Share

BAB 6

Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan.

"Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?"

Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu.

Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya.

"Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga.

"DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya. "Kapan kau akan pulang?!" teriakkan kedua kembali terdengar, tak lebih pelan daripada sebelumnya.

"Kau yakin, eh?" Calvin, rekan kerja sekaligus teman baiknya sejak lama, memicingkan mata pada Liam.

Liam mengangguk dengan mantap. "Ya, pergilah tanpaku," jawabnya sambil membuat gestur mengusir. Jelas Calvin tahu alasan mengapa pria itu bersikap demikian. Jadi, dia tidak bertanya lebih banyak dan lekas menutup pintu.

"Aku akan pulang sebentar lagi. Kau sudah makan malam?"

"Tidak. Aku ingin makan malam di luar denganmu, Dad," jawab suara bocah di seberang telepon dengan nada yang terlalu riang sampai membuat Liam merasa waspada dibuatnya.

"Tumben sekali. Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, bukan?" Liam menyuarakan tanya yang terbersit di benak.

"Makanan di rumah memang sehat seperti katamu, Dad. Tapi ada kalanya aku ingin menikmati makanan enak. Bisakah kau melunak padaku sekali saja?"

Liam berusaha keras untuk menahan tawa. "Kau tahu, Nic, ucapanmu barusan tidak seperti bocah berusia lima tahun, tapi seperti ucapan pria berusia lima puluh tahun!" decak Liam, menggeleng pelan. "Lagipula, sekali? Hei, aku seringkali melunak padamu!"

Nic, balita yang menurunkan hampir seratus persen fisik dirinya, terdengar berdecak dramatis. "Sudahlah. Jadi bagaimana? Bisa pulang secepatnya, Dad?"

Liam mengulum senyum. "Ya, aku pulang sekarang. Silakan bersiap-siap agar kita bisa langsung berangkat, Tuan Muda," balas Liam jenaka.

Nic seketika bersorak riang lalu menutup telepon dengan sepihak. Liam membayangkan, anak itu pasti sedang melompat-lompat gembira sekarang. Mandi, memberantakan lemari untuk mencari baju yang keren, dan menata rambutnya lebih lama daripada saat dia membersihkan diri. Ck. Terkadang, Nic agak mirip dengannya.

***

Di sebuah rumah bergaya Eropa, di dalam kamar luas dengan segala macam mainan dan pakaian yang berserakan di sana, seorang bocah tengah berdiri di depan meja rias. Tanpa baju, hanya mengenakan handuk putih yang melilit di pinggang, bocah itu bergaya narsis di depan cermin.

"Waw! Anak tampan ini akan menemukan Mommy baru hari ini!" pungkasnya sambil mengerling pada bayangan dirinya sendiri di cermin.

Dia menurunkan handuk di tubuhnya, kemudian memakai kemeja dan celana jeans yang sudah dia pilih dari puluhan baju di lemarinya. Sesekali, anak itu bersenandung gembira.

"Aku yakin tidak akan ada orang yang tidak terpesona olehku." Sekali lagi anak itu bergumam percaya diri.

Setelah mengenakan pakaian, dia kembali berdiri di depan meja rias untuk menyisir rambutnya. Cukup lama, dia menata rambut agar tampak sangat keren. Dia memiliki rencana yang menghebohkan hari ini sehingga pikirnya dia harus terlihat sangat tampan.

"Rambutku terlalu pirang. Ini terlalu mencolok, dan aku terlihat terlalu keren karenanya," komentar Nic, menggeleng-geleng pelan.

Suara mesin mobil yang berhenti di depan membuat Nic menyudahi acara menata gaya. Buru-buru anak itu melompat dan berlarian cepat keluar, menyambut kedatangan Sang Ayah.

"Dad! Apa kita akan berangkat sekarang?"

"Hei. Anak Daddy sudah rapi begini," komentar Liam, hendak meraih Nic ke dalam gendongan, tapi anak itu langsung menggeleng tegas, membuat Liam menghentikan gerakan. "Astaga, aku selalu lupa kalau kau sudah besar."

"Ya Tuhan, mungkin kau sudah tua, Dad. Akhir-akhir ini kau selalu melupakan banyak hal."

Liam speechless mendengar ucapan Nic. Jika saja Nic bukan anaknya, Liam mungkin akan menempeleng anak itu dan mengusirnya dari rumah. Astaga, mulutnya benar-benar tidak pernah disaring jika mengomentari apa pun tentangnya. Entah dari mana sifat menyebalkan itu Nic dapatkan.

Tidak mengambil pusing ucapan Nic lebih jauh, Liam lekas membukakan pintu mobil dan membiarkan anaknya masuk.

