Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 10:Reaksi Publik

Share

Bab 10:Reaksi Publik

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-10-20 21:27:35

Clara menatap layar ponselnya yang gelap sudah sepuluh menit sejak ia menyalakan notifikasi kembali, tapi masih belum berani membuka aplikasi media sosial. Ponsel tergeletak di meja rias seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak.

Dari konferensi pers kemarin sampai sekarang hampir dua puluh jam ia berhasil menghindar. Tidak buka I*******m, tidak baca komentar, tidak cek mention di T*****r. Tapi penghindaran tidak bisa berlangsung selamanya.

Dengan napas panjang, Clara meraih ponsel dengan jari gemetar sedikit saat membuka I*******m.

Foto mereka di tangga yang diposting akun resmi Alexsudah meledak di timeline. Likes: 2,7 juta. Comments: 52 ribu.

Clara scroll perlahan jantung berdegup lebih cepat dengan setiap komentar yang dibaca.

"Couple goals banget! Clara cantik!"

"Alex Anggara akhirnya ketemu yang bisa cairkan hatinya 😍"

"Mereka cocok! Semoga langgeng sampai tua!"

Komentar positif membuat Clara sedikit lega setidaknya tidak semua orang membenci atau mencurigai.

Tapi kemudian ia menemukan yang lain:

"Siapa sih Clara ini? Tiba-tiba muncul aja"

"Gold digger detected. Arta Group lagi bangkrut, tiba-tiba dapet Alex 🙄"

"Alex pasti dipaksa kakeknya. Kasian"

"Cewek biasa aja kok bisa dapet pewaris tajir. Pasti ada maunya"

Setiap kata menusuk tidak seperti pisau tajam yang cepat, lebih seperti jarum yang pelan-pelan masuk ke kulit, meninggalkan luka kecil yang banyak.

Clara letakkan ponsel tangan ke wajah, tarik napas dalam. Jangan biarkan mereka masuk ke kepalamu. Ini hanya orang asing yang tidak mengenal kamu.

Tapi kata-kata tetap bergema. *Gold digger. Oportunis. Tidak level.

Ketukan di pintu membuat Clara tersentak.

"Ya?"

Pintu terbuka Alex berdiri di sana dengan kemeja putih yang masih rapi meskipun sudah sore, wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Mata menatap Clara dengan tatapan yang... menilai? Mengamati?

"Kau sudah lihat," katanya bukan pertanyaan, pernyataan datar.

Clara tidak jawab tidak perlu, karena wajahnya pasti sudah memberitahu segalanya.

Alex masuk tidak jauh, hanya beberapa langkah dari pintu. Tetap menjaga jarak, seperti biasa. Seperti ada garis invisible yang tidak boleh dilewati.

"Komentar negatif selalu ada," katanya—nada seperti menyampaikan fakta bisnis, bukan menghibur. "Dalam situasi apapun, akan selalu ada orang yang mencari celah untuk kritik."

"Aku tahu." Clara mencoba terdengar tidak terpengaruh—tapi suaranya keluar lebih kecil dari yang ia inginkan.

"Tapi kau tetap terpengaruh."

Bukan pertanyaan lagi. Observasi.

Clara menatapnya—frustasi mulai muncul. "Kau tidak pernah terpengaruh? Tidak pernah peduli apa yang orang bilang tentangmu?"

Alex diam sebentar—ekspresi tidak berubah, tapi ada sesuatu yang shift di matanya. Sangat subtle, Clara hampir melewatkannya.

"Aku peduli," katanya akhirnya pelan, controlled. "Tapi aku sudah belajar bahwa membiarkan opini orang lain mengontrol emosiku adalah... tidak produktif."

Jawaban yang sangat Alex logis, dingin, efisien.

"Jadi kau hanya... matikan perasaan?"

"Aku tidak matikan. Aku kelola." Alex bersandar sedikit ke dinding postur tetap tegak, tidak ada yang rileks dari bahasa tubuhnya. "Ada perbedaan."

Clara ingin protes ingin bilang bahwa tidak semua orang bisa sedemikian terkontrol, tidak semua orang bisa pisahkan emosi dan logika dengan sempurna seperti dia. Tapi sebelum kata-kata keluar, Alex bicara lagi:

"Jangan buka komentar lagi hari ini. Atau besok. Beri dirimu jarak dari... noise itu." Ia menatap ponsel di meja Clara. "Biarkan PR team yang handle. Itu tugas mereka."

"Tapi"

"Clara." Nama dipanggil dengan nada yang sedikit lebih keras bukan marah, tapi firm. "Kau tidak akan menang melawan ribuan orang anonim di internet. Kau hanya akan habiskan energi untuk sesuatu yang tidak bisa kau kontrol. Itu sia-sia."

Kata-kata keras tapi... tidak salah. Clara benci mengakuinya, tapi Alex benar.

