“Mau kabur lagi? Setelah kamu ninggalin saya tadi?” Gideon bertanya dengan nada sarkas. Tatapan matanya tajam menusuk Shani tanpa ampun. Mencoba mengintimidasi wanita di hadapannya.
Shani tertunduk dalam. Kedua tangannya saling meremas ketakutan. “M-maaf, Pak.” Ucapnya ragu-ragu karena merasa tertekan dengan intimidasi Gideon.
“Kamu tahu, apa yang paling saya benci di dunia ini?”
Shani menggeleng pelan.
“Saya paling tidak suka dengan seseorang yang lari dari permasalahannya.” Kini Gideon melipat tangannya, masih menatap Shani dengan tatapan tajam.
Shani terdiam sejenak. Tubuhnya semakin menegang ketika mendengar perkataan tajam Gideon.
“Saya…Benar-benar merasa bersalah atas perlakuan saya yang tidak bertanggung jawab tadi pagi, Pak. Pergi begitu saja bukanlah tindakan yang baik, tetapi hal itu karena saya benar-benar terkejut.” Ucap Shani dengan wajah memelas. Hanya kata-kata itu yang terpikirakan olehnya saat ini.
“Saat ini kita sedang jadi bahan gosip.”
Shani seketika mendongak. Matanya mengerjap. “Gosip? Benarkah?”
“Kamu lihat saja sendiri.” Gideon langsung menyodorkan ponselnya pada Shani.
Dan benar saja, ada artikel berita yang memunculkan foto mereka saat di bar, parkiran bar, dan sebelum memasuki hotel pun ada di dalam artikel berita tersebut. Di foto itu, wajahnya memang hanya terlihat dari samping tapi cukup bisa dikenali.
“Gideon, CEO Bently Group yang suka menggelar acara bakti amal tertangkap basah membawa PSK,” baca Shani sebelum buru-buru menutup mulutnya.
Ia menatap Gideon dengan tatapan horor sementara Gideon hanya menghela napas pendek sebelum menaruh kembali ponselnya.
“Kamu harus tanggung jawab, Shani.” Seru Gideon.
“Saya akan tanggung jawab, Pak. Saya akan melakukan klarifikasi terkait rumor…”
“Sudah terlambat!” Sela Gideon dengan nada yang meninggi. “Citra saya sudah buruk karena hal ini, bahkan sudah banyak orang yang mencari tahu tentang kamu!” Lanjutnya.
“Lalu saya harus apa?” Tanya Shani tergegu.
“Kamu harus pura-pura sudah bertunangan dengan saya.”
Shani seketika membelalak. Ia lalu menggeleng cepat.
“Tidak, tidak. Tidak mungkin!”
“Hanya pertunangan kontrak, Shani.”
“Tetap saja. Itu tak mungkin.”
Gideon menyeringai kesal lagi, mengusap wajahnya gusar. Kesabarannya sangat teruji saat berbicara dengan wanita di hadapannya ini.
“Saya dengar kamu yang menjadi tulang punggung keluarga,”
Wajah Shani memucat. Jantungnya berdetak kencang ketika menunggu kelanjutan omongan Gideon.
“Kalau kamu menolak, saya akan memecatmu dan seumur hidupmu tak akan ada yang mau menerimamu bekerja, kamu tahu saya punya kekuasaan untuk melakukan itu, kan?”
Gideon mengintimidasi Shani lagi hingga membuat wanita itu merasa tak punya kesempatan untuk menentang semua yang diucapkannya. Shani pun terlihat risau dengan ancaman Gideon, ia seolah tak diberikan pilihan untuk menolak.
Dia menggigit bibir dan memainkan ujung bajunya seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak dibelikan permen.
“Apa kata orang-orang terdekat saya nanti...” Shani bergumam pelan, kembali menampakkan wajah memelasnya.
“Kamu pikir, saya peduli? Mau tidak mau, kamu harus setuju kalau tidak mau melarat seumur hidup.” Balas Gideon dingin.
