Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / BAB 2: Penelusuran Informasi

Share

BAB 2: Penelusuran Informasi

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-09-11 14:52:52

Lima hari berlalu seperti kabut tebal yang menempel di kaca jendela—tidak mau hilang meski matahari sudah terbit. Clara duduk di ruang kerja kecilnya, bekas kamar tamu apartemen sederhana yang dindingnya mengelupas di beberapa sudut. Laptop tua itu mendengung pelan—kipas pendingin yang sudah aus, suara yang dulu mengganggu tapi kini jadi latar familiar kepanikan diam-diamnya.

Layar menampilkan halaman ke-47 hasil pencarian G****e. Jari-jarinya pegal, mata perih, tapi Clara tidak berhenti scroll.

"Pengusaha sukses Jakarta"

"Pewaris perusahaan besar Indonesia"

"Miliarder muda lajang"

Setiap kata kunci menghasilkan puluhan, ratusan nama. Tapi setiap nama berujung pada satu kenyataan yang sama: tidak ada yang mau berurusan dengan perusahaan yang nyaris bangkrut dan reputasi yang sudah tercoreng.

Ponselnya berbunyi untuk kesekian kalinya—layar menampilkan nama yang membuat perutnya bergejolak: Paman Robert.

Clara menatap ponsel itu bergetar di atas tumpukan dokumen Arta Group. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sampai layar mati sendiri.

Tiga puluh detik kemudian, bergetar lagi.

Clara mengangkat—bukan karena ingin, tapi karena tahu Paman Robert tidak akan berhenti.

"Ya, Paman?"

"Clara." Suara di seberang sana terlalu tenang—nada yang Clara sudah hafal berarti badai. "Tuan Hendra menelepon. Dia bertanya kenapa kau belum konfirmasi untuk dinner di yacht-nya akhir pekan ini."

Clara menelan ludah. "Aku bilang aku butuh waktu satu bulan—"

"Dua puluh tiga hari lagi, Clara." Paman Robert memotong—setiap kata ditusukkan seperti jarum. "Dan Tuan Hendra mulai... tidak sabar. Kau tahu apa artinya itu, kan?"

Clara tahu. Tuan Hendra bukan tipe pria yang suka menunggu. Dan ketidaksabaran pria seperti dia biasanya berujung pada tindakan yang memaksa.

"Aku sedang cari solusi—"

"Solusi apa, Clara?" Suara Paman Robert meninggi—frustrasi yang tidak lagi bisa disembunyikan. "Kau pikir ada investor yang mau bantu perusahaan yang sudah di bibir kebangkrutan? Kau pikir ada keajaiban yang akan turun dari langit?"

"Aku tidak tahu, tapi—"

"Kalau kau tidak tahu, maka dengarkan aku." Nada Paman Robert berubah—lebih lembut, tapi justru itu yang membuat Clara lebih waspada. "Tuan Hendra pria baik. Dia akan jaga kau dengan baik. Rumah besar, mobil mewah, semua yang kau butuhkan. Apa salahnya?"

Apa salahnya? Clara ingin tertawa—atau menangis. Atau keduanya.

"Dia enam puluh lima tahun, Paman. Umurnya empat puluh tahun lebih tua dariku."

"Umur hanya angka—"

"Dan dia punya reputasi buruk pada mantan-mantan istrinya."

Keheningan di seberang—terlalu lama.

"Itu rumor," kata Paman Robert akhirnya. "Orang iri selalu bikin rumor."

Clara tidak menjawab. Tidak ada gunanya berdebat dengan Paman Robert yang sudah terlalu dalam menginvestasikan harapannya pada "solusi" busuk ini.

"Pikirkan baik-baik, Clara," kata Paman Robert sebelum menutup telepon. "Waktu terus berjalan. Dan hutang tidak menunggu."

Sambungan terputus.

Clara meletakkan ponsel—tangan gemetar sedikit. Dua puluh tiga hari. Itu artinya ia sudah menghabiskan tujuh hari—satu minggu penuh—hanya untuk menatap layar laptop tanpa hasil nyata.

Ia bangkit, berjalan ke jendela kecil yang menghadap jalanan ramai. Di bawah, orang-orang berlalu lalang dengan tujuan masing-masing. Tidak ada yang tahu bahwa di apartemen kecil lantai tiga ini, seseorang sedang berjuang melawan jerat yang perlahan mengencang.

Perutnya berbunyi—baru menyadari ia belum makan sejak semalam. Tapi kulkas kosong kecuali sebotol air mineral dan sayuran yang sudah layu. Clara tidak punya energi untuk keluar beli makanan.

Ia kembali ke laptop—membuka tab baru, mencoba kata kunci berbeda.

"Pengusaha yang butuh istri" —terlalu vulgar, hasil pencarian penuh iklan escort.

"Perjodohan bisnis Jakarta" —hanya artikel gosip tentang selebriti.

"Pernikahan kontrak Indonesia"tidak ada hasil relevan.

Clara menghapus riwayat pencarian—takut kalau ada yang melihat, mereka akan tahu betapa putus asanya dia.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Julia—asisten setianya—sudah mengirim pesan tiga jam lalu:

"Clara, jangan lupa makan. Dan jangan begadang terus. Kesehatanmu lebih penting."

Clara tersenyum tipis. Julia satu-satunya orang di Arta Group yang masih peduli bukan karena gaji, tapi karena loyalitas tulus.

Ia balas:

"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Julia."

Bohong. Tapi bohong yang perlu.

Jari-jarinya kembali menari di atas keyboard—membuka situs berita bisnis. Business Weekly, Forbes Indonesia, Ekonomi Tempo. Satu per satu artikel dibaca dengan mata yang sudah mulai kabur.

Sampai sebuah judul menghentikan scrolling-nya:

"Alex Anggara: Pewaris Muda A&A Group yang Menolak Takhta"

Clara klik artikel itu—memuat halaman dengan foto besar di atas tulisan.

Pria berusia dua puluh delapan tahun berdiri di depan gedung pencakar langit berlapis kaca—setelan hitam sempurna, tangan di saku, wajah... dingin. Sangat dingin. Seperti pahatan es yang tidak pernah tersenyum, mata yang menatap kamera tanpa emosi—mata yang sudah melihat terlalu banyak perhitungan bisnis dan terlalu sedikit kemanusiaan.

Tapi ada sesuatu di wajah itu yang membuat Clara tidak bisa mengalihkan pandangan. Bukan karena tampan—meskipun itu fakta. Tapi karena ada kekosongan di mata itu. Kekosongan yang entah kenapa... familiar.

Clara mulai membaca:

"Alex Anggara, pewaris tunggal A&A Group, dikenal dengan sikapnya yang dingin dan sangat profesional. Dalam usia yang relatif muda, ia sudah memimpin tiga akuisisi besar dan meningkatkan valuasi perusahaan sebesar 40% dalam dua tahun terakhir."

Clara berhenti—membaca ulang kalimat itu. Empat puluh persen dalam dua tahun? Itu... luar biasa. Atau menakutkan. Atau keduanya.

"Namun, hubungan Alex dengan kakeknya, Adam Anggara—pendiri dan CEO A&A Group—dilaporkan semakin tegang. Sumber internal menyebutkan bahwa Adam menuntut Alex untuk segera menikah sebagai syarat untuk mewarisi kendali penuh perusahaan. Alex, yang dikenal sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya, dilaporkan menolak semua usaha perjodohan yang diatur oleh keluarga."

Clara membaca kalimat terakhir itu tiga kali. Empat kali. Lima kali.

Menolak semua usaha perjodohan.

Otaknya mulai bekerja—menyusun pola, mencari koneksi.

Alex menolak menikah. Kakeknya memaksa. Warisan perusahaan besar sebagai taruhan.

Clara butuh suami untuk membatalkan perjodohan. Alex butuh istri untuk mewarisi perusahaan.

Dua masalah yang bisa diselesaikan dengan satu solusi.

Pernikahan kontrak.

