Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi.
Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus. “Syukurlah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam. “Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.” Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.” Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku bisnis dan novel ringan, juga gantungan pakaian. “Kalau kamu perlu sesuatu, bilang aja ya,” Ani membuka pintu kamar kosong yang kini jadi milik Arisa. “Kamar ini belum banyak diisi, tapi kasur dan lemari sudah ada.” Arisa melangkah masuk. Dinding kamar berwarna putih lembut, dan jendela menghadap langsung ke arah taman kecil di luar. Dari kejauhan, ia bahkan bisa melihat papan toko bunga milik ibunya yang berdiri teduh di seberang jalan. Hatinya menghangat. Diapun mulai membereskan barang-barangnya. Sebenarnya, dari hasil toko bunga, Arisa bisa membeli barang-barang yang lebih bagus. Ia bisa memiliki gaun baru, tas baru, dan sepatu yang mahal. Namun ia memilih hemat. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu… hari seperti ini akan datang. Hari di mana ia harus berdiri sendiri, meninggalkan rumah ayahnya demi hidupnya yang damai. Dan kini hari itu benar-benar datang. Sore harinya, Arisa dan Ani duduk bersama di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Jendela terbuka, membiarkan angin sore masuk, membawa aroma bunga dari toko seberang. “Aku lihat toko bunga itu masih cukup ramai ya?” tanya Ani, menyenderkan kepala di sandaran sofa. “Iya,” jawab Arisa sambil tersenyum. “Karyawan Ibu yang dulu masih ada satu yang setia bantuin. Namanya Mbak Nur. Aku juga udah belajar banyak soal merangkai bunga dari beliau.” Ani menatap Arisa dengan kagum. “Kamu kuat banget, Ris. Di saat banyak orang memperjuangkan warisannya, kamu malah pergi dan memilih mandiri.” Arisa hanya tersenyum kecil. “Aku nggak kuat, Ani. Tapi Tuhan yang menguatkan. Kalau aku ikut emosi, mungkin aku sudah hilang arah sejak dulu.” Ani mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Arisa. “Mulai sekarang, ini rumah kamu juga. Jadi jangan merasa sendiri, aku bisa jadi keluarga kamu." Arisa menatap temannya dengan mata hangat. " Terima kasih." * * * Pagi itu langit mendung, tapi toko bunga milik Arisa tetap terlihat hangat. Aromanya semerbak, menenangkan siapa pun yang lewat. Di rak etalase, Arisa baru saja selesai merangkai bunga lili putih dan krisan kuning—pesanan pelanggan langganan untuk acara ulang tahun temannya. Hidupnya tidak mudah, tapi sejak meninggalkan rumah ayahnya dan menempati apartemen sederhana dekat toko ini, hatinya jauh lebih tenteram. Ia merasa lebih bebas mengatur waktunya dan lebih fokus melanjutkan usaha warisan ibundanya. Namun ketenangan itu pecah dalam sekejap. Brakk! Pintu toko tiba-tiba terbuka dengan keras, disusul tiga orang pria asing masuk tanpa permisi. Wajah mereka garang. Salah satunya mengenakan jaket kulit hitam, sementara dua lainnya tampak seperti preman jalanan, dengan tatapan sinis dan gerakan yang mengintimidasi. Arisa spontan berdiri dari kursi. “Ada yang bisa saya bantu?” Tak ada jawaban. Salah satu dari mereka justru berjalan mendekati rak bunga dan menyenggol vas hingga jatuh ke lantai. Airnya tumpah, bunga-bunga tercerai berai. “Tempat kecil begini untungnya berapa sih?” gumam si lelaki bertubuh besar, menatap sekeliling dengan jijik. Yang lain tertawa pelan. “Jangan salah, usaha kecil tapi kadang jadi alat pelarian orang-orang kaya buat cuci nama.” Arisa menelan ludah. “Maaf, ini tempat usaha. Kalau tidak ada keperluan, silakan keluar.” Salah satu pria menghentikan langkahnya, lalu menatap Arisa dari atas hingga bawah. “Arisa, ya?” tanyanya, nadanya yang jahil." Hem, cantik ..." Jantung Arisa mencelos. Ia tidak pernah mengenal mereka. Arisa terdiam. Gemetar mulai merayapi jemarinya. Ia tak tahu apakah ini ada hubungannya dengan Lita… atau Zimam. Tapi kenapa mereka tahu namanya? Tangan Arisa berusaha tetap tegak di balik meja, menahan tubuhnya yang mulai lemas. “Kalian ingin apa?” suaranya lebih tenang dari hatinya. Preman yang lain mendekat. “Anggap saja peringatan. Toko bisa tetap jalan asal kamu nggak sok suci!" Mereka tertawa kecil, lalu dengan sengaja menendang beberapa pot hingga pecah. Arisa masih berdiri di tempat. Napasnya sesak. Pandangannya kabur. Beberapa menit kemudian, pintu toko terbuka kembali—kali ini lebih pelan. Seorang lelaki muda masuk, mengenakan kemeja putih dan celana bahan. Wajahnya tenang, tatapannya tajam ke arah para preman. " Ini negara hukum, di sini ada CCTV. Perbuatan kalian sudah cukup untuk dimasukkan ke penjara!" Setelah itu, lelaki tersebut berganti menatap Arisa. Kali ini tatapannya berubah lembut. “Maaf, apakah masih bisa memesan rangkaian bunga untuk pasien di rumah sakit?” tanyanya sopan. Kedatangan lelaki itu, membuat para preman pergi. Arisa tersentak pelan, lalu bangkit dengan senyum gugup. “Bisa, Mas. Bunga untuk siapa, ya?” “Istri saya,” jawab lelaki itu lirih. “Dia dirawat sejak seminggu lalu. Saya ingin memberinya sesuatu yang lembut… yang bisa menenangkan