"Pasang sabuk pengamanmu, Boy." 

Patuh dengan apa yang Liam katakan, Nic langsung memakai sabuk pengamannya sendiri.

"Great job!" puji Liam sambil mengusak puncak kepala Nic dengan bangga. Liam akui, anak itu memang bisa melakukan banyak hal sendiri. Selain karena didikannya seperti itu, Nic memang sejak awal sudah terlahir menjadi anak yang pintar.

"Let's go, Dad!" pekik Nic penuh semangat, membuat lelah Liam seketika ikut berganti dengan kegembiraan tatkala melihatnya begitu antusias.

Namun setengah jam kemudian,

"Dad, bisakah kita mampir sebentar di toko mainan?" Nic, dengan tatapan polos yang menghipnotis Liam, berkata demikian.

Liam melirik bocah tersebut. "Apa lagi yang ingin kau beli? Bukankah sudah banyak mainan di rumah?"

"Hanya ingin membeli mainan baru saja. Aku pikir, semua mainan di rumah sudah tua."

"Nak, jika kau lupa, belum sampai satu bulan sejak kau merengek padaku untuk membeli robot Ultraman yang bisa bergerak dan berbicara sendiri."

Nic menggeleng. "Satu bulan itu lama, Dad. Ayolah. Aku berjanji hanya akan mengambil satu mainan, lalu setelahnya kita pergi ke restoran untuk makan. Bagaimana?"

Percuma menolak apa yang dikatakan oleh Nic. Sebab Liam yakin, anak itu akan melakukan berbagai cara untuk membujuk agar dia bisa memenuhi keinginannya. Sama seperti dirinya, Nic sangat picik.

"Baiklah," keluh Liam pada akhirnya. Lalu sorakkan gembira Nic terdengar.

Namun tidak seperti yang Liam pikirkan, sesungguhnya Nic memiliki sebuah misi besar malam hari ini. Misi yang akan berpengaruh untuk kehidupannya kelak. Nic tersenyum samar.

"Apa yang akan kau beli?" tanya Liam sambil menuntun anaknya.

Nic tidak menjawab. Matanya sibuk berjelajah mencari sesuatu yang paling dia inginkan beberapa waktu belakangan ini.

"Nic," panggil Liam karena anak itu tidak menjawab.

Nic lantas mengangkat wajahnya dan menatap Liam. "Aku ingin mencari mommy baru," jawabnya, berhasil membuat Liam membulatkan mata tak percaya.

"Nic, jangan bermain-main! Sudah aku bilang sebelumnya, jangan meminta hal aneh-aneh lagi!" peringat Liam. Sebab beberapa hari sebelumnya pun, anak itu pernah mengatakan hal yang sama, dan Liam langsung memberinya pengertian untuk tidak meminta hal yang tidak bisa dia wujudkan.

"Aku tidak meminta hal aneh. Aku hanya meminta mommy baru, Dad! Mommy yang mirip ibu peri."

"Tidak ada ibu peri di dunia ini, Nic. Bisakah kau berhenti menonton film tidak masuk akal yang membuatmu berpikiran seperti ini?" Liam sedikit kesal setiap kali Nic membahas soal ibu baru untuknya.

"Ibu yang jahat seperti penyihir saja ada, pasti ibu yang mirip dengan ibu peri juga ada. Aku yakin itu!" pungkas Nic, masih pada pendiriannya.

Anak itu lalu berlari. Meninggalkan Liam dengan langkah-langkah kecil tetapi cepatnya. Liam tentu saja berusaha mengejar. Namun gerakan Nic begitu gesit. Mungkin Liam harus memikirkan kemungkinan untuk menjadikan Nic sebagai atlet di kemudian hari. Astaga.

Setelah mencari di beberapa sudut toko dengan perasaan agak kesal, Liam akhirnya menemukan anak itu. Bersama dengan langkah besar yang sedikit dientakkan, Liam berjalan menghampiri bocah tersebut.

"Nic!" panggil Liam lantang.

Nic yang tengah berbicara dengan seorang wanita yang Liam tidak perhatikan baik-baik, menoleh dan menatapnya. Senyum anak itu begitu lebar. Lalu tiba-tiba saja dia mengatakan hal yang membuat Liam tak habis pikir.

"Dad! Aku sudah menemukan Mommy baru!" Nic berteriak gembira padanya.

Liam benar-benar kesal dan malu sehingga berniat untuk menggendong Nic lalu meminta maaf pada wanita asing yang anaknya temui. Namun, gerakannya terhenti saat dia menatap wajah itu. Wajah yang dulu begitu familiar untuknya.

Luna. Adik kecil sekaligus wanita yang dia campakkan di hari pernikahan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status