Share

Bab 4

Author: Masatha
last update Last Updated: 2025-07-09 14:42:24

Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini.

Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya.

Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan.

“Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?”

Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.”

“Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.”

Zimam membenamkan punggung ke sofa, lalu menatap Lisin dengan sorot mata yang berat.

“Aku sedang marah. Sangat marah.”

Lisin menaikkan alis. “Keluarga atau perempuan?”

Zimam mengangguk pelan. “Namanya Arisa. Gadis dari keluarga Darwin.”

“Yang katanya gadis baik-baik itu?”

“Iya,” jawab Zimam, suaranya terdengar dingin.

“Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ditolak mentah-mentah oleh seorang perempuan. Bukan karena aku tidak menarik, bukan karena aku tidak mampu secara finansial. Tapi karena... aku tidak layak menjadi imam baginya.”

Lisin menatap Zimam dengan ekspresi heran.

“Kau benar-benar ingin menikahinya?”

Zimam tertawa, hambar. “Ini bukan soal ingin atau tidak. Aku butuh menikah dengan gadis seperti dia.”

Lisin mencondongkan tubuhnya. “Ada hubungannya dengan warisan dari kakekmu, bukan?”

Zimam mengangguk. “Keluarga dari pihak kakek sangat menjunjung tinggi nilai agama. Selama ini aku dianggap aib. Hidupku terlalu bebas, terlalu liar. Mereka tidak akan menyerahkan hakku kecuali aku berubah.”

“Dan ‘berubah’ artinya menikahi gadis yang taat agama?”

“Bukan hanya taat,” kata Zimam pelan, “tapi juga gadis dari keluarga yang punya kedekatan secara bisnis dengan keluarga Malik—yanb dibawah kendali kami agar kedepannya tidak serakah.”

Lisin menyandarkan diri ke sofa. “Dan kebetulan keluarga Darwin sedang punya utang pada keluarga Malik?”

“Benar. Arisa adalah kunci yang sangat cocok.” Zimam menatap gelasnya dengan mata kosong. “Sayangnya, dia menolak. Dengan angkuhnya. Padahal aku datang dengan cara yang sopan.”

Lisin mengangguk perlahan. “Apa kau akan menyerah?”

Zimam menoleh, tatapannya kini berubah dingin. “Tidak. Aku akan menikahinya. Mau atau tidak mau, dia akan menjadi istriku.”

“Kau akan memaksa?”

“Aku akan membuat keadaan seolah-olah dia tidak punya pilihan. Aku tidak akan merusak hidupnya. Tapi aku juga tidak akan membiarkan rencanaku gagal.”

Lisin menarik napas dalam. “Kau bermain api.”

Zimam tersenyum tipis. “Aku sudah hidup dalam kobaran api sejak lama. Ini hanya satu percikan kecil lagi.”

*

*

*

Hujan baru saja reda ketika Zimam menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan toko bunga kecil yang sudah mulai sepi pengunjung. Langit masih kelabu, dan aroma tanah basah bercampur harum bunga menyeruak begitu pintu mobil terbuka.

Tubuhnya sedikit oleng saat ia melangkah keluar. Matanya merah, bau alkohol menyelimuti napasnya.

Arisa yang sedang menyusun bunga mawar putih di etalase langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka kasar.

“Zimam?” gumamnya tak percaya, menatap pria itu yang kini berdiri di ambang pintu tokonya dengan langkah goyah.

Zimam menyeringai miring. “Kau tampak manis hari ini, Arisa.”

“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara Arisa tegas. Kedua tangannya mengepal, tubuhnya tegang.

“Aku ingin bicara.” Zimam melangkah lebih dekat, berdiri di antara jejeran pot dan bunga segar. “Soal pernikahan. Kau masih punya waktu untuk berubah pikiran.”

“Aku sudah menolaknya, dan itu tidak akan berubah,” jawab Arisa dingin.

Zimam tertawa, tapi tawa itu hambar, penuh luka dan kemarahan. “Jangan bermain-main denganku. Rumahmu... tempatmu berdiri sekarang... bisa berpindah tangan dalam sekejap. Utang ayahmu pada keluarga Malik—aku bisa melunaskannya, atau... menyitanya.”

Arisa tersenyum sinis. Ia menyeka tangannya dengan celemek, lalu menatap Zimam penuh tantangan. “Kalau memang itu yang kau inginkan, ambil saja. Aku sudah siap kehilangan rumah itu, tapi tidak dengan toko bunga ini.”

Zimam terdiam. Matanya menyipit, tak menyangka Arisa akan memberikan jawaban seperti itu.

“Aku tidak hidup karena rumah ini, Zimam,” lanjut Arisa tajam. “Aku bertahan karena tekadku. Kau pikir aku akan memohon padamu?”

“Kau akan menyesal,” gumam Zimam, namun suaranya tidak sekuat tadi. Ada sedikit keraguan di dalamnya.

Arisa maju selangkah. “Aku justru yang ingin bertanya padamu. Apa kau juga yang mengirim preman tadi pagi untuk mengancamku?”

Zimam menatapnya, bingung. “Preman?”

“Jangan pura-pura tidak tahu.” Arisa menatap tajam, matanya penuh kemarahan. “Tadi pagi, sekelompok pria datang ke sini. Mereka mengobrak-abrik setengah toko, mengancam akan membakarnya jika aku tidak pergi dari rumah ini. Apa itu perintahmu?”

“Aku tidak tahu apa-apa soal itu,” jawab Zimam, wajahnya berubah tegang.

