Esok pagi, Arisa sudah bangun lebih dulu dari Zimam. Rumah keluarga Malik masih sepi, hanya terdengar suara para asisten rumah tangga di dapur. Sebagai menantu baru, ia merasa tidak pantas bermalas-malasan.“Selamat pagi, Mbak Arisa,” sapa salah seorang ART.“Pagi. Boleh aku ikut bantu?” "Eh jangan! Ini tugas ART, Mbak Arisa sebaiknya bersantai saja.""Tidak apa-apa, aku terbiasa masak,"ucap Arisa, lalu segera mengambil pisau dan mulai mengiris bawang. Para ART sempat saling pandang, tapi membiarkannya. Tidak lama kemudian, sup bening sederhana siap disajikan.Saat sarapan, Zimam dan kedua orang tuanya berkumpul. "Ayo duduk, Sayang," goda Zimam.Arisa dengan canggung duduk di sisi suaminya. "Arisa, jadi istri harus baik-baik melayani suami dan patuh padanya," sinis Ratna."Iya, Ma," balas Arisa memilih zona aman."Sudah, Ma. Ayo makan!" sela Zimam.Begitu mereka mencicipi, mata mereka berbinar. Apalagi Ratna. “Hmm, masakan kali ini enak sekali, Siti!"Siti menunduk canggung. “It
Pernikahan berlangsung dengan megah. Walau keluarga Arisa tidak sekaya keluarga Zimam Malik, tetapi Arisa pribadi memiliki nama yang bagus di kota itu. Bukan karena dia putrinya Darwin.Selain kecantikannya di atas rata-rata, Arisa di kampus memiliki prestasi. Dari sekolah dasar hingga SMA selalu juara olimpiade. Arisa dikenal perempuan baik, tidak terjerumus pergaulan bebas. Kakek Aminudin sangat puas dengan pernikahan itu. Baginya, cucunya—Zimam Malik—akhirnya mendapatkan pasangan yang pantas. Sorot mata bangga itu terpancar setiap kali ia menatap pengantin baru yang duduk di pelaminan.Namun, di balik senyum tamu undangan yang memuji kecantikan Arisa, ada bisikan-bisikan lirih yang mulai berhembus. Sebagian tamu berbisik, “Arisa itu beruntung bisa menikah dengan Zimam Malik… keluarga konglomerat, kandidat pewaris utama perusahaan besar.” Sementara yang lain berbalik menimpali, “Justru Zimam lah yang beruntung, dapat istri Arisa. Lelaki mana yang tidak menginginkan istri secantik d
Pagi itu, Arisa baru siap-siap ke toko bunga ketika ponselnya berdering. Nama Maria muncul di layar—nama yang membuat darahnya selalu berdesir penuh kebencian. Ia hampir saja menekan tombol merah, tetapi rasa penasaran menahannya. Dengan nada malas, Arisa mengangkat panggilan itu.“Arisa, ayahmu sakit.” Suara Maria terdengar memelas, penuh kepalsuan yang sudah terlalu sering ia dengar. “Tolong pulanglah. Ayahmu ingin melihatmu.”Arisa mendengus pelan. Ia tahu betul ayahnya tidak pernah benar-benar ingin melihatnya, apalagi dalam keadaan “sakit” mendadak begini. Pasti ada sesuatu di balik semua ini.“Kalau sakit, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Kenapa malah meneleponku?” sindir Arisa dingin.“Arisa...” Nada Maria bergetar, seolah-olah ia akan menangis. “Jangan begitu. Ini soal keluarga kita. Kamu tetap anak dari rumah ini. Tolonglah, datang sebentar saja.”Arisa menutup matanya, menahan rasa muak. Ia hampir saja memutus panggilan itu, tapi ingatannya kembali pada Zimam dan kesepaka
Dulu, Arisa selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya lebih mencintai anak tiri dibandingkan anak kandungnya sendiri. Pertanyaan itu menghantuinya sejak kecil, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Setiap perhatian, setiap pelukan yang harusnya menjadi miliknya, justru jatuh ke tangan Lita—anak dari wanita lain yang tiba-tiba menjadi istrinya. Namun malam ini, semuanya menjadi jelas. "Aku tahu kamu membencinya, Arisa. Tapi kau harus tahu, Lita bukan anak tiri. Dia anak kandung ayahmu... dari wanita simpanannya yang kini menjadi ibu tirimu itu," kata Zimam pelan, namun tajam seperti belati yang menyayat perasaan. Arisa mematung. Nafasnya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar. "Apa?" gumamnya, hampir tak terdengar. "Ayahmu menikahi ibumu karena tanggung untuk dimanfaatkan Tapi cintanya... dia berikan pada wanita lain. Pada Maria." Zimam menyandarkan punggung ke sofa, seolah ucapan barusan bukan hal besar. Arisa menggigit bibir. Perih. Tapi ia terlalu terbiasa dengan luka
Lampu-lampu klub malam menari liar, menggantung di langit-langit dengan kilauan yang menyilaukan mata. Musik berdentum keras, menghentak setiap sudut ruangan. Namun, semua hiruk-pikuk itu tak sanggup menenangkan amarah di dada Zimam malam ini. Ia duduk di sofa eksklusif yang biasanya dipenuhi wanita-wanita cantik, tapi malam ini berbeda. Tak ada satu pun perempuan yang diizinkan mendekat. Hanya satu orang yang dibiarkan menemaninya—Lisin, sahabat lama yang paling mengenalnya. Zimam meneguk minuman keras dari gelas kristal di tangannya. Wajahnya tampak tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap kosong ke arah kerumunan. “Kau kenapa?” tanya Lisin, memecah keheningan di antara mereka. “Malam ini aneh sekali?” Zimam tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan dan tertawa pahit. “Aku tidak sedang ingin diganggu.” “Bahkan oleh wanita-wanita cantik itu?” Lisin menyipitkan mata, memperhatikan tatapan Zimam yang kosong. “Ini tidak seperti dirimu.” Zimam membenamkan pungg
Langkah kaki Arisa berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan nomor kecil di sudut atas. Tangannya masih menggenggam gagang koper besar berwarna biru tua yang telah menemaninya sejak keluar dari rumah ayahnya pagi tadi. Ani, teman kuliah Arisa di jurusan Manajemen, sudah berdiri menunggu di depan pintu. Wajahnya cerah seperti biasa, senyumnya tulus. “Syukurlah, kamu sampai juga,” ucap Ani hangat, lalu segera membantu menarik koper Arisa ke dalam. “Terima kasih, Ani,” Arisa membalas dengan senyum lemah. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu harus ke mana hari ini.” Ani terkekeh pelan. “Justru aku yang senang kamu mau tinggal di sini. Kamu tahu sendiri, mantan teman sekamarku mau nikah bulan depan. Bayar apartemen sendirian berat banget. Kalau berdua, jadi lebih ringan.” Apartemen itu sederhana tapi bersih dan rapi. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu mungil dengan satu sofa panjang, dapur kecil, serta kamar mandi. Di sudut ruang, ada rak kayu berisi buku-buku b