Kejadian pertengkaran ayah dan anak tadi malam cukup membuat Shani kepikiran hingga ia tak tidur semalaman, wanita itu sangat khawatir dengan keadaan Daroll saat ini. Apalagi mengingat omongan Daroll semalam.
Tetapi, fakta bahwa Gideon adalah ayah dari Daroll lebih mengkhawatirkan bagi Shani. Ia tak mengira bahwa patah hatinya karena Daroll malah membawanya kepada Gideon.
Dan selama ini, ia bahkan tak tahu bahwa hubungan Daroll dan keluarganya tidak baik-baik saja, padahal lelaki itu selalu terlihat ceria di hadapan semua orang.
“Bagaimana aku harus menghadapi mereka berdua.” Shani berucap lirih di sela langkahnya, rasanya ia ingin libur saja hari ini agar tak bertemu dengan Gideon maupun Daroll.
Shani menghentikan langkahnya. Kalau tidak bisa menghadapinya, dia tinggal menghindari saja kan?
Mata Shani berbinar-binar dengan idenya sendiri. “Ya, aku hanya harus menghindari mereka berdua. Harus!” Seru Shani bersemangat.
Sayangnya, niat Shani yang ingin menghindari Gideon maupun Daroll malah menjadikannya selalu bertemu dengan kedua lelaki itu.
Shani bertemu dengan Gideon saat jam makan siang. Ia buru-buru bersembunyi di balik meja kafetarian ketika melihat sosok Gideon. Tapi sepertinya ia terlambat bersembunyi karena Shani mendengar langkah kaki mendekatinya.
“Sayang?”
Shani mendongak dan mendapati Gideon berdiri di sampingnya, Shani terpaksa mengukir senyum.
“I-iya?”
“Makan yang banyak, ya. Soalnya nanti malam aku ingin mengajakku ke suatu acara.” Ucap Gideon dengan senyum palsunya sambil mengacak-acak rambut Shani sebelum berlalu begitu saja.
Hal itu sukses membuat semua wanita yang melihatnya jadi merasa iri pada Shani.
“Ah, enak sekali ya menjadi tunangan pak CEO. Walaupun dia terlihat tegas tetapi dia sangat lembut pada istrinya.” Ucap seseorang di belakang Shani.
Lembut? Dia belum tahu saja bahwa itu semua hanyalah sandiwaranya saja dan lagi, dia bukan tegas tetapi arogan. Ku ulangi ya, dia itu A-R-O-G-A-N. Ucap Shani dalam hatinya dengan hati mengkal sambil menjauhi kaferatia.
Tak lama kemudian, Shani bertemu dengan Daroll ketika hendak mengantar beberapa dokumen ke divisi keuangan.
Shani tersenyum kaku ke arah pria itu. Ia melambaikan tangan patah-patah ke Daroll yang hanya dibalas dengan tatapan datar. Lelaki itu segera menjauhinya membuat hati Shani berdenyut sakit. Ia menurunkan tangannya dengan lesu dan menghela napas pelan.
Memang harusnya dia tidak masuk saja hari ini.
Ketika matahari mulai berubah jingga, sudah waktunya untuk pulang.
Shani segera merapikan barang-barang yang berserakkan di atas meja, ia melipir secepat kilat meninggalkan ruangan.
Saat ingin turun ke lantai bawah menggunakan lift, Shani tak sengaja bertemu dengan Daroll yang juga ingin turun.
Tatapan lelaki itu masih datar seperti sebelumnya yang membuat Shani jadi mengurungkan niatnya untuk menyapa, mereka akhirnya hanya diam membisu, walau saat ini sedang berdiri bersebelahan.
Ketika pintu lift terbuka, Shani tersentak kaget melihat Gideon ada di dalam bersama beberapa karyawan. Gideon juga terkejut melihat Shani. Matanya kemudian melirik Daroll yang wajahnya seketika berubah masam.
Perlahan, senyum terukir di wajah Gideon. Shani tahu itu hanya senyum sadniwara jadi dia juga membalasnya dengan senyum kaku.
“Kebetulan. Tadinya aku mau jemput kamu ke ruangan, tapi ternyata kita ketemu di depan lift.” Ujar Gideon dengan nada yang dibuat-buat lembut.
Karyawan lain yang juga berada disana dan mendengar ucapan Gideon seketika saling sikut dan mulai berbisik-bisik. Ada pula yang tersenyum malu-malu saat melihat CEOnya berkata manis.
“I-iya, okay.” Jawab Shani kikuk.
Ia segera memasuki lift dan tangannya segera diraih oleh Gideon untuk ia genggam, hal ini sukses membuat karyawan yang ada disana semakin tersenyum gemas. Kecuali Daroll, wajahnya semakin masam melihat kemesraan kedua pasangan ini.