Ide itu muncul seperti kilat—terang, jelas, tapi juga menakutkan. Clara menutup laptop—terlalu cepat, seolah layar itu akan meledak kalau dia terus menatap.

Ini gila. Terlalu gila.

Tapi...

Ia buka laptop lagi—membaca artikel itu sekali lagi, kali ini lebih detail. Mencari celah, mencari tanda bahwa ini mungkin—mungkin saja—bisa berhasil.

"Alex Anggara jarang terlihat di acara sosial. Tidak pernah terlihat dengan wanita. Tidak ada skandal percintaan. Sumber yang dekat dengan keluarga menyebutkan bahwa Alex sangat fokus pada pekerjaan hingga tidak punya waktu—atau minat—pada hubungan personal."

Clara menggigit bibir—kebiasaan saat berpikir keras. Tidak ada wanita. Tidak ada hubungan. Itu artinya... tidak ada komplikasi emosional yang menghalangi proposal bisnis.

Tapi pertanyaannya: kenapa Alex menolak menikah kalau itu syarat untuk mewarisi perusahaan yang jelas-jelas ia inginkan?

Harus ada alasan. Alasan yang kuat.

Clara membuka tab baru—mencari informasi lebih dalam tentang Alex Anggara. Tapi informasi tentang kehidupan pribadinya... hampir tidak ada. Hanya artikel bisnis, wawancara singkat yang sangat profesional, foto-foto di acara korporat.

Seperti pria ini tidak punya kehidupan di luar kantor.

Atau... sengaja menyembunyikan kehidupan pribadinya dengan sangat hati-hati.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Mata Clara sudah sangat berat, tapi otak tidak mau berhenti.

Ia perlu informasi lebih. Informasi yang tidak bisa didapat dari G****e.

Dengan tangan gemetar—entah karena lelah atau karena menyadari ia akan melangkah ke wilayah berbahaya—Clara meraih ponsel.

Menelepon Julia.

Tunggu nada terdengar lima kali sebelum suara serak menjawab.

"Clara? Jam dua pagi—ada apa?"

"Julia, maaf ganggu. Tapi aku butuh bantuanmu."

Jeda—Clara bisa membayangkan Julia duduk di tempat tidur, menghidupkan lampu, mengusir kantuk.

"Apa yang kau butuhkan?"

"Informasi tentang Alex Anggara. Direktur Operasional A&A Group." Clara menarik napas. "Sebanyak yang bisa kau kumpulkan. Jadwal hariannya, tempat yang sering dia datangi, kebiasaan, apa pun yang bisa membantu aku... mendekatinya."

Keheningan panjang di seberang.

"Clara..." Suara Julia pelan—khawatir. "A&A Group adalah rival terbesar Arta Group. Kalau ayahmu masih hidup—"

"Ayahku sudah tidak ada." Kata-kata itu keluar lebih kasar dari yang Clara maksud. Ia menarik napas lagi—lebih pelan. "Julia, aku tidak punya pilihan lain. Dua puluh tiga hari lagi aku harus menikah dengan Tuan Hendra atau... atau aku tidak tahu apa yang akan terjadi."

Julia tidak menjawab segera. Clara bisa mendengar napas berat di seberang—pertanda Julia sedang berpikir keras.

"Apa yang kau rencanakan?" tanya Julia akhirnya.

"Aku... belum yakin. Tapi aku butuh informasi dulu sebelum membuat keputusan."

"Clara, kalau ini berbahaya—"

"Lebih berbahaya dari menikah dengan Tuan Hendra?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Julia tidak bisa membantahnya.

"Berapa lama aku punya waktu?" tanya Julia.

"Besok sore. Sebelum pukul lima."

"Clara, itu—"

"Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi kumohon, Julia. Kau satu-satunya orang yang bisa aku percaya."

Jeda panjang lagi. Lalu helaan napas.

"Baiklah. Aku akan coba. Tapi aku tidak jamin bisa dapat semua yang kau mau."

"Apa pun yang bisa kau dapat sudah cukup."

"Hati-hati, Clara."

"Aku akan."

Sambungan terputus. Clara meletakkan ponsel dengan tangan yang masih gemetar.

Ia menatap foto Alex Anggara di layar laptop—mata dingin yang menatap keluar dari frame, seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.

Apa yang kau sembunyikan, Alex Anggara?

Dan pertanyaan yang lebih penting: Apakah kau cukup putus asa untuk menerima proposal gila dari wanita asing?

Clara menutup laptop—kali ini benar-benar menutup. Ia rebahkan tubuh di kasur tanpa ganti baju, menatap langit-langit kamar yang retak di beberapa sudut.

Dalam dua puluh empat jam, ia akan mendapat informasi. Dalam dua puluh empat jam, ia akan tahu apakah rencana gila ini punya peluang atau hanya khayalan putus asa.

Dan kalau punya peluang... ia harus siap menghadapi konsekuensinya.

Mata Clara perlahan menutup—lelah akhirnya mengalahkan kecemasan. Tapi tidurnya tidak nyenyak.

Di mimpi, ia melihat mata dingin Alex Anggara menatapnya—tidak dengan kemarahan, tidak dengan kebaikan. Hanya dengan pertanyaan:

Seberapa jauh kau sanggup pergi untuk menyelamatkan dirimu sendiri?

Dan Clara tidak tahu jawabannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 101: Operasi Penyelamatan Aset

    Pesan ancaman anonim yang berisi bahwa Clara akan ditangkap begitu mendarat di Eropa seketika melumpuhkan Alex. Kontrol-nya runtuh karena ia tidak berada di lokasi. Alex meraih teleponnya. Ia memanggil Ben, yang sedang dalam penerbangan bersama Clara. "Ben, hentikan pesawatnya," desis Alex, nadanya tajam dan penuh bahaya. "Tuan, kita sudah di atas laut. Tidak mungkin kembali," balas Ben, suaranya tertekan melalui sambungan satelit. "Dengar, Ben," perintah Alex, suaranya kembali ke mode Jangkar yang kejam. "Clara akan ditangkap segera setelah mendarat. Ini jebakan hukum, bukan fisik. Kau harus membatalkan pendaratan di bandara yang sudah dijadwalkan. Alihkan rute ke bandara militer kecil di negara tetangga yang kurang ketat hukum ekstradisinya. Sekarang!" Ben, meskipun terkejut dengan perubahan rencana mendadak itu, segera memproses perintah tersebut. Alex menutup telepon. Dia berdiri di Ruang Kerja, tangannya gemetar. Dia telah membiarkan posesif-nya ditantang, dan sekarang, as

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 100: Dilema Sang Jangkar

    Kamar kerja di penthouse terasa mencekam. Ancaman musuh (Bab 99) sangat jelas: jika Alex membawa Clara ke Eropa untuk merebut kendali Ariadne Global (aset Warisan), mereka akan menghancurkan Yayasan Anggara-Clara (YAC)—aset moral Alex yang baru.Alex dihadapkan pada dilema brutal: Logika Dominasi (harus mengamankan Ariadne Global) versus Kelemahan Kemanusiaan (harus melindungi anak-anak Yayasan).Alex membaca kembali pesan ancaman itu. Wajahnya dingin, tanpa emosi, tetapi Clara tahu, ia sedang berjuang keras melawan dirinya sendiri."Mereka menyerang kelemahan-ku yang baru," desis Alex, suaranya rendah. "Mereka tahu aku tidak akan membiarkan anak-anak itu terluka. Mereka tahu kontrol-ku atas emosi itu rapuh."Clara melangkah maju. Dia tahu, Alex harus memilih aset moral. Itu adalah langkah yang akan membuktikan cinta-nya lebih dari segalanya."Kita harus membagi kekuatan, Alex," ujar Clara, lugas. "Kau harus tetap di sini. Kau harus melindungi fondasi yang kita bangun di sini. Yayasan

