“Sudah siap?”
Shani menoleh ke sumber suara, Gideon yang telah rapi dengan setelannya melirik Shani sekedarnya. Mereka saat ini masih berada di dalam mobil, sedangkan di depannya terdapat kerumunan wartawan yang sedang menunggu.
“Siap tak siap.” Shani menjawab lirih.
“Jangan melakukan hal aneh, kamu cukup diam disamping saya.”
Shani tak merespon, dia sudah tahu dengan apa yang harus dilakukan saat konferensi pers. Cukup diam dan memasang senyuman palsu agar semua orang percaya dengan skenario palsu hubungan mereka.
“Bagaimana dengan ibu, ya?” Shani bergumam amat pelan. Namun tetap saja dapat didengar oleh Gideon yang duduk disampingnya.
“Tinggal jelaskan, tidak sulit.”
Shani melirik Gideon sekilas lalu menghela napas berat. “Bapak mau membantu untuk menjelaskannya pada ibu saya?”
“Tentu saja tidak.” Jawab Gideon singkat.
Shani tersenyum kecut, “Saya bisa pastikan dia akan bertanya banyak hal mengenai ini, saya khawatir tidak bisa menjawabnya.”
Pikiran Shani saat ini cukup berantakan. Selama ini, ibunya hanya tahu dia merantau untuk bekerja. Ia tidak bisa membayangkan reaksi ibunya apabila menonton konferensi pers sekarang.
“Nanti saja memikirkan ibumu, sekarang kita harus keluar.” Ucap Gideon kemudian turun dari mobil, Ia bergegas ke sisi tempat Shani duduk untuk membukakan pintunya. Shani pun bergegas turun dan segera disambut oleh flash kamera ke arahnya.
Kamera yang beriringan dengan flash menyilaukan ini cukup membuat Shani tak nyaman untuk berlama-lama di depannya. Shani tersenyum canggung ke arah wartawan sembari tubuhnya ditarik oleh Gideon menuju panggung.
Ketika sampai panggung, mereka segera duduk bersebelahan. Shani duduk dengan tegang, ia melirik ke Gideon yang segera mendekatkan mikrofon ke mulutnya.
“Sebelumnya, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya meminta maaf karena pemberitahuan yang mendadak.” Ucap Gideon seraya menatap Shani yang duduk di sampingnya. “Hari ini, saya ingin memberitahu pada semua orang bahwa wanita cantik ini adalah Tunangan saya.” Lanjut Gideon, kini tangannya meraih tangan Shani untuk ia genggam.
Genggaman tangannya terasa hangat, tetapi Shani tahu betul bahwa ini hanyalah sandiwara, bahkan senyumannya pun juga sandiwara. Shani jadi teringat kalau dulu ia mendambakan seseorang yang akan memberikannya genggaman hangat serta senyuman itu adalah Daroll, lelaki yang sudah bertahun-tahun lamanya mengisi kekosongan hati Shani.
Namun, takdir berkata lain. Inilah jalan hidup yang sudah Shani dapat, walau bukan kemauannya tetapi Shani tahu bahwa dia mau tak mau harus melakukannya.
“Selama ini kami menyembunyikannya karena tunangan saya terlalu malu apabila diungkapkan,” Gideon terkekeh geli, “Foto-foto di artikel berita itu menunjukkan momen saat kami bertemu ketika pulang kerja,”
Gideon tersenyum lembut, matanya menatap Shani penuh kasih sayang. Sedangkan Shani menelan ludah, bingung harus bereaksi apa. Ia akhirnya balas tersenyum karena Gideon meremas tangannya, seolah memberi kode agar ikut bereaksi.
“Kemarin adalah anniversary kita.” Lanjut Gideon dengan nada lembut. “Jadi kami merayakannya di bar itu. Karena bar itulah yang menjadi tempat pertemuan pertama kami.”
Gideon menatap Shani lamat-lamat, Shani lagi-lagi menelan ludah gugup. Perasaannya tiba-tiba menjadi enak ketika Gideon mengangkat tangannya dan mendekatkannya ke mulutnya.
“Selamat hari anniversary, sayang.” Gideon perlahan mengangkat tangan Shani dan mengecupnya lembut, membuat konferensi pers seketika dipenuhi seruan ramai.
Shani membelalak. Ia mengalihkan pandangan ke arah wartawan yang sedang menangkap momen mereka dan disitulah Shani melihat sosok yang tak asing baginya.