hatinya.” Arisa mengangguk pelan. Ia segera merangkai bunga sesuai permintaan, tangannya masih sedikit gemetar tapi lebih tenang karena kehadiran tamu ini terasa berbeda—menenangkan, seperti rahmat di tengah badai. Saat lelaki itu hendak membayar, ia sempat menoleh ke arah rak bunga yang tadi porak-poranda. “Maaf… tadi ada yang rusak, ya?” Arisa mengangguk singkat. “Sedikit. Tapi tidak apa-apa. Bunga bisa tumbuh lagi. Yang penting… tidak ada yang patah terlalu dalam.” Lelaki itu menatap Arisa, lalu tersenyum bijak. “Semoga Tuhan senantiasa menjaga tempat ini. Hati yang ikhlas akan selalu mendapat penjagaan dari langit.” Arisa menunduk, matanya berkaca. Dan saat lelaki itu pergi, Arisa tahu—bahkan dalam kekacauan, Tuhan tetap mengirimkan pertolongan-Nya… lewat orang-orang yang tak disangka. Namun benaknya masih dipenuhi tanya. Siapa yang mengirim para preman itu? Lita? Atau… Zimam?Esok pagi, Arisa sudah bangun lebih dulu dari Zimam. Rumah keluarga Malik masih sepi, hanya terdengar suara para asisten rumah tangga di dapur. Sebagai menantu baru, ia merasa tidak pantas bermalas-malasan.“Selamat pagi, Mbak Arisa,” sapa salah seorang ART.“Pagi. Boleh aku ikut bantu?” "Eh jangan! Ini tugas ART, Mbak Arisa sebaiknya bersantai saja.""Tidak apa-apa, aku terbiasa masak,"ucap Arisa, lalu segera mengambil pisau dan mulai mengiris bawang. Para ART sempat saling pandang, tapi membiarkannya. Tidak lama kemudian, sup bening sederhana siap disajikan.Saat sarapan, Zimam dan kedua orang tuanya berkumpul. "Ayo duduk, Sayang," goda Zimam.Arisa dengan canggung duduk di sisi suaminya. "Arisa, jadi istri harus baik-baik melayani suami dan patuh padanya," sinis Ratna."Iya, Ma," balas Arisa memilih zona aman."Sudah, Ma. Ayo makan!" sela Zimam.Begitu mereka mencicipi, mata mereka berbinar. Apalagi Ratna. “Hmm, masakan kali ini enak sekali, Siti!"Siti menunduk canggung. “It
Pernikahan berlangsung dengan megah. Walau keluarga Arisa tidak sekaya keluarga Zimam Malik, tetapi Arisa pribadi memiliki nama yang bagus di kota itu. Bukan karena dia putrinya Darwin.Selain kecantikannya di atas rata-rata, Arisa di kampus memiliki prestasi. Dari sekolah dasar hingga SMA selalu juara olimpiade. Arisa dikenal perempuan baik, tidak terjerumus pergaulan bebas. Kakek Aminudin sangat puas dengan pernikahan itu. Baginya, cucunya—Zimam Malik—akhirnya mendapatkan pasangan yang pantas. Sorot mata bangga itu terpancar setiap kali ia menatap pengantin baru yang duduk di pelaminan.Namun, di balik senyum tamu undangan yang memuji kecantikan Arisa, ada bisikan-bisikan lirih yang mulai berhembus. Sebagian tamu berbisik, “Arisa itu beruntung bisa menikah dengan Zimam Malik… keluarga konglomerat, kandidat pewaris utama perusahaan besar.” Sementara yang lain berbalik menimpali, “Justru Zimam lah yang beruntung, dapat istri Arisa. Lelaki mana yang tidak menginginkan istri secantik d
Pagi itu, Arisa baru siap-siap ke toko bunga ketika ponselnya berdering. Nama Maria muncul di layar—nama yang membuat darahnya selalu berdesir penuh kebencian. Ia hampir saja menekan tombol merah, tetapi rasa penasaran menahannya. Dengan nada malas, Arisa mengangkat panggilan itu.“Arisa, ayahmu sakit.” Suara Maria terdengar memelas, penuh kepalsuan yang sudah terlalu sering ia dengar. “Tolong pulanglah. Ayahmu ingin melihatmu.”Arisa mendengus pelan. Ia tahu betul ayahnya tidak pernah benar-benar ingin melihatnya, apalagi dalam keadaan “sakit” mendadak begini. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.“Kalau sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Kenapa malah meneleponku?” sindir Arisa dingin.“Arisa...” Nada Maria bergetar, seolah-olah ia akan menangis. “Jangan begitu. Ini soal keluarga kita. Kamu tetap anak dari rumah ini. Tolonglah, datang sebentar saja.”Arisa menutup matanya, menahan rasa muak. Ia hampir saja memutus panggilan itu, tapi ingatannya kembali pada Zimam dan kesepaka
Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya. Namun malam ini, semuanya menjadi jelas. "Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan. Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar. "Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung untuk dimanfaatkan Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada Maria." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar. Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka
Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini. Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya. Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan. “Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?” Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.” “Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.” Zimam membenamkan pungg
Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi. Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus. “Syukurlah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam. “Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.” Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.” Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku b