shani menyapa sekaligus ingin bertanya pada Daroll mengenai letak ruangan CEO. Karena, walaupun dia sudah bekerja lebih dari dua tahun lamanya. Shani belum pernah bertemu dengan CEO perusahaan tempat ia bekerja, bahkan Shani pun tak tau bagaimana wujud CEOnya itu.
Setelah beberapa kali bertanya pada patugas kebersihan dan karyawan lain, akhirnya Shani tiba di ruangan CEO.
“Ini, kan?” Shani bergumam pelan. Dia melirik ke papan nama CEOnya yang terpampang di depan pintu. tertulis Gideon Bentley disana.
Shani melirik jam di tangan kirinya sekilas, sekarang masih pukul sembilan pagi tetapi seperti sudah waktunya istirahat makan siang saja. Bahkan, meja di depan ruangan yang Shani yakini adalah untuk sekretaris CEO juga kosong.
Shani menelan ludah sambil mengetuk pelan pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
“Selamat pagi, Bapak. Saya Shani Catherine Irene dari divisi pemasaran. Saya izin masuk.” Shani berkata dengan penuh hati-hati.
“Ya.” Saut seseorang.
Shani pun menarik gagang pintu agar ia bisa masuki ruangan itu, jantungnya berdegup cukup cepat. Entah mengapa rasanya saat ini Shani seperti sudah melakukan sesuatu yang buruk hingga ia dipanggil oleh CEOnya.
Saat baru memasuki ruangan, langkah Shani terhenti. Matanya membulat.
“B-bapak…” Shani tergegu. Tubuhnya menegang seketika saat mengetahui bahwa CEOnya adalah orang yang ia goda saat di bar tadi malam.
“Kamu menikah dengan ayahku, Shani?” Tanya Daroll dingin.Shani membeku, kepalanya jadi tertunduk. Tak berani menatap wajah Daroll saat ini. “Jawab!” Desak Daroll. Dia kini sudah berpindah ke hadapan Shani.Gideon yang dari tadi hanya memperhatikan kini mulai maju, meletakkan tangannya di atas dada Daroll agar anaknya itu dapat memberi sedikit jarak untuk Shani. “Daroll…” “Dari beribu wanita di dunia ini, kenapa harus temanku yang ayah nikahi!?” Seru Daroll memotong.“Ayah tak tahu bahwa dia temanmu, Daroll. Maafkan ayah.” “Itu berarti ayah sama sekali tak peduli padaku, kan? Hal-hal kecil seperti itu saja ayah tak tahu!” Daroll semakin meninggikan nada suaranya. “Seluruh ucapan ayah padaku adalah omongan kosong, saat ayah berkata bahwa ayah peduli padaku…semuanya omong kosong!” Lanjutnya. Emosi Daroll sudah memuncak, matanya tajam menatap Gideon, urat lehernya pun ikut menegang. Sekilas, Gideon dapat melihat mata Daroll yang sedikit memerah dan berkaca-kaca sebelum anaknya itu m
“Ah sial, aku terlambat bekerja.” Shani buru-buru turun dari kasurnya, berjalan terhuyung ke keluar dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. Alarm yang sudah Shani siapkan tidak berhasil membangunkannya, padahal ia harus kembali bekerja. Alhasil, ia jadi terlambat bangun.Kecemasan mulai menggerogotinya, membuat Shani tak bisa tenang dan ingin segera pergi. Ia mempercepat langkahnya hingga tanpa sadar melengos begitu saja di hadapan Gideon yang sedang menyantap sarapannya. Alis Gideon seketika terangkat melihat tingkah Shani pagi ini, ia dengan gerakan cepat menarik lengan Shani dari belakang membuat pergerakan Shani seketika terhenti.“Kamu mau kemana?” Tanya Gideon.“Saya sudah terlambat pergi bekerja, Pak.” Jawab Shani dengan napas memburu.Gideon menaikkan alisnya. Dia menatap Shani dari atas hingga bawah. Pasalnya, saat ini wanita di hadapannya itu masih mengenakan baju tidurnya. Rambutnya pun masih acak-acakan dan tanpa riasan sedikit pun di wajahnya.“Tak usah bekerja,
