Pagi itu, Arisa baru siap-siap ke toko bunga ketika ponselnya berdering. Nama Maria muncul di layar—nama yang membuat darahnya selalu berdesir penuh kebencian. Ia hampir saja menekan tombol merah, tetapi rasa penasaran menahannya. Dengan nada malas, Arisa mengangkat panggilan itu.
“Arisa, ayahmu sakit.” Suara Maria terdengar memelas, penuh kepalsuan yang sudah terlalu sering ia dengar. “Tolong pulanglah. Ayahmu ingin melihatmu.” Arisa mendengus pelan. Ia tahu betul ayahnya tidak pernah benar-benar ingin melihatnya, apalagi dalam keadaan “sakit” mendadak begini. Pasti ada sesuatu di balik semua ini. “Kalau sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Kenapa malah meneleponku?” sindir Arisa dingin. “Arisa...” Nada Maria bergetar, seolah-olah ia akan menangis. “Jangan begitu. Ini soal keluarga kita. Kamu tetap anak dari rumah ini. Tolonglah, datang sebentar saja.” Arisa menutup matanya, menahan rasa muak. Ia hampir saja memutus panggilan itu, tapi ingatannya kembali pada Zimam dan kesepakatan gila mereka semalam. Ada janji yang harus ia mainkan, peran yang harus ia jalani. Dan mungkin, inilah waktunya menguji bagaimana permainan itu akan dimulai. “Baiklah,” jawabnya akhirnya, suaranya datar. “Aku akan datang.” --- Ketika Arisa tiba di rumah besar itu, suasana langsung terasa aneh. Tidak ada tanda-tanda seseorang sakit. Tidak ada perawat, tidak ada obat-obatan. Hanya tamu-tamu dengan wajah serius yang sudah duduk di ruang tamu. Arisa tertegun. Di sana, duduk dengan anggun penuh wibawa, adalah Ratna—ibunda Zimam. Di sampingnya, ayah Zimam yang berpenampilan tenang namun menekan, dan tentu saja Zimam sendiri, yang bersandar santai seakan sedang menikmati permainan ini. Sementara Darwin, ayah Arisa, duduk di kursi utama dengan wajah cemas. Maria berdiri di sampingnya, jelas-jelas merasa gugup namun tetap berusaha menjaga citra. “Arisa, kamu datang juga.” Darwin bangkit, matanya merah, seperti orang yang kurang tidur. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu lebih mirip permohonan. Arisa menatapnya tanpa emosi. “Mana ayah yang sakit? Aku tidak melihat ada yang sakit di sini.” Maria buru-buru menyela. “Dia memang sakit, Arisa. Lihat wajahnya, pucat sekali.” Arisa menyilangkan tangan di dada, tatapannya dingin menembus Maria. “Atau mungkin kalian hanya sakit karena takut kehilangan rumah ini?” Maria terdiam, bibirnya bergetar. Ratna, yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya membuka suara. Nada suaranya tegas, penuh kuasa. “Arisa, langsung saja aku akan berbicara terus terang. Kami di sini ingin membicarakan pernikahanmu dengan putraku, Zimam.” Arisa tersenyum tipis, penuh sindiran. “Pernikahan? Kenapa tiba-tiba terdengar seperti ancaman?” “Karena memang begitu.” Ratna menatapnya tajam. “Jika kamu tidak mau menikah dengan Zimam, maka keluarga ini harus segera meninggalkan rumah. Rumah ini sudah menjadi bagian dari perjanjian lama yang terikat dengan bisnis. Kami bisa mencabutnya kapan saja.” Arisa merasakan dadanya sesak, bukan karena takut, melainkan karena amarah. Ia sudah menduga akan ada permainan kotor seperti ini, tapi mendengar ancaman langsung dari mulut Ratna membuat darahnya mendidih. Darwin berdiri terburu-buru, wajahnya penuh kecemasan. “Arisa, tolonglah. Aku mohon padamu. Ayah tahu selama ini ayah banyak salah, tapi kali ini... tolong dengarkan.” Arisa menatap ayahnya dengan getir. “Sekarang kau memohon? Setelah seumur hidupmu memilih berpaling dariku?” Darwin menunduk, suaranya gemetar. “Ayah tidak punya pilihan lain. Bisnis kita terancam bangkrut. Rumah ini... semua bisa hilang kalau kamu menolak. Tolonglah, Arisa. Demi