Shani tertunduk sejenak, hendak menangis. Ia jadi terbayangkan bagaimana kondisi keluarganya jika ia harus menganggur seumur hidupnya. Apalagi, ibunya sekarang sudah semakin menua.
Shani pun menghela napas sejenak sebelum mulai kembali berkata. “Ya sudah, saya mau.” Ucapnya dengan nada terpaksa.
Gideon mengangguk pelan, kembali menghampiri meja kerjanya. Ia meraih jas di kursi dan menuju pintu. Shani mengerjap mata, bingung melihat tingkah Gideon.
“Kita adakan konferensi pers sekarang, kamu harus mulai berpura-pura jadi tunangan saya” Titah Gideon.
“S-sekarang juga? Bapak bercanda, ya?”
“Apakah saya terlihat bercanda?”
Penolakan halus Gideon saat di rumah sakit sudah cukup menyadarkan Shani tentang posisi dirinya saat ini. Wanita itu butuh waktu seminggu untuk mengobati hatinya yang jadi terluka karenanya. Tapi kini wanita itu tampak sudah biasa saja. Ia kembali menjalani pekerjaannya seperti awal dirinya saat belum mengenal Gideon. “Shani!” Shani menoleh sambil tersenyum simpul. Ia yang baru saja melangkah memasuki gedung kantornya itu seketika terhenti saat seseorang memanggil namanya.“Kamu tidak melihat obrolan group divisi?” Tanya salah seorang rekan kerjanya, wajahnya tampak prihatin.Shani terdiam sejenak, kepalanya bergerak menggeleng pelan seraya tangannya merogoh saku blazernya. Shani langsung mengeluarkan ponsel miliknya, hendak melihat apa yang baru saja dibicarakan oleh rekan kerjanya itu. Matanya terbelalak saat membaca obrolan group divisinya, kemudian alisnya mengkerut dalam. Seorang wanita mencari Shani.Siapa dia?Dia mantan istri CEO.Wah!Mantan… Istri? Batin Shani, ia mene
Shani menyusuri jalanan menuju halte bus paling dekat dari gedung kantornya, wanita itu sedikit menunduk sambil memandangi kaki-kakinya yang sedang melangkah.Pikirannya kosong, sekosong hatinya. Ada rasa hampa yang sulit untuk dijelaskan, ia seperti kehilangan arah dan tujuan. “Padahal, saat mengetahui Daroll sudah memiliki kekasih, aku tak sebegitu sedihnya. Kenapa sekarang malah rasanya sangat sedih, ya?” Shani bergumam pelan di sela langkahnya.Setelahnya, Shani jadi terperanjat saat sebuah mobil menepi di sampingnya. Sebelah tangan wanita itu terangkat untuk mengelus dadanya yang jadi berdegup lebih cepat, ia refleks menoleh saat kaca mobilnya menurun dan menampakkan wajah Daroll.“Kamu mau ke rumah sakit, kan? Mau pergi bersama?” Tanya Daroll.Shani terdiam sejenak sebelum mulai menjawab. “Rumah sakit?” Shani bertanya balik, alisnya terangkat sebelah karena belum mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Daroll barusan.“Lho, kamu tak diberi tahu kalau ayahku masuk rumah sakit
Shani hampir terlambat untuk pergi bekerja hari ini, wanita dua puluh lima tahun itu tak bisa tidur semalaman.Alasannya sudah jelas karena si lelaki yang beberapa waktu lalu masih bersamanya, lelaki yang rela membantu masalah hidupnya dan mengantarnya ke kampung walaupun tensi darahnya rendah. Ia mengutuk Gideon sambil memakan es krim coklat dan ditemani film lawas kesukaannya, film ini juga yang ia tonton beberapa hari setelah patah hati karena Daroll. “Hampir saja terlambat.” Shani bergumam pelan setibanya ia di depan pintu ruangan divisinya, ia kemudian mendorong pintu ruangan itu untuk memasukinya.Syukurlah orang-orang di dalamnya pun masih sibuk bersiap-siap untuk memulai pekerjaan masing-masing, bahkan ada yang masih mengunyah sarapannya.Shani pun langsung menuju meja kerjanya, menaruh tas untuk bersiap memulai pekerjaan pertamanya pagi ini. Tetapi saat baru mendudukkan tubuhnya, suara Pak Harris—manajer divisinya itu memanggilnya dari kejauhan. “Shani, kesini sebentar,