Sekitar tiga puluh menit, waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan tanpa berbicara sedikit pun. Mobil kini berhenti pada salah satu hotel bintang lima yang terkenal di kota ini. Gideon segera turun, meninggalkan Shani yang kebingungan. Namun tak lama, Gideon membuka pintu mobilnya. Wajah garangnya sedikit menunduk untuk menyejajarkan pandangannya dengan Shani.“Mau turun sendiri atau saya seret?”Shani menyeringai kesal, memutar bola matanya jengah. “Dasar arogan.” Gumam Shani amat pelan sebelum turun dari mobil dan berlari kecil mengejar Gideon yang sudah lebih dulu masuk ke dalam hotel itu.Sesampainya didalam, mereka disambut oleh beberapa lelaki dengan pakaian yang sangat rapi. “Selamat malam, tuan Gideon. Silahkan ikuti saya.” Ucap lelaki itu sambil mempersilahkan Shani dan Gideon. Gideon pun sepertinya sudah mengerti dengan maksud lelaki itu, tetapi tidak dengan Shani. Ia menarik lengan Gideon sebelum Gideon sempat melangkah.“Bapak tidak berniat untuk melakukan hal aneh, k
Gideon harus berhenti menatap wajah tidur Shani saat sang puan mulai membuka matanya. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.“Oh, sudah sampai.” Ucap Shani sambil mengosok matanya. Ia lalu membenarkan posisi duduknya. Sedangkan, Gideon hanya terdiam, dia kembali menatap lamat-lamat wajah Shani dengan ekspresi yang tak bisa Shani artikan.“K-kenapa?” Shani bertanya tergegu saat ditatap begitu, ia balik menatap Gideon dengan kebingungan.Belum sempat mendapatkan jawaban, bibir Shani sudah dibungkam oleh Gideon. Shani yang tiba-tiba saja dicium itu refleks memundurkan wajahnya hingga tautan bibir mereka terputus. Ia terdiam sejenak karena kebingungan. Untuk alasan yang tidak dapat ia pahami itu, jantungnya malah berdetak tak karuan.“K-kenapa bapak m-mencium saya?” Tanya Shani tergegu lagi.Namun, Gideon yang mendapatkan penolakan itu seketika jadi tersulut emosi. Wajahnya berubah seketika, menampakkan ekspresi marah, urat lehernya ikut menegang.Dan saat melihat itu, Shani me
Ini sudah dua hari setelah konferensi pers, berita terkait hubungan Shani dan Gideon mulai banyak bermunculan hanya dalam beberapa jam dan menjadi yang paling sering dicari dalam dua hari. Wajar saja, karena kisah si orang biasa memiliki hubungan dengan si orang paling kaya sangatlah jarang terjadi. Hari ini juga sudah dua hari pula sejak ia dan Daroll bertemu.“Kamu bukan hanya berarti, kamu adalah segalanya untukku. Jadi, jika kamu terluka, maka aku akan lebih terluka.”Shani ingat dengan sangat jelas bagaimana wajah khawatir Daroll saat mengatakan hal itu padanya, wajah Shani seketika memerah seperti kepiting rebus dan senyumnya pun juga merekah saat mengingat kejadian itu. Namun, saat ingatan sifat arogan Gideon lewat di pikirannya. Shani jadi tersulut emosi lagi.“Arogan, mentang-mentang kaya.” Gumam Shani pelan seraya melirik sekilas nakas disamping kasurnya. Jam beker diatasnya sudah menunjukan pukul 7 pagi, sudah waktunya bagi Shani untuk bersiap pergi ke kantornya. “Huft, ha
“Sudah siap?”Shani menoleh ke sumber suara, Gideon yang telah rapi dengan setelannya melirik Shani sekedarnya. Mereka saat ini masih berada di dalam mobil, sedangkan di depannya terdapat kerumunan wartawan yang sedang menunggu.“Siap tak siap.” Shani menjawab datar.“Jangan melakukan hal aneh, kamu cukup diam disamping saya.”Shani tak merespon, dia sudah tahu dengan apa yang harus dilakukan saat konferensi pers. Cukup diam dan memasang senyuman palsu agar semua orang percaya dengan skenario palsu hubungan mereka.“Bagaimana dengan ibu, ya?” Shani bergumam amat pelan. Namun tetap saja dapat didengar oleh Gideon yang duduk disampingnya.“Tinggal jelaskan, tidak sulit.”Shani melirik Gideon sekilas lalu menghela napas berat.“Bapak mau membantu untuk menjelaskannya pada ibu saya?”“Tentu saja tidak.” Jawab Gideon singkat.Shani tersenyum kecut, “Saya bisa pastikan dia akan bertanya banyak hal mengenai ini, saya khawatir tidak bisa menjawabnya.” Pikiran Shani saat ini cukup berantakan,