Shani memicingkan mata dan terkejut ketika melihat sosok Aland, teman semasa kecilnya, muncul dari arah kerumunan.
Ia balas menatap Aland yang menatap Shani dengan tatapan yang tak ia ketahui maknanya. Lalu tatapan itu seketika tertutup oleh wartawan yang saling berdesakan untuk memberikan pertanyaan ke Gideon dan Shani.
“Aland…” Shani bergumam pelan. Bersamaan dengan tangannya yang ditarik oleh Gideon untuk segera menjauh dari para kerumunan wartawan. Mereka kembali masuk ke dalam mobil.
Mobil kemudian melaju membelah kemacetan siang hari menuju apartemen tempat kantor lagi. Meninggalkan hotel tempat konferensi pers tadi. Dalam perjalanan pulangnya, Shani menyeret banyak pertanyaan tentang tatapan mata Aland padanya.
“Kenapa?” Gideon bertanya pelan. Dia melirik sekilas Shani yang berada disebelahnya.
Shani menoleh sejenak lalu menggeleng pelan, “Tidak apa-apa.”
Gideon mengangguk mengerti, tapi tak berniat melanjutkan percakapan itu. Matanya kembali fokus pada jalan didepannya.
Shani menyalakan ponselnya dan terkejut dengan banyaknya panggilan dari ibunya.
Sudah kuduga. Ucap Shani dalam hati saat. Shani sadar betul pasti keluarganya akan segera mengetahui mengenai berita hubungannya ini, ia pun segera mengirimi pesan untuk menenangkan keadaan di sana.
Aku sedang di luar, aku akan cerita kapan-kapan, okay?
Hingga akhirnya mereka tiba di depan kantor lagi. Shani buru-buru keluar dari mobil Gideon, lalu menunduk sopan.
“Saya akan menjemputmu nanti.” Ucap Gideon datar kemudian melajukan kembali mobilnya, meninggalkan Shani di lobi kantor dengan tatapan orang-orang ke arahnya.
Shani pun kembali ke ruangan divisi dengan masih terus ditatapan oleh orang-orang sekitarnya, tetapi ia berusaha untuk tak peduli. Ia kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan apapun lagi.
Hingga langit jingga mulai menampakkan wujudnya, Shani melipir keluar dari ruangan divisi secepat yang ia bisa.
Ia segera memasuki mobil Gideon yang terparkir rapi di depan pintu basement kantor. Sesuai dengan kata-kata Gideon sebelumnya, ia akan menjemput Shani sore ini. Mobil Gideon kemudian melaju meninggalakan kantor.
Setelah menghabiskan tiga puluh menit perjalanan yang hening karena keduanya enggan untuk menuntas sunyi, mereka akhirnya tiba di depan apartemen milik Shani.
Shani menunduk sopan ke arah Gideon sambil mengucapkan terima kasih dengan lirih. Tetapi, saat melangkah keluar. Ia dikagetkan dengan seseorang yang berdiri di depan apartemennya.
Pergerakan Shani terhenti.
“Daroll?” Shani refleks menyebut namanya. “Kamu sudah pulang dari perjalanan bisnismu?”
Daroll, yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan apartemennya, menatapnya dengan tatapan tajam. Ia tampak menghela napas kasar lalu mendekati Shani yang masih terdiam di posisinya saat ini.
Ia menatap Shani kemudian ke arah Gideon di dalam mobil. Giginya bergemeretak kesal..
“Jadi, kamu benar menjalin hubungan dengan ayahku, Shani?” Tanya Daroll dingin. Tanpa basa-basi.
Shani terheran-heran, hingga alisnya terangkat naik. Ayah? Siapa yang dia maksud dengan ayah? batin Shani yang kebingungan dengan pertanyaan Daroll.
“Jawab!” Desak Daroll membuat Shani tersentak kaget.
Ia tidak pernah mendengar Daroll berseru seperti itu kepadanya.
Gideon yang sedari tadi hanya memperhatikan dari dalam mobil langsung turun untuk menghampiri mereka, ia meletakkan tangannya di atas dada Daroll agar anaknya itu dapat memberi sedikit jarak untuk Shani.
“Daroll…”
“Dari beribu wanita di dunia ini, kenapa harus temanku yang ayah incar!?” Seru Daroll memotong sambil menatap lekat-lekat lelaki itu.
Shani langsung mendekap mulutnya, saat Daroll memanggil Gideon dengan sebutan ayah. Ia mulai memahami situasi saat ini.
Sedangkan, Daroll mulai memasang tatapan tajam untuk Gideon dan Shani.
