Segugup apa Bunga menerima ciuman Alvaro, segugup itu pula yang dirasakan oleh Alvaro. Rasa malu otomatis membuat Bunga agak surut, ketika batinnya mempertanyakan kesiapan diri sendiri.Alvaro merasakan istrinya sedikit mundur. Alvarosendiri tentu tak ingin mundur sama sekali, otaknya terpacu adrenalin. Alvaromengambil alih, dia bangkit dan merebahkan Bunga.“Bolehkah?” desahnya pelan. Pertanyaannya tentu membuat pipi Bunga merona. Setengah rasa di hati Bunga justru sedikit protes pada pertanyaan itu. ‘Kenapa dia harus bertanya?’Bunga hanya bisa mengangguk pelan, khawatir suaranya akan terdengar aneh kalau dia berusaha menjawab. Mungkin Alvarobisa merasakan suara jantung Bunga, saking debarannya bertalu-talu karena gugup.Melihat Bunga memejamkan matanya, Alvaro memulai kembali aksinya. Kali ini ciuman lembut di bibir Bunga berubah ritme menjadi lebih cepat dan menuntut. Bunga berusaha mengikutinya. Dia memagut tubuh Alvaroyang sudah berada di atasnya.Bunga mencengkram punggung Alva
Bunga berjalan keluar kamar mandi lebih dulu. Dia menuju walk in closet dan memilihkan baju yang harus dikenakan oleh Alvaro. Sementara Alvaro? Dia masih tersenyum-senyum, meski hanya menatap Bunga .“Ini celana dan jasnya, ini kemeja, ini dasi ... Eh, jangan, lebih cocok yang ini.” Bunga sibuk sendiri. Ketika dia melirik lagi pada Alvaro, matanya langsung membelalak.“Al! Apa kau sekarang tak lagi punya malu?” Alvaroberdiri di belakangnya tanpa busana.“Tidak, kenapa harus malu. Bukankah kau juga suka,” jawab Alvarosambil melilitkan tangannya ke pinggang Bunga .“Hah, aku suka? Kapan aku mengatakan itu?” Bunga menggaruk kepalanya. Rambutnya yang basah terurai berantakan. Tapi Alvarojustru menjadi suka. Dia membenamkan hidung mancungnya di belakang kepala Bunga .Merasakan seluruh organ tubuh Alvaromenempel pada dirinya yang masih mengenakan bathrobe, Bunga mendadak malu. Terlebih ketika bagian khusus itu bereaksi.“Al, please. Kenapa?” tanya Bunga tertahan. Perasaannya campur ad
Menjelang makan siang, Alvaro kembali keluar. “Bunga, kemari,” panggil Alvaro. Bunga segera beranjak, mendatangi ruangan Alvaro. Bunga langsung menutup pintu ketika memasuki ruang kantor Alvaro. “Ya, Pak?” tanya Bunga dengan serius kepada Alvaro. “Bunga, nanti setelah makan siang, aku ada janji pertemuan dengan perusahaan rekanan kita. Aku tidak bisa menghindar dari meeting ini, sedangkan aku perlu file yang ada di dalam kamar di rumah Kakek Bram. Aku lupa mengambilnya kemarin,” ujar Alvaro. Alvaro menyesalkan keteledorannya kemarin. “Apa aku harus mengambilnya?” tanya Bunga. Alvaro mengangguk. Ada banyak sekali barang pribadiku disana. Hanya aku yang membawa kunci lacinya. Kau bisa meminta supir mengantarkanmu.” Sebenarnya Alvaro juga tak ingin Bunga pergi sendirian keluar kantor karena perintahnya. “Baiklah, kalau begitu aku akan berangkat pada jam makan siang nanti,” jawab Bunga. Alvaro meng
Kecemasan menghinggapi perasaan Bunga. Dia tahu, pasti Kakek Bram akan mengetahui kalau dia mendengarkan semua itu. Bunga tak punya alasan pada Kakek Bram, sudah tidak mungkin untuk mengatakan kalau dia tidak mendengar semuanya."Itu artinya kau harus segera pergi dari sini. Aku ingatkan kau sekali lagi. Enyahlah dari kehidupan kami," ujar Kakek Bram. Suaranya terdengar sangat tegar. Namun, ada kekhawatiran di dalam intonasi suaranya yang terdengar terlalu cepat."Kali ini aku pergi, sepertinya ada pengganggu kecil di rumahmu ini. Lain kali aku akan datang lagi, sampai kita mencapai kesepakatan." Suara Sarah terdengar tak kalah lantang.Bunga masih berdiri kaku, menutup mulutnya. Dia ketakutan pada konsekuensi. Tidak mungkin Bunga pergi dan menghindar dari segala pertanyaan yang nanti mungkin dicetuskan Kakek Bram padanya.Dari tempatnya berdiri, Bunga bisa mendengar langkah kaki perempuan paruh baya itu menuju pintu. Sesaat kemudian, Bunga bisa mendengar suara mesin kendaraan yang te
Belum lagi Bunga sempat me jawab permintaan Kakek Bram, telepon genggamnya sudah berbunyi kencang. Kakek Bram terdiam dan mengalihkan pandangan matanya dari Bunga. Seolah memiliki firasat, kalau Alvaro sudah mulai mencari Bunga.“Sebentar ya, Kek. Ini telepon dari Alvaro,” ujar Bunga meminta waktu pada Kekal Bram. Lelaki tua itu mengangguk.“Halo, sebentar ya, aku mencarikan file yang dibutuhkan kemudian segera kembali,” jawab Bunga dengan ragu-ragu ketika menerima sambungan telepon dari Alvaro.“Halo, kenapa lama sekali? Kau baik-baik saja, kan? Kau membuatku khawatir,” ujar Alvaro. Bunga kembali mencoba menenangkan Alvaro. Dia tidak ingin Alvaro merasa khawatir sekaligus tidak ingin berdusta pada Alvaro. Bunga merasa di berada di dalam dilema.“Jangan terlalu lama disana, tapi kalau di jalan juga jangan terburu-buru. Berkendara dengan pelan saja,” pesan Alvaro sebelum Bunga menutup panggilan teleponnya.“Apa dia bertanya? Dia curiga karena kau terlalu lama disini?” tanya Kakek Bram.
