Share

Bab 5

Author: Masatha
last update Last Updated: 2025-07-09 14:45:15

Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.

Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya.

Namun malam ini, semuanya menjadi jelas.

"Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan.

Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar.

"Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar.

"Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung jawab. Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada ibu Lita." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar.

Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka untuk menunjukkan air mata.

"Lalu apa maksud kamu mengatakan semua itu padaku?"

Zimam tersenyum miring. "Tidak. Aku datang untuk menawarkan kesepakatan."

Ia mencondongkan tubuh, mata tajamnya menatap langsung ke mata Arisa. “Kakekku ingin aku menikah. Dia sudah tua, dan warisan keluargaku hanya akan diberikan jika aku berkeluarga dengan baik. Kamu tahu artinya, kan?”

Arisa mengerutkan kening. “Kenapa aku?”

“Karena kamu cocok. Kakekku menyukai perempuan yang terlihat lembut dan sopan. Dan kamu... kamu punya citra itu. Selain itu, kita punya kepentingan yang saling menguntungkan.”

“Apa maksudmu?”

Zimam meletakkan gelasnya, lalu bersandar ke depan. “Kamu ingin tahu siapa yang membunuh ibumu, kan? Aku bisa bantu menyelidikinya. Tapi hanya jika kamu setuju menikah denganku—dan berpura-pura jadi pasangan harmonis di depan keluarga besar, terutama kakek.”

Arisa menegang. “Kamu gila.”

“Mungkin. Tapi aku juga tahu kamu cukup nekat untuk menerima tawaranku.”

Hening sejenak. Suara detak jam di dinding terdengar begitu jelas.

“Apa kamu serius akan menyelidiki kematian ibuku?” tanyanya dengan suara gemetar.

Zimam mengangguk. “Aku punya koneksi. Dan aku tahu... ada banyak hal yang disembunyikan ayahmu. Kamu butuh orang yang berani menyentuh kotoran itu.”

Arisa menatap matanya. Tak ada kebohongan di sana. Hanya niat dingin yang terbungkus ambisi.

“Aku butuh jaminan.”

Zimam tertawa kecil. “Apa kamu mau aku menandatangani kontrak?”

“Aku serius,” tegas Arisa. “Kalau aku setuju, aku ingin beberapa syarat.”

Zimam menaikkan alis. “Apa saja?”

Arisa menarik napas panjang. “Pertama, kamu tidak boleh bermain wanita setelah menikah. Aku tidak akan jadi istri yang dicurangi.”

Zimam menyeringai. “Aku tidak berencana bermain, Arisa. Lagipula, kamu akan jadi pajangan yang menarik. Siapa yang butuh wanita lain?”

Arisa mengabaikan sindirannya dan melanjutkan, “Kedua, kamu tidak boleh memaksaku untuk... melakukan hubungan suami istri. Setidaknya, sampai aku siap.”

Tatapan Zimam berubah. Kali ini serius.

“Kamu pikir aku sebrutal itu?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku harus memastikan,” jawab Arisa tegas. “Aku akan tinggal di rumahmu, berpura-pura jadi istri yang baik di depan keluargamu. Tapi tubuhku... itu bukan bagian dari kesepakatan ini.”

Zimam mengangguk pelan. “Baik. Aku terima.”

“Tiga syarat,” sambung Arisa cepat. “Kalau kamu berhenti menyelidiki atau mengingkari janjimu, pernikahan ini selesai.”

“Dan kamu pikir aku takut dengan ancamanmu?”

“Bukan soal takut. Ini soal menghormati kesepakatan,” balas Arisa.

Zimam bangkit dari sofa dan berjalan pelan ke arah jendela. Tangannya menyelip di saku celana, punggungnya menghadap Arisa.

“Aku penasaran,” katanya, “apa yang membuatmu berubah pikiran begitu cepat?”

Arisa berdiri, memandang punggungnya.

“Karena ibuku. Aku tidak bisa membiarkan kematiannya hanya jadi catatan kecil di lembaran kepolisian. Jika benar ayah dan wanita itu terlibat, aku ingin mereka membayar.”

Zimam menoleh. “Kamu akan masuk ke lubang gelap, Arisa. Tidak akan ada jalan kembali.”

“Aku sudah di dalam sejak kecil,” gumamnya.

“Jadi kenapa tidak sekalian menyalakan api?”

Zimam tersenyum, lalu menghampiri. Ia berhenti tepat di depannya, menatap dalam-dalam wajah Arisa.

“Mulai besok, kamu akan jadi istriku. Setidaknya di depan orang lain. Kita akan bertingkah seperti pasangan bahagia.”

Arisa menatapnya balik. “Tapi kamu bukan suamiku. Aku tidak akan lupa itu.”

Zimam menyentuh dagunya, lembut namun menekan. “Lalu bagaimana jika suatu hari kamu benar-benar jatuh cinta padaku?”

Arisa mendorong tangannya, matanya tajam. “Itu tidak akan terjadi.”

“Siapa tahu?” bisiknya, lalu melangkah pergi meninggalkannya di toko bunga, dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Tunggu!"

"Apalagi?"

“Kesepakatan kita belum selesai.”

Zimam mendekat lagi, kali ini dengan ekspresi yang mulai menunjukkan rasa penasaran. “Kamu berubah pikiran?”

“Tidak. Aku tetap akan menikah denganmu. Tapi aku tidak ingin terlihat semudah itu patuh… terutama di depan ayahku.”

Zimam menyipitkan mata. “Menarik. Lanjutkan.”

“Aku ingin kamu... menekan ayahku terlebih dahulu. Buat dia merasa terpojok. Buat dia yang memohon padaku untuk menikah.”

Zimam tertawa kecil, heran dan terhibur. “Kamu mulai berpikir seperti aku.”

Arisa tak tersenyum. “Aku tidak berpikir sepertimu. Aku berpikir untuk membalasnya. Ayahku telah mengabaikanku sepanjang hidup. Kini, aku ingin melihat wajahnya saat dia memohon-mohon agar aku menyelamatkan nama baik keluarga dan juga bisnisnya.”

“Dan kamu pikir dia akan melakukannya?”

“Ayahku gila hormat dan harta.  Kalau kamu ancam—apalagi kalau menggunakan keselamatannya—dia akan panik. Dia akan datang padaku sendiri,” jelas Arisa dengan nada dingin.

Zimam mengangguk pelan, lalu mengusap dagunya yang dihiasi cambang tipis. “Baik. Tapi aku ingin tahu, apa keuntungannya untukmu selain harga diri?”

Arisa menatapnya tajam. “Aku ingin mengambil sesuatu dari rumah.”

“Apaan?”

“Uang. Ibuku dulu punya tabungan atas nama gabungan dengan ayah. Setelah ibuku meninggal, tabungan itu menghilang. Aku tahu pasti masih ada, hanya saja aku tak bisa menyentuhnya tanpa masuk ke rumah itu.”

Zimam mencibir. “Dan kamu pikir mereka akan membiarkanmu menyentuh barang-

barang peninggalan ibumu?”

"Tentu."

"Kamu terlalu banyak inginnya, dari tadi hanya kamu saja yang mengucapkan semua permintaan. Kini sekarang giliran aku, karena aku juga tidak mau rugi," sela Zimam.

"Apa?"

"Setelah menjadi istri, aku ingin kamu juga menghormatiku selayaknya istri pada suami. Kamu adalah wanita yang  paham agama, tentunya kamu juga harus tahu kewajiban seorang istri."

"Bukankah tadi dari awal aku sudah menyetujuinya? Hanya saja soal hubungan bawan itu aku perlu waktu, dan kamu harus memastikan dulu jika kamu sehat."

"Eh, apa maksud kamu dengan kata sehat? Aku sangat sehat."

"Tapi selama ini kamu selalu bermain dengan para wanita, bagaimana jika kamu memiliki penyakit menular? Sementara aku adalah perempuan bersih, bahkan aku pacaran saja belum pernah."

"Kau serius?" pekik Zimam kaget.

"Tadi aku sedang bertanya, apakah kamu sehat? Aku butuh bukti dari hasil pemeriksaan dokter."

"Aku sangat sehat, Ya. Aku memang suka bermain wanita, tapi hanya untuk menemani minum, main billiard, pesta, atau nongkrong sama teman-teman. Kalau tidur? Tidak! Aku ini masih perjaka!"

Arisa memicingkan matanya, seolah tidak percaya.

"Apa kau butuh bukti? Ayo buktikan sekarang!" sela Zimam sembari memegang sabuknya hendak dilepaskan.

"Eh, kamu mau apa?" pekik Arisa menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Zimam tertawa, mengerjai gadis polos ternyata sangat menyenangkan juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 5

    Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya.Namun malam ini, semuanya menjadi jelas."Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan.Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar."Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar."Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung jawab. Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada ibu Lita." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar.Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka untuk menunjukkan air

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 4

    Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini.Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya.Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan.“Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?”Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.”“Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.”Zimam membenamkan punggung ke sofa

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 3

    Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi.Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus.“Alhamdulillah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam.“Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.”Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.”Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku islami

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 2

    Tamparan itu mendarat telak di pipi Arisa.Arisa membeku. Tangannya otomatis menyentuh pipi yang terasa panas, bukan karena fisik semata, tapi karena hati yang tercabik.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayah kandungnya menamparnya."Kurang ajar! Kamu berani menolak langsung ke keluarga Malik?!" suara Darwin bergetar oleh amarah, tapi di balik itu ada kegamangan yang tak mampu dia kendalikan.Arisa mendongak perlahan. Matanya memburam oleh air mata yang menetes tanpa bisa ditahan. Tapi dia tidak menangis seperti anak kecil. Hanya air mata yang jatuh perlahan, disertai tatapan penuh luka dan kecewa."Apakah aku benar-benar anakmu? Demi membiayai anak tiri kau menyakiti putri kandung sendiri?"suaranya pelan, namun terdengar tegas.Dari sudut ruangan, Lita berdiri mematung. Ibu tirinya duduk di sofa, memandangi mereka dengan ekspresi datar. Tapi Arisa tahu, dari cara mulut wanita itu sedikit tertarik, ada rasa puas di baliknya.Darwin terdiam. Tamparannya baru terasa di tangannya sendir

  • Menikahi Pemain Wanita   Bab 1

    Langit mulai meredup ketika Arisa Umami pulang dari toko bunga kecil peninggalan almarhumah ibunya. Sejak ibunya meninggal, rumah ini berubah. Hangatnya keluarga perlahan lenyap, digantikan suara tawa istri baru Ayah, dan kemanjaan kakak tirinya, Lita, yang lebih sering membuatnya merasa seperti orang asing di rumah sendiri.“Ayah mau kamu menikah,” ucap Darwin tanpa menatap wajah anaknya.Arisa mengernyit. “Dengan siapa, Yah?”“Zimam Malik.”Detik itu juga, dada Arisa seperti diremuk dari dalam.“Yang... terkenal suka mabuk itu? Yang sering gonta-ganti perempuan dan keluar masuk klub malam?”“Jangan bicara begitu, Arisa. Sekarang dia sudah berubah.”Arisa menatap ayahnya, lekat. “Ayah percaya itu?”Darwin menghela napas, lalu akhirnya berkata, “Ayah punya utang besar ke keluarganya. Jika kamu tidak menikah dengan Zimam, rumah ini akan disita. Termasuk toko bunga milik ibumu.”Pot mawar putih dalam pelukan Arisa berguncang. Jari-jarinya gemetar.“Lita dan istri baru Ayah yang selalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status