"Baiklah," katanya—menyerah, karena tidak ada gunanya berdebat.

Alex mengangguk—sekali, cepat. "Bagus. Sekarang ganti baju. Kita ada dinner dengan dua rekan bisnis kakek jam tujuh. Informal tapi tetap penting."

"Tunggu—hari ini? Sekarang?" Clara tidak siap untuk acara sosial lagi setelah kelelahan emosional dari membaca komentar.

"Ya. Aku sudah bilang ke Sari untuk siapkan pakaian di kamarmu pukul lima. Seharusnya sudah ada di lemari." Alex sudah berbalik—akan keluar. "Kita berangkat pukul setengah tujuh. Jangan terlambat."

"Alex—aku tidak yakin aku bisa—"

"Kau bisa." Dipotong lagi—tegas, final. "Dan kau akan. Ini bagian dari kesepakatan kita."

Pintu tertutup sebelum Clara bisa protes lebih lanjut.

Ia duduk di sana—menatap pintu tertutup dengan campuran frustasi dan... apa? Kekecewaan? Karena berharap Alex akan sedikit lebih... pengertian? Lebih empatik?

Tapi dia pewaris dingin, Clara ingatkan diri sendiri. Itu yang kau tahu sejak awal. Jangan expect warmth dari orang yang dibangun untuk tidak memberikannya.

Dinner di restoran mewah dengan dua pria paruh baya yang bicara tentang investasi dan pasar saham selama dua jam terasa seperti penyiksaan yang halus. Clara duduk di samping Alex—tersenyum pada waktu yang tepat, mengangguk ketika diajak bicara, menjawab pertanyaan dengan sopan.

Tapi sepanjang malam, Alex hampir tidak menatapnya. Tidak menyentuh tangannya seperti yang ia lakukan di konferensi pers. Tidak ada gesture affection—bahkan yang palsu.

Di depan orang lain, Alex bicara tentang Clara "tunangan saya sangat pandai dalam manajemen," "Clara punya pandangan menarik tentang restrukturisasi"tapi tidak dengan Clara. Seperti ia adalah exhibit, bukan partner.

Ketika salah satu rekan bisnis Pak Tono bertanya langsung pada Clara tentang rencana pernikahan, Alex yang menjawab.

"Kami masih finalisasi detail. Kemungkinan pertengahan tahun depan."

"Clara, kau pasti excited ya?" Pak Tono tersenyum ramah. "Menikah dengan pewaris Anggara, impian banyak wanita."

Clara paksa senyum—ignore komentar yang terasa seperti back-handed compliment. "Kami berdua excited untuk memulai chapter baru."

Jawaban diplomatis yang sudah ia latih.

"Dan bagaimana pendapat keluargamu, Clara?" tanya Pak Budi—rekan yang satunya. "Pasti bangga punya menantu dari keluarga Anggara."

Pertanyaan yang innocent tapi menyentuh luka.

"Keluarga saya... mendukung keputusan saya," kata Clara—setengah kebenaran yang licin.

Alex tidak menambahkan apapun—hanya menyesap wine-nya, wajah tanpa ekspresi. Tidak membantu, tidak interrupt. Membiarkan Clara handle sendiri.

Dinner akhirnya selesai setelah apa yang terasa seperti eternitas. Di mobil pulang, keheningan terasa lebih berat dari biasanya.

Clara menatap keluar jendela—lampu kota yang blur, lelah di tulang yang terasa sampai ke jiwa.

"Kau diam sekali," kata Alex—tiba-tiba, memecah keheningan.

"Aku lelah."

"Dari?"

Clara menoleh—menatap profil Alex yang terlihat tenang, terkontrol, seperti biasa. Tidak ada tanda lelah, tidak ada tanda terpengaruh apapun dari malam yang panjang.

"Dari berpura-pura," jawabnya jujur—terlalu lelah untuk filter.

Alex tidak respond segera—rahang mengencang sedikit, satu-satunya tanda bahwa kata-kata Clara... apa? Mengganggu? Menyinggung?

"Kita semua berpura-pura," katanya akhirnya—datar. "Dalam bisnis, dalam keluarga, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang benar-benar authentic seratus persen."

"Tapi tidak setiap saat. Tidak di setiap interaksi." Clara merasakan frustrasi naik—tidak bisa ditahan lagi. "Kau tidak pernah lelah... menjaga jarak seperti ini? Menjaga kontrol setiap saat?"

"Tidak." Jawaban cepat—terlalu cepat. "Kontrol adalah yang menjaga segalanya tidak runtuh."

"Atau kontrol adalah yang membuat kau tidak pernah benar-benar... terhubung dengan siapapun."

Kata-kata itu keluar lebih tajam dari yang Clara maksud tapi sudah terlambat untuk ditarik kembali.