“Kenapa jadi membahas hal itu?” Shani menatap Gideon dengan tatapan terheran, tetapi lelaki itu hanya menatap datar Shani sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.Sesaat kemudian Shani kembali teringat dengan wajah masam Gideon saat melihat interaksinya bersama Darian. Apa karena yang tadi, ya? Tanya Shani dalam hati, matanya menyelidiki. “Kenapa? Memangnya tak boleh saya membicarakan mantanmu?” Jawab Gideon ketus, wajahnya memerah menahan emosi. “Sebegitu pentingnya, ya?” Shani menyeringai kesal, walau ia tahu sikap Gideon saat ini bisa jadi karena rasa cemburu lelaki itu setelah melihat interaksinya bersama dengan Darian tetapi nada lelaki itu sedikit mengganggunya. Padahal sebelumnya dia bilang tak cemburu karena hubungan ini hanya sebatas kontrak tapi sekarang malah seperti ini. Keluh Shani dalam hatinya. Ia kembali menghela napasnya pelan, berusaha mengontrol emosinya agar tak meluap. Shani kembali menatap wajah Gideon sambil berusaha untuk menyusun kata-kata yan
Matahari saat ini berada pada posisi yang cukup tinggi di langit, sinarnya yang sudah terasa cukup kuat itu memberikan kesan menenangkan. Shani menghirup dalam-dalam udara kampung halamannya untuk yang terakhir kali sebelum meninggalkan tempat ini, karena dirinya dan Gideon harus kembali ke kota. Mungkin ini kali terakhir mereka menginjakkan kaki di tempat ini, setidaknya sampai awal tahun depan Shani tak bisa sembarangan pulang ke kampungnya—mengingat wanita itu telah menggunakan semua jatah cutinya untuk tahun ini. “Aku pergi ya, Bu.” Shani berucap pelan sambil merentangkan tangan untuk memeluk ibunya, bibirnya mengerucut karena belum rela untuk kembali menjalani kehidupan monotonnya di kota.Sejujurnya ia masih ingin tinggal lebih lama agar dapat bercengkrama dengan ibu dan Sean, tetapi apalah daya dirinya yang hanya seorang pekerja biasa itu. “Mau lebih lama bersama ibu dan Sean, tapi besok harus bekerja.” Tambahnya, mengoceh pelan.Ibu terkekeh sejenak seraya tersenyum hangat
Shani dan Gideon memasuki kamar beriringan, sang wanita langsung berbelok ke arah lemari untuk mengambil selimut tambahan, sedangkan sang lelaki langsung mendudukan tubuhnya di kasur. Sebelumnya, Gideon sudah pernah tidur di kamar Shani, hal itu membuatnya menjadi tak canggung lagi untuk berduaan saja dengan wanita itu di ruang privat seperti saat ini. Gideon memandang lekat-lekat Shani yang membelakanginya, ia tak mengalihkan pandangannya sejak wanita itu mulai sibuk mencari selimut tambahan untuknya dengan sedikit mengomel. “Ini.” Shani memberikan selimut itu pada Gideon. Gideon meraihnya, kembali menatap Shani tanpa berkata sepatah katapun.“Kenapa?” Tanya Shani keheranan, alisnya ikut terangkat.Mereka bersitatap sejenak sebelum akhirnya Gideon menjawab pertanyaan Shani.“Saya juga mau tidur di atas kasur.” Ucap Gideon datar.Shani menghela nafas, ia menggeleng pelan setelahnya. “Kita sudah sama-sama dewasa dan mungkin saja…” Ucapan Shani menggantung, ia kembali menghela napa