keluarga ini.” “Demi keluarga ini?” Arisa hampir tertawa. “Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakan Lita di atas segalanya? Keluarga yang membuat ibuku mati dengan menyedihkan? Katakan padaku, ayah—apa arti keluarga bagimu?” Hening menyelimuti ruangan. Maria terlihat ingin membantah, tapi tatapan tajam Arisa membuatnya tak berkutik. Zimam akhirnya bersuara, nada suaranya tenang tapi menyulut api. “Sepertinya kita membuang-buang waktu. Jawab saja, Arisa. Mau atau tidak?” Arisa menoleh padanya, tatapan mereka beradu. Zimam jelas menikmati situasi ini—ia tahu Arisa terpojok, tapi ia juga tahu gadis itu tidak akan menyerah begitu saja. “Aku mau,” ucap Arisa tiba-tiba. Semua orang terkejut. Darwin langsung bernapas lega, hampir menjatuhkan air mata. Maria menutup mulutnya, tidak percaya dengan mudahnya Arisa setuju. Ratna dan suaminya saling bertukar pandang. Sementara Zimam hanya tersenyum tipis, seolah ia sudah tahu jawabannya sejak awal. “Tapi...” suara Arisa menajam, memotong kelegaan di ruangan itu. “Ada syarat.” Ratna menegakkan tubuhnya. “Syarat apa lagi?” “Aku mau tiga puluh persen saham perusahaan atas namaku. Bukan atas nama keluarga, bukan gabungan, tapi murni milikku.” Hening lagi. Semua mata membelalak. Maria sontak berdiri, wajahnya merah padam. “Tidak mungkin! Dia baru saja setuju menikah, dan sekarang meminta hal gila seperti itu? Arisa, kamu pikir siapa dirimu?!” Arisa menatap Maria dengan tatapan tajam penuh ejekan. “Aku anak sah dari Darwin. Darah dagingnya. Sementara kau? Kau hanya perempuan simpanan yang berhasil naik derajat karena ibuku mati.” “Arisa!” Darwin membentak, wajahnya tegang. “Jangan bicara begitu!” “Kenapa? Apakah aku salah? Apakah aku bohong?” Arisa melangkah maju, nadanya penuh keberanian. “Selama ini aku tidak pernah dihitung. Kini kalian ingin aku berkorban? Baiklah, aku akan berkorban. Tapi aku tidak akan jadi boneka yang kalian kendalikan. Aku ingin jaminan. Dan jaminanku adalah saham tiga puluh persen. Jika tidak, jangan harap aku akan menuruti kalian.” Maria hampir meledak, tapi Ratna menahan tangannya dengan satu gerakan. Wanita itu menatap Arisa lekat-lekat, seolah menimbang kecerdikan gadis muda ini. Ada kilatan kagum samar di mata Ratna, meski bibirnya tetap terkatup rapat. Darwin akhirnya bicara, suaranya lemah tapi jelas. “Baiklah. Ayah setuju.” Maria membelalak. “Darwin! Kau gila?!” Darwin menatap istrinya dengan penuh tekanan. “Tidak ada pilihan lain, Maria. Kalau Arisa tidak setuju, semuanya hancur. Lebih baik kita lepaskan sebagian saham daripada kehilangan semuanya.” Maria gemetar karena marah, tapi tidak bisa membantah. Arisa menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, kita punya kesepakatan.” Zimam, yang sejak tadi hanya menjadi penonton paling tenang, akhirnya berdiri. Ia menepuk tangan pelan, menimbulkan suara yang terdengar sinis. “Luar biasa, Arisa. Kau bukan hanya cantik, tapi juga tahu cara menawar. Aku semakin tidak sabar melihat bagaimana kau akan bermain di rumahku nanti.” Arisa menatapnya dingin.Esok pagi, Arisa sudah bangun lebih dulu dari Zimam. Rumah keluarga Malik masih sepi, hanya terdengar suara para asisten rumah tangga di dapur. Sebagai menantu baru, ia merasa tidak pantas bermalas-malasan.“Selamat pagi, Mbak Arisa,” sapa salah seorang ART.“Pagi. Boleh aku ikut bantu?” "Eh jangan! Ini tugas ART, Mbak Arisa sebaiknya bersantai saja.""Tidak apa-apa, aku terbiasa masak,"ucap Arisa, lalu segera mengambil pisau dan mulai mengiris bawang. Para ART sempat saling pandang, tapi membiarkannya. Tidak lama kemudian, sup bening sederhana siap disajikan.Saat sarapan, Zimam dan kedua orang tuanya berkumpul. "Ayo duduk, Sayang," goda Zimam.Arisa dengan canggung duduk di sisi suaminya. "Arisa, jadi istri harus baik-baik melayani suami dan patuh padanya," sinis Ratna."Iya, Ma," balas Arisa memilih zona aman."Sudah, Ma. Ayo makan!" sela Zimam.Begitu mereka mencicipi, mata mereka berbinar. Apalagi Ratna. “Hmm, masakan kali ini enak sekali, Siti!"Siti menunduk canggung. “It