Alex tidak respond hanya menatap lurus ke depan, rahang semakin keras.

Mobil berhenti di basement Skyline Residences. Alex keluar pertama tidak membukakan pintu untuk Clara seperti biasanya, langsung berjalan ke lift.

Clara ikuti dengan jarak beberapa meter—merasa seperti anak kecil yang dimarahi meskipun Alex bahkan tidak bersuara.

Di dalam lift yang naik, keheningan menjadi mencekik.

"Aku tidak bermaksud—" Clara mulai, tapi Alex mengangkat tangan—gesture untuk stop.

"Kau lelah. Aku lelah. Kita tidak perlu bicara tentang ini sekarang."

Nada suara yang controlled, tapi Clara bisa merasakan sangat subtle ada ketegangan di baliknya.

Lift terbuka ke penthouse. Alex langsung berjalan ke tangga—akan naik ke lantai tiga tanpa kata selamat malam, tanpa apapun.

"Alex." Clara memanggilnya tidak tahu kenapa, hanya merasa percakapan tidak boleh berakhir seperti ini.

Ia berhenti—tidak menoleh, hanya berhenti.

"Aku..." Clara tidak tahu apa yang mau dikatakan. Minta maaf? Untuk apa? Untuk jujur tentang perasaan frustrasinya?

"Selamat malam, Clara." Suara Alex datar kemudian ia naik, menghilang ke lantai atas.

Clara berdiri sendirian di ruang tamu yang terlalu besar merasakan sesuatu yang aneh di dada. Bukan sedih. Bukan marah. Lebih seperti... kecewa.

Kecewa karena berharap ada reaksi apapun dari Alex yang menunjukkan bahwa kata katanya tadi ada impact. Tapi seperti biasa, Alex tetap terkontrol. Tetap dingin.

Pewaris dingin, Clara ingatkan diri sendiri lagi. Itu judul yang tepat untuk dia. Dan kau harus berhenti berharap ada yang lebih di balik es itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 125: Wajah yang Sama dan Rahasia Abu

    Pesan dari kepala keamanan itu menghantam Alex dan Clara seperti kejutan listrik (Bab 124). Ny. Marissa di Yayasan. Bersama seseorang yang sangat mirip Alex. "Siapa lagi?" desis Alex, amarahnya kembali memuncak. Dia sudah mengira dia menang total. Clara segera meraih lengan Alex. "Kita tidak boleh menembus. Itu panti asuhan. Anak-anak ada di sana. Kita pergi sekarang. Kita hadapi dia di tempat yang paling dia benci: tempat kau membangun moral." Mereka bergerak cepat. Alex, Clara, dan tim keamanan kecil mereka menuju Yayasan Anggara-Clara (YAC). Yayasan itu sunyi. Mereka menemukan Ny. Marissa berdiri di tengah halaman, tepat di samping patung Jangkar yang dibuat anak-anak. Di sampingnya berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan pakaian sederhana. Wajahnya memang memiliki garis rahang yang sama tajamnya dengan Alex, tetapi matanya lebih tua, lebih lelah. Dia bukan Elang. Dia bukan Alex. Dia adalah... "Ayah," bisik Alex, suaranya benar-benar hancur. Pria di samping Ny. Marissa a

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 124: Jejak Abu

    Kepanikan menyebar di penthouse Alex di Berlin . Berita kaburnya Ny. Marissa sudah sampai ke media, dan ancaman pembongkaran Warisan membuat Alex dan Clara tegang. "Dia kabur?" desis Alex, matanya memancarkan kemarahan dingin. "Dia tidak punya apa-apa lagi. Pengakuan Elang sudah direkam. Dokumen Warisan sudah ditandatangani Clara. Apa lagi yang dia miliki?" Ben, yang masih pucat setelah mengurus pelarian di Kroasia, menggeleng. "Dia mengancam akan membakar semuanya, Tuan. Dia bilang dia akan membongkar rahasia abu Warisan." Clara langsung teringat kata-kata Ben. "Abu? Alex, waktu kita di gudang, dia menyebut Warisan Anggara yang busuk. Dia tidak hanya mengancam dokumen. Dia mengancam bukti fisik yang disembunyikan Ayahmu." Alex berjalan mondar-mandir. Wajahnya keras. "Ayahku menyimpan rahasia kotor tentang bagaimana dia membangun Warisan. Jika itu terungkap, bukan hanya reputasi yang hancur, tapi semua aset Warisan yang sah bisa dibatalkan." Alex berhenti, menatap Clara. "Kau pu

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 123: Hukuman yang Tertunda dan Pembongkaran Warisan

