Sore hari berikutnya, Clara duduk di kafe kecil dekat kantornya—tempat dengan WiFi gratis dan sudut yang cukup sepi untuk membaca dokumen sensitif tanpa mata penasaran mengintip.
Ponselnya bergetar. Email dari Julia dengan subjek: "Info yng kau minta."
Clara membukanya dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Attachment berupa file P*F terenkripsi—Julia selalu teliti soal keamanan data.
Password: tanggal lahir ayah Clara. Hanya mereka berdua yang tahu.
File terbuka—halaman demi halaman informasi yang membuat Clara harus membaca perlahan, mencerna setiap detail.
PROFIL ALEX ANGGARA
Nama lengkap: Alexander Anggara
Usia: 28 tahun
Posisi: Direktur Operasional A&A Group
Pendidikan: MBA dari Stanford University, S1 Ekonomi dari UI
*Status: Lajang*
Lalu bagian yang membuat Clara berhenti bernapas:
Catatan Penting: Menurut sumber internal (mantan staf senior A&A yang pensiun tahun lalu), hubungan Alex dengan kakeknya sangat tegang sejak Alex menolak perjodohan dengan putri Menteri Keuangan dua tahun lalu. Kakek Adam Anggara sangat khawatir Alex tidak akan menikah dan warisan perusahaan akan jatuh ke tangan keluarga cabang (Paman Hendri dan Bibi Susan) yang dinilai tidak kompeten.
Clara menggarisbawahi kalimat itu dengan jari di layar ponsel.
Penolakan perjodohan dua tahun lalu. Tekanan kakek yang semakin kuat. Ancaman warisan.
Ini bukan sekadar rumor. Ini konflik nyata.
Ia scroll ke bawah—bagian jadwal.
Rutinitas Harian:
- Tiba di kantor pukul 06:30 (selalu lebih awal dari staf lain)
- Rapat pagi dengan tim pukul 08:00
- Makan siang di kantor (jarang keluar, makanan dipesan dari katering)
- Pulang pukul 21:00-22:00
- Weekend: Kadang terlihat di gym eksklusif The Fitness Club lantai 20 gedung Ciputra
Tempat yang Sering Dikunjungi:
- Kantor A&A Group (hampir 80% waktunya)
- The Fitness Club (Sabtu pagi)
- Restoran Le Jardin (hanya untuk pertemuan bisnis penting)
- Lelang amal tahunan di Hotel Imperial (sponsor tetap)
Clara berhenti di baris terakhir. Lelang amal. Hotel Imperial.
Ia buka Google—mencari jadwal lelang amal tahun ini.
Dan menemukannya: Lelang Amal Yayasan Peduli Anak Indonesia, Sabtu 15 Mei, Hotel Imperial Grand Ballroom, pukul 19:00.
Itu... tiga hari lagi.
Tiga hari untuk mempersiapkan diri. Tiga hari untuk merancang pendekatan yang tidak terlihat putus asa meski sebenarnya ia sangat putus asa.
Clara menutup ponsel—menarik napas panjang sambil menatap cangkir kopi di depannya yang sudah dingin. Belum diminum sama sekali.
Apakah ini benar-benar akan ia lakukan?
Mendekati pria asing di acara amal, menawarkan pernikahan kontrak seolah itu transaksi bisnis biasa?
Kedengarannya seperti plot film murahan. Atau mimpi buruk.
Tapi waktu terus berjalan. Dua puluh hari lagi.
Clara meraih ponsel lagi—menelepon Julia.
"Julia, aku butuh tiket undangan untuk lelang amal di Hotel Imperial. Sabtu malam."
"Lelang amal?" Julia terdengar terkejut. "Clara, tiket untuk acara itu harganya dua puluh juta per orang—"
"Aku tahu." Clara memotong. "Tapi Arta Group masih tercatat sebagai sponsor tahun lalu, kan? Harusnya kita masih punya alokasi undangan."
Jeda—Clara bisa mendengar bunyi ketikan di seberang. Julia sedang mengecek.
"Ada satu undangan atas nama perusahaan," kata Julia akhirnya. "Tapi seharusnya untuk direktur level, bukan untuk—"
"Aku direktur operasional Arta Group sekarang. Secara teknis, aku berhak."
"Clara, kalau Paman Robert tahu—"
"Dia tidak perlu tahu." Suara Clara lebih tajam dari yang ia maksud. Ia tarik napas—lebih lembut. "Julia, kumohon. Ini penting."
Keheningan lama. Lalu helaan napas.
"Aku akan kirim undangannya ke alamat apartemenmu. Besok pagi."
"Terima kasih."
Clara menutup telepon—merasakan getaran adrenalin dan ketakutan bercampur di dadanya.
Tiga hari.
Dalam tiga hari, ia akan bertemu Alex Anggara. Akan mencoba pendekatan yang bisa mengubah hidupnya—atau menghancurkan sisa harga diri yang ia miliki.
---
Sabtu malam tiba lebih cepat dari yang Clara siap terima.
Ia berdiri di depan cermin kamarnya—gaun hitam sederhana yang ia beli dari toko online dengan diskon besar-besaran, sudah berusia tiga tahun tapi masih cukup layak. Sedikit longgar di pinggang karena berat badannya turun lima kilogram dalam sebulan terakhir—stres membunuh nafsu makan lebih efektif dari diet apa pun.
Rambut disanggul rendah—Clara mencoba beberapa gaya dari tutorial YouTube tapi ujung-ujungnya kembali ke gaya sederhana yang ia kuasai. Makeup minimal: bedak, eyeliner tipis, lipstick warna nude yang tidak terlalu mencolok.
Ia menatap pantulannya sendiri—wanita di cermin terlihat... lelah. Lingkaran hitam di bawah mata tidak sepenuhnya tersamarkan concealer, pipi lebih tirus dari dua bulan lalu, bahu turun sedikit—bahasa tubuh orang yang sudah terlalu lama membawa beban.
Kau terlihat seperti orang yang putus asa,* bisik suara di kepalanya. *Alex Anggara akan melihat itu dalam satu detik.
Clara menutup mata—menarik napas dalam-dalam, menghitung sampai lima, mengeluarkan perlahan. Teknik relaksasi yang ia pelajari dari video YouTube lain.
Kau bisa melakukan ini. Kau harus melakukan ini.
Ia buka mata lagi—kali ini memaksa punggung lebih tegak, bahu lebih ke belakang, dagu sedikit terangkat. Postur percaya diri. Bahkan kalau hati tidak merasakannya, tubuh harus menunjukkannya.
Clutch hitam kecil di tangan—berisi ponsel, lipstick cadangan, dan fotokopi undangan. Sepatu heels hitam tujuh sentimeter yang membuat kaki langsung pegal tapi menambah tinggi dan kesan formal.
Pukul 18:30, Clara turun ke lobi apartemen. Taksi online yang ia pesan sudah menunggu—mobil sedan putih tua dengan supir yang tidak banyak bicara. Bagus. Clara tidak mood untuk small talk.
Perjalanan ke Hotel Imperial memakan waktu empat puluh lima menit—macet, seperti biasa Jakarta di Sabtu malam. Clara menatap keluar jendela—gedung-gedung tinggi dengan lampu berkelip, orang-orang berjalan di trotoar dengan tawa dan percakapan, kehidupan yang berjalan normal sementara dunianya terasa seperti di ujung tebing.
Ponselnya bergetar—pesan dari Paman Robert:
"Tuan Hendra tanya kau di mana. Dia kirim mobil untuk jemput kau malam ini untuk dinner. Jangan bikin masalah, Clara."
Clara menatap pesan itu—jari bergetar di atas layar. Ia ketik balasan:
"Aku ada acara penting. Tidak bisa dinner malam ini."
Kirim.
Tiga detik kemudian, ponsel berdering—Paman Robert menelepon. Clara matikan ponsel sepenuhnya.
Nanti saja. Setelah ini selesai.
Mobil berhenti di depan Hotel Imperial—bangunan megah dengan lampu kristal berkilauan di setiap sudut, pintu kaca besar yang dijaga doorman berseragam rapi. Clara turun—kaki sedikit goyah di heels tapi ia pertahankan keseimbangan.
"Selamat malam, Nona." Doorman membukakan pintu dengan senyum profesional.
"Terima kasih."
Lobi hotel luar biasa mewah—lantai marmer putih mengkilap, langit-langit tinggi dengan lampu chandelier raksasa, aroma parfum mahal bercampur bunga segar. Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian formal—gaun malam, tuxedo, perhiasan berkilau.
Clara merasa seperti ikan di luar air. Atau lebih tepatnya, seperti penipu yang menyusup ke dunia yang bukan tempatnya.
Tapi ia terus berjalan—mengikuti petunjuk menuju Grand Ballroom lantai dua. Di pintu masuk, petugas keamanan memeriksa undangan.
"Nama?"
"Clara Hartono. Arta Group."
Petugas melihat daftar—alis terangkat sedikit. "Arta Group... Oh, sponsor tahun lalu." Nada suaranya berubah—dari netral menjadi sedikit... meremehkan? "Silakan masuk."
Clara terima undangan yang sudah di-scan—melangkah masuk dengan kepala tegak meski telinga terasa panas.
Grand Ballroom memukau—ruangan besar dengan langit-langit tinggi sepuluh meter, dinding berwarna krem dengan dekorasi emas, panggung di depan dengan backdrop lelang amal, meja-meja bundar dengan taplak putih dan bunga mawar merah di tengah.
Dan orang-orang—puluhan, mungkin ratusan orang dengan pakaian yang harganya bisa membeli mobil. Wanita-wanita dengan gaun couture dan perhiasan berlian, pria-pria dengan jas yang jelas bukan dari mall.
Clara mengambil segelas champagne dari nampan pelayan yang lewat—bukan untuk diminum, hanya untuk memberi tangan sesuatu yang bisa dipegang supaya tidak terlihat terlalu canggung.
Matanya mulai menyisir ruangan—mencari wajah yang sudah ia hafalkan dari puluhan foto di G****e.
Tidak di dekat panggung. Tidak di kelompok orang yang tertawa keras di sudut kanan. Tidak di bar.
Lalu ia melihat—di sudut dekat jendela besar, sedikit terpisah dari kerumunan.
Alex Anggara.
Berdiri sendirian dengan segelas wine di tangan, menatap keluar jendela dengan ekspresi... kosong. Tidak bosan, tidak tertarik, hanya... tidak ada.
Tingginya sekitar 185 cm—Clara sudah tahu dari data, tapi melihat langsung tetap berbeda. Postur tegap dengan bahu lebar yang dibalut setelan abu-abu gelap yang jelas custom-made—potongan sempurna, tidak ada satu lipatan pun yang salah. Rambut hitam disisir rapi ke belakang, rahang tegas dengan sedikit bayangan janggut yang memberi kesan maskulin tanpa terlihat kusam.
Tapi yang paling mencolok—aura di sekitarnya. Seperti ada tembok invisible yang membuat orang-orang tidak berani terlalu dekat. Beberapa mencoba mendekati, berbicara sebentar, lalu pergi dengan senyum yang tidak mencapai mata.
Alex Anggara bukan hanya dingin. Ia mengusir kehangatan di sekitarnya.
Clara menarik napas—menenangkan jantung yang tiba-tiba berdegup sangat keras. Kakinya melangkah maju—perlahan, setiap langkah diperhitungkan.
Sepuluh meter.
Tujuh meter.
Lima meter.
Alex menoleh—mungkin merasakan seseorang mendekat. Mata mereka bertemu.
Untuk sesaat—hanya satu detik—Clara melihat sesuatu di mata pria itu. Bukan minat, bukan keramahan. Lebih seperti... analisis cepat. Seperti komputer yang scanning data.
Lalu tatapan itu berubah menjadi netral—menunggu.
"Tuan Alex Anggara?" Clara membuka percakapan—suara dijaga tenang meski dalam dada ada badai.
Alex tidak menjawab segera. Ia menyesap wine-nya perlahan—mata tidak pernah lepas dari Clara, memindai dari wajah ke gaun ke sepatu dan kembali ke wajah.
Penilaian. Pengukuran.
"Ya?" Suaranya dalam—lebih dalam dari yang Clara bayangkan dari video-video wawancara. Dan datar. Sangat datar.
"Nama saya Clara Hartono." Ia mengulurkan tangan—gerakan yang ia latih di depan cermin berkali-kali supaya tidak terlihat gemetar. "Dari Arta Group."
Alex menatap tangan yang terulur—dua detik yang terasa seperti jam. Lalu ia sambut—genggaman kuat, telapak hangat, tapi tidak ada kehangatan dalam sentuhan itu. Hanya formalitas.
"Saya tahu siapa Anda." Alex melepas tangan Clara—gerakan cepat, kembali ke posisi dengan wine di tangan. "Perusahaan Anda hampir bangkrut. Paman Anda mengelola dengan buruk. Anda kehilangan enam puluh persen valuasi dalam tiga tahun."
Fakta-fakta itu diucapkan tanpa basa-basi—tanpa nada simpati atau ejekan, hanya... pernyataan faktual seperti membaca laporan keuangan.
Clara menelan ludah—pertahanan otomatis ingin melawan, membantah. Tapi ia paksa diri untuk tetap tenang.
"Anda sangat terinformasi."
"Itu pekerjaan saya—tahu kondisi setiap perusahaan yang mungkin menjadi kompetitor atau target akuisisi." Alex meletakkan wine-nya di atas meja terdekat—gerakan yang membuat Clara sedikit lebih gugup karena sekarang seluruh perhatian pria itu fokus padanya. "Apa yang Anda inginkan dari saya, Nona Hartono?"
Langsung ke inti. Tidak ada small talk. Tidak ada basa-basi.
Clara menarik napas—ini kesempatannya. Satu-satunya kesempatan.
"Saya punya proposal bisnis."
Alis Alex terangkat sedikit—satu-satunya tanda ia sedikit terkejut. "Proposal bisnis. Di lelang amal."
"Saya... tidak tahu cara lain menghubungi Anda. Asisten Anda tidak menjawab email saya."
"Karena saya instruksikan untuk menyaring semua email dari perusahaan yang sedang dalam krisis finansial." Alex menyilangkan tangan di dada—postur tertutup. "Biasanya itu hanya buang waktu. Tapi saya beri Anda dua menit. Jelaskan proposal Anda."
Dua menit.
Clara menatap mata gelap di depannya—mata yang tidak memberi ruang untuk kesalahan, untuk keraguan.
Inilah saatnya.
"Pernikahan kontrak," kata Clara—suara lebih mantap dari yang ia rasakan. "Antara Anda dan saya."
Keheningan.
Musik masih berjalan di latar belakang. Orang-orang masih tertawa dan berbicara. Tapi di gelembung kecil mereka, hanya ada keheningan yang sangat keras.
Alex menatapnya—lama, tanpa berkedip, seolah memastikan ia tidak salah dengar.
"Anda gila," katanya akhirnya—bukan dengan kemarahan, hanya... pernyataan faktual.
"Mungkin." Clara tidak mundur—mempertahankan kontak mata meski setiap insting berteriak untuk lari. "Tapi saya tahu Anda butuh istri untuk mewarisi A&A Group. Dan saya butuh suami untuk membatalkan perjodohan yang sedang dipaksakan pada saya. Kita bisa saling membantu."
Alex tidak bergerak—tapi sesuatu berubah di matanya. Dari analisis menjadi... waspada?
"Berapa banyak yang Anda tahu tentang saya?" Suaranya turun—menjadi bisikan yang lebih berbahaya dari teriakan.
"Cukup untuk tahu bahwa kakek Anda menekan Anda untuk menikah. Cukup untuk tahu bahwa Anda menolak semua perjodohan yang diatur keluarga. Dan cukup untuk tahu bahwa waktu Anda untuk mewarisi perusahaan semakin menipis."
Rahang Alex mengeras—satu-satunya tanda bahwa kata-kata Clara mengenai sasaran.
"Anda melakukan riset tentang saya."
"Anda juga melakukan riset tentang Arta Group," balas Clara. "Kita sama-sama tahu pentingnya informasi."
Sudut bibir Alex terangkat sedikit—bukan senyum, lebih seperti pengakuan akan logika Clara.
"Berani," katanya pelan. "Atau sangat, sangat putus asa."
"Keduanya."
Kali ini Alex benar-benar tersenyum—tipis, tidak mencapai mata, tapi ada.
"Saya tidak membuat keputusan impulsif, Nona Hartono. Terlebih untuk sesuatu yang akan memengaruhi seluruh hidup saya." Ia meraih kartu nama dari saku dalam jasnya—mengulurkannya. "Kantor saya. Senin pukul sepuluh pagi. Bawa proposal tertulis—lengkap dengan klausul, durasi, kompensasi dari kedua pihak, dan konsekuensi kalau salah satu pihak melanggar. Kalau itu masuk akal, kita bisa bicara lebih lanjut."
Clara menerima kartu nama itu—kertas tebal dengan emboss emas, logo A&A Group di sudut kanan atas, nama Alex Anggara dalam huruf kapital yang tegas.
"Kalau tidak masuk akal?" tanyanya—mencoba menjaga suara tetap tenang.
"Maka jangan buang waktu saya lagi."
Alex berbalik—mengambil wine-nya kembali, menatap keluar jendela seolah percakapan sudah selesai.
Dismissed. Seperti karyawan yang baru diberi tugas.
Tapi Clara tidak marah. Karena ia dapat yang ia butuhkan—kesempatan.
Senin pukul sepuluh pagi.
Empat puluh delapan jam untuk menyusun proposal yang akan mengubah hidupnya.
Clara mundur perlahan—tidak ingin terlihat terburu-buru. Ketika sudah beberapa meter dari Alex, ia berbalik, berjalan menuju pintu keluar dengan langkah yang lebih mantap dari saat masuk.
Di balik pilar dekat pintu, seseorang mengamati—pria paruh baya dengan kamera profesional, mengambil beberapa foto tanpa disadari.
Percakapan Clara dan Alex tidak luput dari mata yng mengintai.
---