Ketika lift berhenti satu lantai setelah lantai divisi Shani, Daroll melangkah keluar. Shani menelan ludah melihat kepergiannya. Ia menundukkan kepala dengan wajah muram.
Sepertinya, hubungannya dengan Daroll benar-benar sudah hancur.
Setibanya Gideon dan Shani di basement kantor, mereka pun segera menaiki mobil Gideon.
“Saya sudah bilang akan mengajakmu ke acara, kan?” Ucap Gideon tiba-tiba sesampainya mereka di dalam mobil.
Shani pun mengangguk cepat, “Kita mau ke acara apa?”
“Pesta pernikahan salah satu kerabat saya.” Jawab Gideon singkat sambil memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.
“Ayah saya juga ingin diperkenalkan denganmu karena berita pertunangan kita, jadi kita harus bertingkah selayaknya pasangan, mengerti?” Lanjutnya, kini tangannya sudah berada di kemudi.
Shani pun mengangguk pelan sebagai jawaban.
Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan konstan. Tak membutuhkan waktu lama, mereka akhirnya tiba.
Shani dan Gideon segera keluar dan memasuki gedung dimana acara tersebut di selenggarakan. Tetapi, saat baru melangkah masuk. Sudah banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.
“Tunggu di sini.” Seru Gideon pada Shani sesampainya mereka di dalam.
“Mau kemana?”
Gideon hanya terdiam sambil menatap Shani datar penuh makna, seolah sedang berkata “jangan banyak tanya.”
Shani bahkan dapat membayangkan Gideon berkata seperti itu dengan nada bicaranya yang khas. Wanita itu pun memutar bola mata jengah, ia lalu mengangguk pelan sebagai respon agar tak menimbulkan keributan. Gideon pun segera menjauh darinya.
Setelah memandang kepergia Gideon, mata Shani seketika tertuju pada meja paling pojok dengan banyak makanan di atasnya, ia tanpa basa-basi langsung mendekati meja tersebut.
Berhubung Shani belum makan apa-apa sejak siang tadi, jadi tak ada salahnya mengisi perut sambil menunggu Gideon selesai dengan semua urusannya.
Makanan disana terlihat lezat, walaupun Shani belum pernah merasakannya sebelumnya. Mata Shani dibuat berbinar-binar melihatnya.
“Oh? Bukankah ini pasangan muda Gideon?”
Shani reflek menoleh, seorang wanita yang terlihat cukup berumur dengan gaun panjang dan terlihat mahal itu menatap Shani dengan wajah angkuh.
Mobil sedan berwarna abu-abu gelap itu menepi tepat di depan sebuah apartemen, tak lama Shani keluar dari mobil itu. Badannya sedikit menunduk untuk mensejajarkan pandangannya dengan sang pengemudi yang tak lain adalah Darian. “Kamu mau langsung pulang ke kampung?” Tanya Shani basa-basi.Darian menggeleng pelan, lalu tersenyum. “Ada beberapa hal yang harus aku lakukan di kota.” “Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Bukannya kamu sudah memutuskan untuk menetap di kampung saja?” Darian terdiam sejenak, lalu kembali menyunggingkan senyumannya.“Bagaimana kalau kita kembali ke kampung bersama?” Kini giliran Shani yang terdiam, alisnya mengkerut dalam setelah mendengar pertanyaan yang diberikan untuknya.“Kenapa aku? Lagipula jatah cutiku sudah habis untuk tahun ini.” “Resign saja, lalu kita kembali ke kampung bersama.” “Maksudnya?” Shani semakin dibuat keheranan dengan perkataan yang diucapkan oleh Darian, tetapi lelaki itu hanya terkekeh pelan saat melihat ekspresi wajah Shani saa
Sudah tak terhitung berapa kali wanita muda dengan kemeja ketat berwarna putih itu menghela napas panjang, ia juga sesekali melirik sekilas ke arah jam yang melingkar di tangannya. Saat ini Shani tengah menunggu pintu masuk acara pameran karakter animasi kesukaannya terbuka, tetapi ia tersentak saat namanya dipanggil oleh seseorang. “Shani!” Shani menoleh, matanya melirik sekitar untuk mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya itu. Tak berselang lama, bahunya kemudian ditepuk pelan. “Di sini.” Ucap seseorang, lalu tersenyum. Shani menoleh ke sampingnya, wanita itu sontak terkejut saat melihat seseorang yang tengah berdiri tepat di sampingnya itu. “Darian!?” Ia segera menutup mulutnya tak percaya saat bertemu dengan mantan kekasihnya di tempat umum. Lelaki yang dipanggil Darian itu terkekeh pelan saat melihat ekspresi wajah terkejut Shani yang menurutnya sangat lucu itu.“Kenapa kamu begitu terkejut saat melihatku?” Shani menggeleng cepat. “A-aku hanya tak menyan
“H-halo?” Shani terdiam, wajah muramnya seketika hilang saat suara Gideon mengisi lorong telinganya. Senyumnya menyungging sambil helaan napas lega keluar dari sela-sela bibirnya. Karena sejak terbangun pagi ini perasaan wanita itu tiba-tiba saja memburuk, tetapi saat panggilan teleponnya segera terangkat perasaannya itu kembali membaik. “Oh. sudah bangun.” Gumam Shani. “Jadi kamu hanya ingin memastikan aku sudah bangun atau belum? Atau…” Gideon sengaja menggantungkan kalimatnya, ia di seberang telepon sedang bersusah payah menahan senyumnya agar Gabriella tak penasaran dengan siapa dia sedang menelepon.“Atau apa?” Tanya Shani saat Gideon tak kunjung menyelesaikan kalimatnya. “Atau kamu kangen aku tapi terlalu gengsi untuk bilangnya?” Shani terdiam sejenak dibarengi dengan pipinya yang tiba-tiba memerah dan terasa sedikit panas, ia lalu terkekeh pelan. “Memangnya kenapa kalau iya?” Shani menjawab lantang.Kini giliran Gideon yang terdiam, ia segera berbalik badan. Lantaran t
Hatcu!Gideon refleks menggosok hidungnya saat rasa gatal tiba-tiba saja menyerang, ia lalu mengeratkan jas yang ia pakai hari ini. “Apa ada yang membicarakanku ya.” Gumam Gideon pelan.“Mungkin tunangan palsumu.” Sahut Gabriella dengan nada menyindir.Gideon tak menggubris, lelaki itu malah tampak tak senang dengan kata-kata ‘palsu’ yang digunakan Gabriella. “Hubungan kami sudah tak…” “Hubungan yang diawali dengan kepalsuan akan selalu menjadi palsu, lagipun orang-orang cenderung lebih peduli bagaimana hubungan itu bermula.” Sela Gabriella cepat, wanita itu tak membiarkan Gideon membantah omongannya. Gideon hanya dapat mengalihkan pandangannya sejenak sambil menghela napas berat sebelum akhirnya mulai kembali bersuara, sedangkan Gabriella hanya menggeleng sambil tersenyum kemenangan. “Lalu, apa yang mau kamu bicarakan saat ini?” Tanya Gideon untuk mengalihkan pembicaraan. Gabriella terdiam sejenak, dengan masih terus memandangi wajah mantan suaminya yang ia rasa jadi lebih mena
Mobil mewah berwarna merah gelap berhenti tepat di depan apartemen Shani, sang pengemudi yang tampak cukup tua tersenyum memandang ke arah seseorang di kursi penumpang di sampingnya. “Sudah sampai, Tuan putri.” Seru Gideon pelan. Sedangkan Shani yang menduduki kursi penumpang hanya terkekeh geli, ia balas memandang Gideon tanpa berkata sepatah kata pun. “Kenapa?” Tanya Gideon sambil menaikkan sebelah alisnya saat tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir wanitanya. Shani menggeleng pelan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Terima kasih.” “Tidak perlu berterima kasih karena sudah seharusnya aku memastikan kamu sampai ke apartemenmu dengan selamat.” “Bukan untuk tumpangan pulangnya, tapi untuk semuanya.” Gideon terdiam sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Aku tidak merasa sudah melakukan sesuatu hal yang besar.” Jawab Gideon. Shani tertawa kecil, tubuhnya ia condongkan hingga bibirnya mendarat tepat di pipi sang lelaki. “Kamu sudah membuatku menjadi wa
Kurang lebih selusin. Tidak, bahkan lebih dari itu, jumlah wartawan yang mengerubungi pintu keluar perusahaan tempat Shani bekerja. Mereka seperti serigala yang rakus akan moment kebersamaan Shani dan Gideon yang sengaja ingin ditampakkan oleh Pak Bentley, dan tentu saja alasannya demi memulihkan nama baik Gideon itu sendiri karena beberapa rumor buruk yang menghantam anaknya beberapa waktu yang lalu. Gideon sejak tadi sudah memandangi ke arah kerumunan wartawan di balik pintu, lelaki itu tampak tak terganggu dengan keramaian itu. Tetapi, sebaliknya malah terjadi dengan Shani. Wanita itu tampak sedikit gugup kali ini. Ia bahkan tak henti mencubit-cubit pelan lengan Gideon untuk meredakan rasa gugupnya. “Kita sudah sering melakukan ini, kan?” Ucap Gideon pelan setelah melihat ekspresi gugup di wajah Shani.Shani menoleh, menatap lamat-lamat sejenak wajah Gideon lalu mengangguk pelan. “Ya, tapi entah mengapa rasanya aku sangat gugup.”“Tidak usah khawatir, kan ada aku.” Jawab Gideon