    Di kabin jet pribadi Alex yang mewah, udara terasa tebal oleh pengakuan gila yang baru saja mereka dengar di Amsterdam .Clara duduk di seberang Alex. Elang, saudara kembar Alex, tertidur pulas karena kelelahan, bersandar di bahu Ben.Clara menatap Alex, mengabaikan kemewahan jet itu. Dia memproses kata-kata Elang: Alex sengaja ingin ditembak."Kau gila," bisik Clara, suaranya tercekat. "Kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk membuktikan aku mencintaimu?"Alex bersandar, matanya dingin. Dia tidak menyangkal."Aku perlu tahu," ujar Alex, lugas. "Kau melanggar semua aturanku, bekerja dengan Vega, menembakiku. Aku butuh kepastian. Aku butuh tahu apakah kau akan melindungiku, bahkan jika itu berarti kau harus melanggar hukum. Rompi anti peluru itu adalah taruhan terakhirku.""Itu bukan cinta," balas Clara, suaranya sedikit meninggi. "Itu kontrol yang keji. Itu keposesifan yang sakit.""Itulah caraku mencintai, Nyonya Anggara," potong Alex, tidak ada penyesalan. "Kau tahu itu. Sekarang, pe

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 122: Pengakuan dan Kekalahan

    Jeritan Elang mengguncang koridor laboratorium yang gelap. Pengakuan yang dibaca Elang dari pikiran Ny. Marissa: Pembunuhan Ayah Alex. Ny. Marissa terdiam, wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Senjatanya jatuh ke lantai logam, menimbulkan suara denting yang nyaring. Pengawalnya terkejut, tidak mengerti apa yang terjadi. Alex, yang baru saja bangkit dari lantai setelah melindungi Clara, menatap ibunya. Ekspresinya bukan lagi amarah posesif, melainkan keterhancuran dan kepastian yang dingin. "Kau membunuhnya," desis Alex, suaranya nyaris tak terdengar, tetapi mengandung kekuatan yang mematikan. "Tidak! Elang bohong! Anak itu gila!" teriak Ny. Marissa, mencoba menyangkal sambil menutupi telinganya. Elang menjerit lagi, memegang kepalanya sendiri. "Dia berbohong! Dia takut! Dia melihat racun di gelas Ayah... dia senang... dia ingin Warisan Anggara sendiri!" Clara segera berlari ke sisi Elang, meraih Elang dan menariknya mundur dari jangkauan Ny. Marissa. "Tar

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 121: Perangkap Elang

    Keheningan yang mencekam meliputi laboratorium di Amsterdam. Alex masih menodongkan pistol ke kaki Elang, Saudara Kembar yang baru saja dia temukan. Elang, meskipun ketakutan, terlihat lebih syok karena Alex bisa merasakan apa yang dibacanya. Clara tidak gentar. Dia tahu, Alex tidak akan menembak adiknya, karena Elang adalah satu-satunya senjata mereka melawan Ny. Marissa. "Anda tidak akan menembaknya," kata Clara, suaranya mantap. "Anda membutuhkannya hidup dan utuh. Saya tahu itu." Alex menyeringai, senyum dingin dan posesif. "Kau benar. Tapi aku akan menembak kakinya jika kau mencoba kabur atau bernegosiasi tanpa seizinku. Sekarang, kita bekerja sebagai tim. The Anchor and The Dark Queen. Dan aku yang memegang kendali." Alex menurunkan pistolnya sedikit, tetapi matanya tidak lepas dari Clara. "Elang, dengarkan aku," ujar Alex, beralih ke adiknya. "Aku Alex. Aku saudaramu. Aku di sini untuk melindungimu dari Ibu kita. Kau tidak perlu takut padaku. Tapi jika kau ingin tet

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 120: Gerbang Amsterdam

    Jet tempur Alex mendarat mulus di hanggar rahasia dekat Amsterdam. Udara Belanda terasa sejuk dan lembap. Clara dan Alex melangkah keluar, dikelilingi oleh tim keamanan Alex yang sigap. Mereka berdua sama-sama berbahaya, tetapi kendali kini sepenuhnya di tangan Alex. Clara mengenakan setelan gelap baru yang disediakan oleh Alex. Dia terlihat elegan, tetapi mata Alex terus mengawasinya, membaca setiap gerak-gerik dan niat pemberontakan. "Kita akan menyusup melalui terowongan bawah tanah," ujar Alex, nadanya datar. "Laboratorium tempat Elang berada adalah fasilitas lama, dan aku punya cetak biru rahasianya. Kau akan tetap berada di sisiku. Setiap langkah, setiap detik." "Mengapa tidak memberitahu polisi tentang rencana Ny. Marissa?" tanya Clara, suaranya pelan. Alex menatap Clara dengan tatapan membekukan. "Hukum tidak bisa menangkap Ny. Marissa. Dia terlalu licin. Kita butuh pengakuan darinya, dan hanya Elang yang bisa memaksanya bicara. Aku akan mendapatkan pengakuan itu, lalu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status