Leo menanti Bunga bercerita lebih lanjut tentang pertanyaannya. Namun Bunga tetap terdiam. Wajahnya tampak berpikir. Itu membuat Leo sendiri merasa tak yakin Bunga tadi mendengarkan pertanyaannya atau tidak.“Hei, kau baik-baik saja, kan?” tanya Leo.“Eh, ya Leo. Ya, aku baik-baik saja,” ujar Bunga.Pertanyaan Leo membuat pikirannya kembali tersadar. ‘Mungkin sebaiknya aku tidak usah menceritakan pada Leo. Aku tidak yakin dia tidak akan bercerita pada Alvaro,’ pikir Bunga. Bunga tahu persis kalau Leo adalah sahabat Alvarosejak dulu. Mungkin saja lelaki itu loyal pada Alvaro.“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi sejak kembali ke kantor hari ini kau tampak sedikit galau,” ujar Leo. Dia kembali memancing jawaban dari Bunga. Bunga yang sadar kalau dia sedang dipancing oleh Alvarolangsung berdiri dan merapikan mejanya dari kotak makanan untuk makan siangnya tadi.“Tidak apa-apa, Leo. Aku hanya ingin tahu. Aku sedikit galau karena tadi kelaparan, sekarang aku galau karena keke
Ketika jam kantor selesai, Alvarosudah berdiri di depan pintu ruangannya. “Leo, suruh seseorang mengantarkan mobilku ke rumah nanti,” perintah Alvaro. Dia memberikan kunci mobilnya kepada Leo.“Baik, lalu bagaimana Bapak akan pulang?” tanya Leo.“Menumpang mobil sekretarisku, bukan mobilmu, mobil Bunga.” Senyum usil Alvarolangsung mengembang di wajahnya. Leo langsung ikut tersenyum geli saat Bunga berubah tegang. Leo tentu saja paham, mungkin Alvarodan Bunga ingin pergi berkencan.Bunga memandang ke sekitar mereka. Setelah memastikan tidak ada pegawai lain di sekitarnya, Bunga memandang Alvaro. “Karyawan bisa melihatmu naik ke mobilku,” ujar Bunga.“Apa salahnya? Aku berulang kali naik ke atas mobil Leo, tak ada yang mempermasalahkan,” jawab Alvaro lugu. Menyadari kalau pada saat ini sudah selesai jam kerja, Leo tertawa lebih bebas untuk bercanda dengan Alvaro.“Tentu saja mereka tak akan mempermasalahkan, kalian kan normal,” gerutu Bunga.“Siapa yang tahu normal atau tidak, Nona Sekr
Alvarolangsung menutup mulut Bunga ketika gadis itu hampir berteriak. Bunga menutup bagian depan tubuhnya, menyadari suaminya bereaksi ketika melihatnya dalam balutan busana seksi seperti itu.“Jangan berteriak,” bisik Alvaro. Setelah Bunga mengangguk, Alvarobaru melepaskan tangannya dari mulut Bunga. “Apa kau ingin mereka menyangka kita melakukan hal yang tidak-tidak di dalam ruang ganti?” tanya Alvaro. Bunga menggeleng cepat.“Tapi kau jangan usil seperti itu, menakutkan,” ujar Bunga sambil menutupi tubuhnya dengan pakaian kerja yang tadi dilepaskannya untuk mengenakan lingerie.“Aku tidak sengaja,” ujar Alvarodengan sunyum usil. Bunga meringis mendengar pengakuan tak sengaja dari Alvaro.Bunga lantas mengganti pakaiannya kembali. Dia merapikan semua pakaian yang tadi dicobanya. “Apa kau sudah ‘tenang’? Kalau sudah, kita keluar dari ruang ganti ini,” kata Bunga. Alvaromenarik nafas pelan dan panjang untuk menguasai dirinya, mengatasi hasrat yang bergejolak di kepalanya tadi.“Sudah