“Bohong.”

“Aku tidak berbohong, Arisa. Aku memang datang ke sini, tapi hanya untuk bicara langsung denganmu. Aku tidak pernah menyuruh siapa pun untuk mengancammu.”

Arisa mencibir. “Sulit dipercaya. Kau mabuk, emosimu tidak stabil. Siapa yang tahu apa yang kau perintahkan dalam keadaan tidak sadar?”

Zimam melangkah lebih dekat, hampir menyentuhnya. “Dengar baik-baik. Jika aku ingin menekanmu, aku bisa melakukannya dengan cara yang lebih bersih. Tapi bukan dengan mengirim preman. Itu bukan gayaku.”

“Lalu siapa?” Arisa menatap tajam, sorot matanya menusuk. “Jangan bilang kau juga tidak tahu. Dunia ini kecil, Zimam. Tak mungkin seseorang berani menyerangku tanpa tahu siapa aku.”

Zimam memijit pelipisnya, kepalanya sedikit pening. “Aku tidak mengerti. Sungguh.”

Arisa melipat tangan di dada. “Entah kau pelakunya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi. Jangan pernah ancam aku, atau orang-orang yang kusayangi.”

Zimam menatap Arisa, dan untuk pertama kalinya malam itu, rasa mabuknya sedikit menguap. Ada rasa asing yang menyelinap—perasaan bersalah... atau mungkin bingung karena untuk pertama kalinya, dia tidak bisa mengendalikan keadaan.

"Kau yakin rela kehilangan rumah, yang dibeli oleh hasil jerih payah ibumu?" tanya Zimam menyeringai.

"Apa maksud kamu?" tanya Arisa tak mengerti, setahu dia itu adalah rumah ayahnya.

"Sebelum menikah dengan ibumu, ayahmu sudah memiliki hubungan dengan Maria. Tapi ayahmu bangkrut, rumah disita bank. Ayahmu mendekati ibumu, ibumu yang polos—dengan mudah terbujuk rayu. Ibu kamu sampai menjual rumah satu-satunya warisan orang tuanya, demi menebus rumah yang saat ini ayah kamu tinggali dengan istri barunya. Oh iya, ibu kamu loh yang berjuang keras, membantu usaha ayah kamu. Sayangnya, setelah orang tua kamu sukses Maria datang lagi dan menggeser hak kamu serta ibumu. Apakah kamu tidak curiga dengan kematian ibumu yang mendadak itu?"

Arisa langsung pucat, dia baru tahu akan hal ini itupun dari mulut Zimam. Karena yang dia tahu hanya toko bunga saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 5

    Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya.Namun malam ini, semuanya menjadi jelas."Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan.Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar."Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar."Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung jawab. Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada ibu Lita." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar.Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka untuk menunjukkan air

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 4

    Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini.Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya.Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan.“Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?”Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.”“Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.”Zimam membenamkan punggung ke sofa

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 3

    Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi.Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus.“Alhamdulillah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam.“Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.”Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.”Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku islami

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 2

    Tamparan itu mendarat telak di pipi Arisa.Arisa membeku. Tangannya otomatis menyentuh pipi yang terasa panas, bukan karena fisik semata, tapi karena hati yang tercabik.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayah kandungnya menamparnya."Kurang ajar! Kamu berani menolak langsung ke keluarga Malik?!" suara Darwin bergetar oleh amarah, tapi di balik itu ada kegamangan yang tak mampu dia kendalikan.Arisa mendongak perlahan. Matanya memburam oleh air mata yang menetes tanpa bisa ditahan. Tapi dia tidak menangis seperti anak kecil. Hanya air mata yang jatuh perlahan, disertai tatapan penuh luka dan kecewa."Apakah aku benar-benar anakmu? Demi membiayai anak tiri kau menyakiti putri kandung sendiri?"suaranya pelan, namun terdengar tegas.Dari sudut ruangan, Lita berdiri mematung. Ibu tirinya duduk di sofa, memandangi mereka dengan ekspresi datar. Tapi Arisa tahu, dari cara mulut wanita itu sedikit tertarik, ada rasa puas di baliknya.Darwin terdiam. Tamparannya baru terasa di tangannya sendir

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 1

    Langit mulai meredup ketika Arisa Umami pulang dari toko bunga kecil peninggalan almarhumah ibunya. Sejak ibunya meninggal, rumah ini berubah. Hangatnya keluarga perlahan lenyap, digantikan suara tawa istri baru Ayah, dan kemanjaan kakak tirinya, Lita, yang lebih sering membuatnya merasa seperti orang asing di rumah sendiri.“Ayah mau kamu menikah,” ucap Darwin tanpa menatap wajah anaknya.Arisa mengernyit. “Dengan siapa, Yah?”“Zimam Malik.”Detik itu juga, dada Arisa seperti diremuk dari dalam.“Yang... terkenal suka mabuk itu? Yang sering gonta-ganti perempuan dan keluar masuk klub malam?”“Jangan bicara begitu, Arisa. Sekarang dia sudah berubah.”Arisa menatap ayahnya, lekat. “Ayah percaya itu?”Darwin menghela napas, lalu akhirnya berkata, “Ayah punya utang besar ke keluarganya. Jika kamu tidak menikah dengan Zimam, rumah ini akan disita. Termasuk toko bunga milik ibumu.”Pot mawar putih dalam pelukan Arisa berguncang. Jari-jarinya gemetar.“Lita dan istri baru Ayah yang selalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status