“Bahkan aku baru mengetahuinya dari berita, Apa katanya tadi? Ah, kalian sudah lama berhubungan dan selama ini hanya menyembunyikannya,” raut wajah Daroll berubah dingin.
Apakah memang benar begitu?” Lanjut Daroll.
“Ayah tak tahu bahwa dia temanmu, Daroll. Maafkan ayah.”
“Itu berarti ayah sama sekali tak peduli padaku, kan? Hal-hal kecil seperti itu saja ayah tak tahu!” Daroll semakin meninggikan nada suaranya.
“Seluruh ucapan ayah padaku adalah omongan kosong, saat ayah berkata bahwa ayah peduli padaku…semuanya omong kosong!” Lanjutnya. Emosi Daroll sudah memuncak, matanya tajam menatap Gideon hingga urat lehernya ikut menegang.
“Kita pulang sekarang!” Seru Gideon, ia segera menarik tangan Daroll agar masuk ke dalam mobilnya. Tetapi lelaki itu segera menepis tangan Gideon.
“Untuk apa? Agar ayah bisa menceritakan kisah cinta dengan Shani?” Tanya Daroll sinis.
Gideon terdiam, ia mengepal kuat tangannya. Shani menatapnya dengan khawatir.
Meski tidak terlalu paham apa yang terjadi, tapi ia menyadari Gideon terlihat terluka dengan ucapan Daroll.
Daroll mendecih melihat Gideon hanya terdiam. Dia berjalan melewati Shani dan Daroll, tapi Shani segera menahannya.
“Daroll, tunggu! Ada yang perlu kujelaskan!”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan!” Daroll menepis tangannya. Ia mengacungkan jarinya ke Gideon dan berseru penuh amarah, “Dia telah menipumu, Shani! Dan akan aku pastikan kamu berpisah darinya!”
Mobil sedan berwarna abu-abu gelap itu menepi tepat di depan sebuah apartemen, tak lama Shani keluar dari mobil itu. Badannya sedikit menunduk untuk mensejajarkan pandangannya dengan sang pengemudi yang tak lain adalah Darian. “Kamu mau langsung pulang ke kampung?” Tanya Shani basa-basi.Darian menggeleng pelan, lalu tersenyum. “Ada beberapa hal yang harus aku lakukan di kota.” “Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Bukannya kamu sudah memutuskan untuk menetap di kampung saja?” Darian terdiam sejenak, lalu kembali menyunggingkan senyumannya.“Bagaimana kalau kita kembali ke kampung bersama?” Kini giliran Shani yang terdiam, alisnya mengkerut dalam setelah mendengar pertanyaan yang diberikan untuknya.“Kenapa aku? Lagipula jatah cutiku sudah habis untuk tahun ini.” “Resign saja, lalu kita kembali ke kampung bersama.” “Maksudnya?” Shani semakin dibuat keheranan dengan perkataan yang diucapkan oleh Darian, tetapi lelaki itu hanya terkekeh pelan saat melihat ekspresi wajah Shani saa
Sudah tak terhitung berapa kali wanita muda dengan kemeja ketat berwarna putih itu menghela napas panjang, ia juga sesekali melirik sekilas ke arah jam yang melingkar di tangannya. Saat ini Shani tengah menunggu pintu masuk acara pameran karakter animasi kesukaannya terbuka, tetapi ia tersentak saat namanya dipanggil oleh seseorang. “Shani!” Shani menoleh, matanya melirik sekitar untuk mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya itu. Tak berselang lama, bahunya kemudian ditepuk pelan. “Di sini.” Ucap seseorang, lalu tersenyum. Shani menoleh ke sampingnya, wanita itu sontak terkejut saat melihat seseorang yang tengah berdiri tepat di sampingnya itu. “Darian!?” Ia segera menutup mulutnya tak percaya saat bertemu dengan mantan kekasihnya di tempat umum. Lelaki yang dipanggil Darian itu terkekeh pelan saat melihat ekspresi wajah terkejut Shani yang menurutnya sangat lucu itu.“Kenapa kamu begitu terkejut saat melihatku?” Shani menggeleng cepat. “A-aku hanya tak menyan
“H-halo?” Shani terdiam, wajah muramnya seketika hilang saat suara Gideon mengisi lorong telinganya. Senyumnya menyungging sambil helaan napas lega keluar dari sela-sela bibirnya. Karena sejak terbangun pagi ini perasaan wanita itu tiba-tiba saja memburuk, tetapi saat panggilan teleponnya segera terangkat perasaannya itu kembali membaik. “Oh. sudah bangun.” Gumam Shani. “Jadi kamu hanya ingin memastikan aku sudah bangun atau belum? Atau…” Gideon sengaja menggantungkan kalimatnya, ia di seberang telepon sedang bersusah payah menahan senyumnya agar Gabriella tak penasaran dengan siapa dia sedang menelepon.“Atau apa?” Tanya Shani saat Gideon tak kunjung menyelesaikan kalimatnya. “Atau kamu kangen aku tapi terlalu gengsi untuk bilangnya?” Shani terdiam sejenak dibarengi dengan pipinya yang tiba-tiba memerah dan terasa sedikit panas, ia lalu terkekeh pelan. “Memangnya kenapa kalau iya?” Shani menjawab lantang.Kini giliran Gideon yang terdiam, ia segera berbalik badan. Lantaran t
Hatcu!Gideon refleks menggosok hidungnya saat rasa gatal tiba-tiba saja menyerang, ia lalu mengeratkan jas yang ia pakai hari ini. “Apa ada yang membicarakanku ya.” Gumam Gideon pelan.“Mungkin tunangan palsumu.” Sahut Gabriella dengan nada menyindir.Gideon tak menggubris, lelaki itu malah tampak tak senang dengan kata-kata ‘palsu’ yang digunakan Gabriella. “Hubungan kami sudah tak…” “Hubungan yang diawali dengan kepalsuan akan selalu menjadi palsu, lagipun orang-orang cenderung lebih peduli bagaimana hubungan itu bermula.” Sela Gabriella cepat, wanita itu tak membiarkan Gideon membantah omongannya. Gideon hanya dapat mengalihkan pandangannya sejenak sambil menghela napas berat sebelum akhirnya mulai kembali bersuara, sedangkan Gabriella hanya menggeleng sambil tersenyum kemenangan. “Lalu, apa yang mau kamu bicarakan saat ini?” Tanya Gideon untuk mengalihkan pembicaraan. Gabriella terdiam sejenak, dengan masih terus memandangi wajah mantan suaminya yang ia rasa jadi lebih mena
Mobil mewah berwarna merah gelap berhenti tepat di depan apartemen Shani, sang pengemudi yang tampak cukup tua tersenyum memandang ke arah seseorang di kursi penumpang di sampingnya. “Sudah sampai, Tuan putri.” Seru Gideon pelan. Sedangkan Shani yang menduduki kursi penumpang hanya terkekeh geli, ia balas memandang Gideon tanpa berkata sepatah kata pun. “Kenapa?” Tanya Gideon sambil menaikkan sebelah alisnya saat tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir wanitanya. Shani menggeleng pelan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Terima kasih.” “Tidak perlu berterima kasih karena sudah seharusnya aku memastikan kamu sampai ke apartemenmu dengan selamat.” “Bukan untuk tumpangan pulangnya, tapi untuk semuanya.” Gideon terdiam sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Aku tidak merasa sudah melakukan sesuatu hal yang besar.” Jawab Gideon. Shani tertawa kecil, tubuhnya ia condongkan hingga bibirnya mendarat tepat di pipi sang lelaki. “Kamu sudah membuatku menjadi wa
Kurang lebih selusin. Tidak, bahkan lebih dari itu, jumlah wartawan yang mengerubungi pintu keluar perusahaan tempat Shani bekerja. Mereka seperti serigala yang rakus akan moment kebersamaan Shani dan Gideon yang sengaja ingin ditampakkan oleh Pak Bentley, dan tentu saja alasannya demi memulihkan nama baik Gideon itu sendiri karena beberapa rumor buruk yang menghantam anaknya beberapa waktu yang lalu. Gideon sejak tadi sudah memandangi ke arah kerumunan wartawan di balik pintu, lelaki itu tampak tak terganggu dengan keramaian itu. Tetapi, sebaliknya malah terjadi dengan Shani. Wanita itu tampak sedikit gugup kali ini. Ia bahkan tak henti mencubit-cubit pelan lengan Gideon untuk meredakan rasa gugupnya. “Kita sudah sering melakukan ini, kan?” Ucap Gideon pelan setelah melihat ekspresi gugup di wajah Shani.Shani menoleh, menatap lamat-lamat sejenak wajah Gideon lalu mengangguk pelan. “Ya, tapi entah mengapa rasanya aku sangat gugup.”“Tidak usah khawatir, kan ada aku.” Jawab Gideon