Se connecter“Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,”
Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.
Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.
Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”
Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.
Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”
Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.
“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami jatuh kepada saya—istri sah mendiang.”
Nadanya penuh keyakinan. Terlalu yakin, seolah keputusan sudah dibuat sebelumnya.
Beberapa anggota direksi mengangguk pelan, sebagian lain saling bertukar pandang. Miranda tersenyum kecil, seolah mendapat konfirmasi atas ucapannya sendiri.
“Selama ini, saya sudah mendampingi keluarga Adikara dalam banyak keputusan penting. Saya rasa, tidak ada yang lebih memahami arah perusahaan ini selain saya.”
Pak Damian bersandar tenang di kursinya.
“Tidak diragukan lagi, Bu Miranda memang banyak berjasa,” katanya datar.
Senyum Miranda mengembang. Tapi tak lama—Damian melanjutkan,
“Namun, sebelum memutuskan, saya perlu menyampaikan satu hal yang belum diketahui sebagian besar dewan.”
Damian membuka map di depannya, menarik satu berkas, dan meletakkannya di tengah meja.
“Sesuai wasiat terakhir Pak Ardian, hak kepemilikan sementara dan suara utama dalam rapat ini jatuh kepada keluarga inti Adikara. Dan sejak pagi tadi, posisi itu resmi diwakili oleh Nyonya Tama Adikara.”
Aku menunduk sedikit, jantungku berdebar.
Miranda menatap tajam, nafasnya terdengar berat.
“Kalian…” suaranya rendah, tapi getir. “Kalian menikah tanpa izin dariku?”
Tak ada yang menjawab.
Damian hanya menautkan tangan di depan dada, sementara aku menatap meja, berusaha menahan getar di ujung jariku.
Miranda tertawa pelan—dingin, tidak lucu sama sekali.
“Luar biasa. Jadi semua ini sudah diatur dari awal?”
“Sudah,” jawab Damian tenang. “Atas instruksi mendiang.”
Senyum itu lenyap seketika.
Miranda menatapku, kali ini tanpa kedok manis. “Kau pikir ini cukup untuk membuatmu diterima di sini, Nona?”
Miranda mengepalkan tangan di pangkuan. Lalu meninggalkan ruangan rapat ini menatapnya kebingungan.
**
Sore ini, aku kembali ke rumah utama. Senja begitu cantik. Tapi aku terlalu lelah, bahkan untuk menikmati suasana. Hari ini terasa panjang sekali. Baju hitamku mulai kusut, tapi aku belum sanggup pulang.
Aku berjalan pelan, menghampiri Tama yang terbaring di balik selimut putih. Sejak pagi tadi, ia dipindahkan dari rawat inap ke rumah utama. Alasannya untuk keselamatannya, katanya.
Separuh wajahnya tertutup perban, ada bekas memar di rahang, dan selang oksigen yang menempel di hidungnya.
Aku menelan ludah.
Ternyata separah ini kondisinya.
Aku baru menyadarinya, karena sejak kemarin—sampai tadi pagi, pikiranku terlalu penuh untuk memperhatikan secara detail.
Dulu dia terlihat jauh kugapai, dan sekarang… terlalu rapuh untuk kusentuh.
“Hai?”
Aku bicara pelan, hampir berbisik.
“Aku hari ini nikah.”
Senyumku muncul sebentar. “Sama kamu… lucu, ya?”
“Hmm… Katanya, walau kamu masih gak sadar, tapi masih bisa dengar,” lanjutku. “Jadi aku ngomong aja, ya. Biar kamu nggak bosan.”
Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Tau gak? Tadi kita nikah gak bilang dulu ke Ibu. Aku tanya Pak Damian, katanya perintah Ayah. Jadilah Ibu marah-marah.”
“Aku selalu takut kalau Ibu marah. Tapi tadi aku berani jawab Ibu, meski cuma dikit. Kalau dilanjut nanti suaraku gemetar.”
Senyumku miris. “Untung ada Pak Damian, tapi tetep aja… rasanya aneh banget duduk di meja itu.
Harusnya kamu yang di sana, aku temenin kamu aja.”
Aku menggenggam tangannya, merasakan dingin yang sama seperti sebelumnya.
“Tama. Ayah udah meninggal. Kemarin di pemakaman, banyak orang datang. Tapi semuanya sibuk bicarain perusahaan.”
Aku berhenti sebentar, suaraku pelan sekali. “Kecelakaan itu… ngambil semuanya. Ayah, juga kamu. Kamu masih di sini, tapi kayak… setengahnya hilang.”
Mataku panas. “Awalnya aku ragu, tapi… aku berusaha ngelakuin apa yang Ayah minta. Dan sekarang kamu jadi suami aku.”
Sunyi.
Aku tersenyum tipis. “Rasanya aneh nyebut kamu suami.”
“Tapi anehnya… aku suka.”
Dari ujung kepala, tak ada noda. Alis dan bulu mata yang rupawan, membuat siapa pun iri. Hidungnya yang mancung dan bibirnya—
Gak.
Sadar, Anya.
Aku menarik napas pelan, tapi tangan ini justru bergerak sendiri. Jemariku menyentuh pelipisnya, turun ke rahangnya yang kaku, hingga berhenti di bibirnya.
Dingin. Tapi masih sama seperti dulu saat dia bicara dengan nada datar yang bikin aku marah setengah mati.
Detik itu, layar monitor berganti ritme—hanya sedikit, tapi cukup bikin jantungku berhenti sepersekian detik.
Aku menatapnya, menahan napas.
Aku membetulkan posisi duduk, mengusap ujung mataku pelan.
“Biasanya orang yang abis nikah langsung honeymoon. Tapi aku duduk di sini, nemenin kamu yang nggak tahu apa-apa. Bahkan kamu sendiri ga tau kalo udah nikah. Iya kan?”
“Dan lagi, aku nggak pake gaun. Cuma pake baju ini, yang dari pagi belum aku ganti.”
Aku menunduk sedikit, tersenyum kaku. “Konyol banget, ya. Aku dulu bahkan nggak berani manggil kamu tanpa mikir panjang. Kayaknya dulu kamu juga gak pernah anggap aku ada. Tapi sekarang aku berani ngoceh panjang.”
Aku memainkan jari-jariku di atas selimut, lalu berbisik, “Aku nggak tahu kamu bisa dengar sejauh apa, Tam. Tapi aku mau kamu tahu satu hal. Aku nggak nikah ini karena takut, atau karena disuruh. Aku cuma ngerasa… kalau aku ninggalin kamu sekarang, kamu sama siapa?”
“Dan juga… Setelah Ayah pergi, rasanya aku belum siap untuk sendiri di dunia ini. Meskipun kamu tidur, tapi kamu masih disini.”
Bip.
Bunyi monitor berdetak pelan.
Aku tersenyum kecil, mengangkat kepalaku menatap wajahnya yang tenang.
“Eh, jangan kepedean dulu. Aku nggak tiba-tiba suka kamu, ya!”
“Aku cuma… ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian. Dan aku pun ga sendiri. Iya kan?”
Aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan dagu di punggung tanganku yang masih menggenggam jarinya.
“Kalau kamu sadar nanti, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Manggil kamu apa, misalnya. Kak Tama? Mas Tama? Atau… cuma ‘kamu’ aja?”
“Atau suami–?”
Tapi detik berikutnya, sesuatu berubah.
Bip.
Nada mesin pelan itu melambat—lalu naik sepersekian detik, cepat, tak beraturan.
Aku refleks menatap layar monitor, lalu ke wajahnya.
Kelopak matanya… bergerak sedikit. Hampir tak kelihatan.
“Tama?”
Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.Aku mulai dari hal kecil.Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”Tama tetap diam.Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.Lebam di tubuhnya sudah menghilang.“Kamu
Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri. Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisi
“Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”Aku tahu suara itu. Miranda.Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.“Jangan bilang kau menyentuhnya.”Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”“Aku cuma—”“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”Tangannya menarik tirai. “Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”“Sensor jantungnya melon
“Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,” Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami ja
Tanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.Tak banyak yang datang. Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.“Ayah, apakah kematian menakutkan?”Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”“Selamat beristirahat, Ayah.”Aku me
Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca. Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap. Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.Bahkan s