Pernikahan berlangsung dengan megah. Walau keluarga Arisa tidak sekaya keluarga Zimam Malik, tetapi Arisa pribadi memiliki nama yang bagus di kota itu. Bukan karena dia putrinya Darwin.Selain kecantikannya di atas rata-rata, Arisa di kampus memiliki prestasi. Dari sekolah dasar hingga SMA selalu juara olimpiade. Arisa dikenal perempuan baik, tidak terjerumus pergaulan bebas. Kakek Aminudin sangat puas dengan pernikahan itu. Baginya, cucunya—Zimam Malik—akhirnya mendapatkan pasangan yang pantas. Sorot mata bangga itu terpancar setiap kali ia menatap pengantin baru yang duduk di pelaminan.Namun, di balik senyum tamu undangan yang memuji kecantikan Arisa, ada bisikan-bisikan lirih yang mulai berhembus. Sebagian tamu berbisik, “Arisa itu beruntung bisa menikah dengan Zimam Malik… keluarga konglomerat, kandidat pewaris utama perusahaan besar.” Sementara yang lain berbalik menimpali, “Justru Zimam lah yang beruntung, dapat istri Arisa. Lelaki mana yang tidak menginginkan istri secantik d
Pagi itu, Arisa baru siap-siap ke toko bunga ketika ponselnya berdering. Nama Maria muncul di layar—nama yang membuat darahnya selalu berdesir penuh kebencian. Ia hampir saja menekan tombol merah, tetapi rasa penasaran menahannya. Dengan nada malas, Arisa mengangkat panggilan itu.“Arisa, ayahmu sakit.” Suara Maria terdengar memelas, penuh kepalsuan yang sudah terlalu sering ia dengar. “Tolong pulanglah. Ayahmu ingin melihatmu.”Arisa mendengus pelan. Ia tahu betul ayahnya tidak pernah benar-benar ingin melihatnya, apalagi dalam keadaan “sakit” mendadak begini. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.“Kalau sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Kenapa malah meneleponku?” sindir Arisa dingin.“Arisa...” Nada Maria bergetar, seolah-olah ia akan menangis. “Jangan begitu. Ini soal keluarga kita. Kamu tetap anak dari rumah ini. Tolonglah, datang sebentar saja.”Arisa menutup matanya, menahan rasa muak. Ia hampir saja memutus panggilan itu, tapi ingatannya kembali pada Zimam dan kesepaka
Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya. Namun malam ini, semuanya menjadi jelas. "Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan. Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar. "Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung untuk dimanfaatkan Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada Maria." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar. Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka
Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini. Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya. Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan. “Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?” Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.” “Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.” Zimam membenamkan pungg
Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi. Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus. “Syukurlah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam. “Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.” Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.” Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku b