Ini sudah dua hari setelah konferensi pers, berita terkait hubungan Shani dan Gideon mulai banyak bermunculan hanya dalam beberapa jam dan menjadi yang paling sering dicari dalam dua hari. Wajar saja, karena kisah si orang biasa memiliki hubungan dengan si orang paling kaya sangatlah jarang terjadi. Hari ini juga sudah dua hari pula sejak ia dan Daroll bertemu.
“Kamu bukan hanya berarti, kamu adalah segalanya untukku. Jadi, jika kamu terluka, maka aku akan lebih terluka.”
Shani ingat dengan sangat jelas bagaimana wajah khawatir Daroll saat mengatakan hal itu padanya, wajah Shani seketika memerah seperti kepiting rebus dan senyumnya pun juga merekah saat mengingat kejadian itu. Namun, saat ingatan sifat arogan Gideon lewat di pikirannya. Shani jadi tersulut emosi lagi.
“Arogan, mentang-mentang kaya.” Gumam Shani pelan seraya melirik sekilas nakas disamping kasurnya. Jam beker diatasnya sudah menunjukan pukul 7 pagi, sudah waktunya bagi Shani untuk bersiap pergi ke kantornya.
“Huft, harus kembali bekerja, ya?” Shani bergumam lagi.
Kemarin Shani sengaja bolos kerja dengan alasan sakit, selain karena ia malas menghadapi pertanyaan dari rekan kerjanya. Gideon juga yang menyarankannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Saat memasuki wilayah kantor. Orang-orang yang berpapasan dengan Shani mulai berbisik-bisik, ia tahu mereka sedang membicarakan berita itu. Tetapi, Shani pun sudah tak peduli lagi.
“Wah, ini dia karyawan kebanggaan perusahaan kita.” Pak Harris, bos Shani itu berseru saat mereka berpapasan di pintu masuk ruang divisinya.
Shani tersenyum kikuk. Dia hanya merespon dengan anggukan pelan.
“Seharusnya kamu memberitahuku tentang hubunganmu dengan CEO kita, Shani.” Lanjutnya.
“Ah, saya lupa harus mengirim beberapa file, saya masuk duluan, pak.”
Shani menunduk sopan sebelum melipir ke meja kerjanya, akan sangat lama jika dia harus meladeni bosnya itu. Shani juga sadar bahwa orang-orang yang baik padanya setelah berita itu bukan karena mereka benar-benar baik, tetapi mereka hanya ingin mencari muka didepan Shani—karena saat ini Shani adalah kekasih CEO—maka dari itu Shani sudah bertekad akan mengurangi interaksinya dengan orang-orang seperti itu agar tak menimbulkan masalah baru.
Ketika matahari mulai berubah jingga dan merah yang bercampur menjadi harmoni yang indah, sudah waktunya untuk pulang. Shani segera merapikan barang-barang yang berserakkan di atas meja, memasukkan beberapa barang penting ke dalam tas sebelum berlalu meninggalkan meja kerjanya.
Saat ingin turun ke lantai bawah menggunakan lift, Shani bertemu dengan Daroll yang juga ingin turun. Dia terlihat bersama kekasihnya, mereka sangat mesra sekali. Berpegangan tangan sambil bercanda.
Shani seketika merasa sakit hati. Rasa senang akibat ucapan Daroll semalam langsung menguap dari pikirannya. Shani segera mengalihkan pandangannya, tak ingin Daroll menyadari kehadirannya. Tapi Daroll terlanjur sadar dan melambaikan tangan ke arahnya.
“Hai, Shani. Mau langsung pulang?” Sapa Daroll.
Shani tersenyum tipis, “Ya, aku ingin pulang sekarang.”
“Kalau begitu, ayo bareng. Shani.” Kini kekasihnya yang bersuara.
“Ah, sepertinya aku meninggalkan barangku. Aku mau ambil itu dulu.”
“Baiklah, kami duluan, ya!” Ucap Daroll sebelum berlalu masuk ke dalam lift dan meninggalkan Shani.
Shani berbohong, dia tak meninggalkan barangnya, saat ini Shani malah terdiam beberapa menit di depan lift, matanya sedikit berkaca-kaca. Namun, pintu lift yang tiba-tiba berbunyi dan terbuka membuat Shani menolehkan kepala dan matanya seketika terbelalak melihat Gideon berdiri di dalam lift. Lelaki itu juga menatapnya kaget tapi segera menguasai diri dan tersenyum ke arahnya..
“Kebetulan sekali bisa ketemu. Kamu mau langsung pulang, kan? Pulang sama aku ya, sayang.” Tanya Gideon.
Shani tercekat, ia dibuat terdiam karena kalimat Gideon barusan. Sedangkan, karyawan lain yang juga berada di dalam lift saling sikut dan mulai berbisik-bisik. Ada pula yang ikut tersenyum malu-malu saat melihat CEOnya berkata manis seperti barusan.
“I-iya, okay.” Jawab Shani kikuk. Lalu segera masuk.
“Tadinya aku mau jemput kamu ke ruangan, tapi ternyata kita ketemu di lift.”
Gideon pun segera meraih tangan Shani untuk ia genggam, hal ini sukses membuat karyawan yang ada disana tersenyum gemas. Entah apa maksud dan tujuan Gideon saat ini tetapi Shani tau dia harus menurut.
Setibanya Gideon dan Shani di basement kantor yang sepi, Shani segera melepas genggaman itu.
“Bapak kenapa?”
“Kita harus seperti itu agar tak ada yang curiga.”
“T-tapi kan saya kaget.”
“Mulai sekarang biasakan.”
Shani terdiam, menghela napas berat dan pasrah. Terserahlah toh ia hanya harus seperti ini selama masa kontrak, ucap Shani dalam hatinya.
“Ya sudah, saya pulang duluan.” Ucap Shani.
“Saya antar pulang.”
“Tak apa, saya tak mau merepotkan.”
“Saya tidak sedang bertanya, Shani. Saya sedang memberikan informasi ke kamu bahwa hari ini saya yang akan antar kamu pulang.”
Shani lagi-lagi dibuat terdiam akibat tingkah CEO sekaligus seseorang yang saat ini menjadi kekasih kontraknya itu. Sejujurnya, Shani suka jika ada seseorang yang berinisiatif tinggi melakukan sesuatu untuknya. Tetapi itu tidak berlaku jika Gideon yang menawarkannya.
Hingga sesampainya mereka di kawasan apartement Shani, mobil mewah Gideon terparkir dengan sempurna di depannya. Gideo menoleh ke sebelahnya dan mendapati sang pemilik masih memejamkan matanya di sebelah Gideon.
Dalam keheningan yang tercipta, Gideon menatap wajah Shani lamat-lamat. Dia jarang sekali melihat wajah tenang Shani seperti saat ini.
“Dia lumayan cantik.” Gideon bergumam pelan tanpa sadar.
“Kamu menikah dengan ayahku, Shani?” Tanya Daroll dingin.Shani membeku, kepalanya jadi tertunduk. Tak berani menatap wajah Daroll saat ini. “Jawab!” Desak Daroll. Dia kini sudah berpindah ke hadapan Shani.Gideon yang dari tadi hanya memperhatikan kini mulai maju, meletakkan tangannya di atas dada Daroll agar anaknya itu dapat memberi sedikit jarak untuk Shani. “Daroll…” “Dari beribu wanita di dunia ini, kenapa harus temanku yang ayah nikahi!?” Seru Daroll memotong.“Ayah tak tahu bahwa dia temanmu, Daroll. Maafkan ayah.” “Itu berarti ayah sama sekali tak peduli padaku, kan? Hal-hal kecil seperti itu saja ayah tak tahu!” Daroll semakin meninggikan nada suaranya. “Seluruh ucapan ayah padaku adalah omongan kosong, saat ayah berkata bahwa ayah peduli padaku…semuanya omong kosong!” Lanjutnya. Emosi Daroll sudah memuncak, matanya tajam menatap Gideon, urat lehernya pun ikut menegang. Sekilas, Gideon dapat melihat mata Daroll yang sedikit memerah dan berkaca-kaca sebelum anaknya itu m
“Ah sial, aku terlambat bekerja.” Shani buru-buru turun dari kasurnya, berjalan terhuyung ke keluar dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. Alarm yang sudah Shani siapkan tidak berhasil membangunkannya, padahal ia harus kembali bekerja. Alhasil, ia jadi terlambat bangun.Kecemasan mulai menggerogotinya, membuat Shani tak bisa tenang dan ingin segera pergi. Ia mempercepat langkahnya hingga tanpa sadar melengos begitu saja di hadapan Gideon yang sedang menyantap sarapannya. Alis Gideon seketika terangkat melihat tingkah Shani pagi ini, ia dengan gerakan cepat menarik lengan Shani dari belakang membuat pergerakan Shani seketika terhenti.“Kamu mau kemana?” Tanya Gideon.“Saya sudah terlambat pergi bekerja, Pak.” Jawab Shani dengan napas memburu.Gideon menaikkan alisnya. Dia menatap Shani dari atas hingga bawah. Pasalnya, saat ini wanita di hadapannya itu masih mengenakan baju tidurnya. Rambutnya pun masih acak-acakan dan tanpa riasan sedikit pun di wajahnya.“Tak usah bekerja,
Sekitar tiga puluh menit, waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan tanpa berbicara sedikit pun. Mobil kini berhenti pada salah satu hotel bintang lima yang terkenal di kota ini. Gideon segera turun, meninggalkan Shani yang kebingungan. Namun tak lama, Gideon membuka pintu mobilnya. Wajah garangnya sedikit menunduk untuk menyejajarkan pandangannya dengan Shani.“Mau turun sendiri atau saya seret?”Shani menyeringai kesal, memutar bola matanya jengah. “Dasar arogan.” Gumam Shani amat pelan sebelum turun dari mobil dan berlari kecil mengejar Gideon yang sudah lebih dulu masuk ke dalam hotel itu.Sesampainya didalam, mereka disambut oleh beberapa lelaki dengan pakaian yang sangat rapi. “Selamat malam, tuan Gideon. Silahkan ikuti saya.” Ucap lelaki itu sambil mempersilahkan Shani dan Gideon. Gideon pun sepertinya sudah mengerti dengan maksud lelaki itu, tetapi tidak dengan Shani. Ia menarik lengan Gideon sebelum Gideon sempat melangkah.“Bapak tidak berniat untuk melakukan hal aneh, k
Gideon harus berhenti menatap wajah tidur Shani saat sang puan mulai membuka matanya. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.“Oh, sudah sampai.” Ucap Shani sambil mengosok matanya. Ia lalu membenarkan posisi duduknya. Sedangkan, Gideon hanya terdiam, dia kembali menatap lamat-lamat wajah Shani dengan ekspresi yang tak bisa Shani artikan.“K-kenapa?” Shani bertanya tergegu saat ditatap begitu, ia balik menatap Gideon dengan kebingungan.Belum sempat mendapatkan jawaban, bibir Shani sudah dibungkam oleh Gideon. Shani yang tiba-tiba saja dicium itu refleks memundurkan wajahnya hingga tautan bibir mereka terputus. Ia terdiam sejenak karena kebingungan. Untuk alasan yang tidak dapat ia pahami itu, jantungnya malah berdetak tak karuan.“K-kenapa bapak m-mencium saya?” Tanya Shani tergegu lagi.Namun, Gideon yang mendapatkan penolakan itu seketika jadi tersulut emosi. Wajahnya berubah seketika, menampakkan ekspresi marah, urat lehernya ikut menegang.Dan saat melihat itu, Shani me
Ini sudah dua hari setelah konferensi pers, berita terkait hubungan Shani dan Gideon mulai banyak bermunculan hanya dalam beberapa jam dan menjadi yang paling sering dicari dalam dua hari. Wajar saja, karena kisah si orang biasa memiliki hubungan dengan si orang paling kaya sangatlah jarang terjadi. Hari ini juga sudah dua hari pula sejak ia dan Daroll bertemu.“Kamu bukan hanya berarti, kamu adalah segalanya untukku. Jadi, jika kamu terluka, maka aku akan lebih terluka.”Shani ingat dengan sangat jelas bagaimana wajah khawatir Daroll saat mengatakan hal itu padanya, wajah Shani seketika memerah seperti kepiting rebus dan senyumnya pun juga merekah saat mengingat kejadian itu. Namun, saat ingatan sifat arogan Gideon lewat di pikirannya. Shani jadi tersulut emosi lagi.“Arogan, mentang-mentang kaya.” Gumam Shani pelan seraya melirik sekilas nakas disamping kasurnya. Jam beker diatasnya sudah menunjukan pukul 7 pagi, sudah waktunya bagi Shani untuk bersiap pergi ke kantornya. “Huft, ha
“Sudah siap?”Shani menoleh ke sumber suara, Gideon yang telah rapi dengan setelannya melirik Shani sekedarnya. Mereka saat ini masih berada di dalam mobil, sedangkan di depannya terdapat kerumunan wartawan yang sedang menunggu.“Siap tak siap.” Shani menjawab datar.“Jangan melakukan hal aneh, kamu cukup diam disamping saya.”Shani tak merespon, dia sudah tahu dengan apa yang harus dilakukan saat konferensi pers. Cukup diam dan memasang senyuman palsu agar semua orang percaya dengan skenario palsu hubungan mereka.“Bagaimana dengan ibu, ya?” Shani bergumam amat pelan. Namun tetap saja dapat didengar oleh Gideon yang duduk disampingnya.“Tinggal jelaskan, tidak sulit.”Shani melirik Gideon sekilas lalu menghela napas berat.“Bapak mau membantu untuk menjelaskannya pada ibu saya?”“Tentu saja tidak.” Jawab Gideon singkat.Shani tersenyum kecut, “Saya bisa pastikan dia akan bertanya banyak hal mengenai ini, saya khawatir tidak bisa menjawabnya.” Pikiran Shani saat ini cukup berantakan,