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 99: Berdarah Dingin

    Pengakuan Gerry bahwa ia dipaksa dan bahwa ancaman berasal dari lingkaran gelap Ayah Clara mengubah dinamika di penthouse. Alex kini tidak lagi meragukan Clara; ia hanya fokus pada penghancuran musuh.Alex melepaskan ciuman posesifnya dari Clara. Matanya dingin, kembali ke mode Jangkar yang kejam, tetapi kini posesif itu diarahkan pada perlindungan Clara."Gerry," desis Alex, menatap butler itu. "Siapa yang mengancam keluargamu? Detail. Sekarang."Gerry, yang baru saja mengakui pengkhianatannya, menunduk. "Mereka tidak memberi tahu nama, Tuan. Mereka hanya memberiku kode kontak dan perintah. Aku harus memastikan file video itu terbuka, dan memastikan Nyonya Clara tetap menjadi target yang rentan."Alex menghela napas. Dia tahu Gerry adalah pion. Alex mengambil keputusan cepat: dia tidak akan membuang Gerry. Gerry adalah aset yang dipaksa, dan dia adalah satu-satunya jembatan mereka ke musuh."Gerry, mulai sekarang," ujar Alex, nadanya final. "Kau akan bekerja untukku. Kau akan terus

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 98: Tuntutan Pengkhianat

    Ruang Kerja Pribadi Alex dipenuhi ketegangan yang mematikan. Alex berdiri mematung di depan layar laptop, di mana pesan anonim itu masih terpampang jelas: Pilihanmu: Clara sebagai aset bisnis atau Clara sebagai istri.Alex tidak peduli pada Warisan kotor itu; dia peduli pada tuntutan kepemilikan atas Clara.Alex meraih laptop itu dan membantingnya ke meja, suaranya teredam, tetapi amarahnya nyata."Mereka berani," desis Alex, suaranya sangat rendah dan penuh bahaya. "Mereka berani menuntut kepemilikan atas dirimu, Clara. Mereka melihatmu sebagai aset yang harus dipisahkan dariku."Clara tahu, ini adalah krisis terbesar mereka. Musuh tidak lagi menyerang kontrol Alex, tetapi posesif-nya."Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia tahu kita telah melihat videonya," ujar Clara, lugas. "Dia tahu Warisan Anggara adalah aib, dan dia menggunakan aib itu untuk memaksamu melepaskanku."Alex berbalik, berjalan ke Clara, dan ia menarik Clara ke dalam pelukan yang kuat. Pelukan itu bukan lagi hukuma

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 97: Kode Kejujuran dan Ledakan Ketakutan

    Udara di Kamar Tidur Utama terasa tebal dan berbahaya. Liontin perak itu (Bab 96) berada di dada Alex, menuntut kebenaran dari kombinasi yang dibisikkan Clara: tanggal rahasia di mana Alex pertama kali meminta Clara tinggal karena kebutuhan emosional yang tak terkontrol.Alex menatap Clara, matanya dipenuhi posesif yang bertarung melawan rasa sakit karena diingatkan pada momen kelemahan terbesarnya."Kau melanggar protokol kerahasiaan," desis Alex, suaranya parau. "Tanggal itu... kau tidak seharusnya tahu. Itu adalah kelemahan yang ku sembunyikan bahkan darimu.""Ayahku adalah seorang jenius, Alex," balas Clara, lugas. "Dia tahu, kode teraman bukanlah angka acak, melainkan kejujuran yang paling menyakitkan. Jika kau salah mengingat tanggal itu, dia tahu kau tidak pernah benar-benar mempercayai hatimu."Alex memejamkan mata. Dia menarik napas panjang, mencoba memanggil kembali logika dan kontrol-nya. Tanggal itu adalah sebelum kontrak mereka. Momen di mana ia nyaris mengakui kebutuhan-

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 96: Tanda Tangan Sang Buronan di Penthouse

    Mata Alex menusuk Clara di dalam kegelapan kamar tidur . Ia baru saja kembali dari ruang server yang mati, dan kini, Clara mengakui memiliki pengetahuan tentang teknologi yang digunakan ayahnya—teknologi yang baru saja menembus sistem keamanan Anggara. "Kau tahu cara kerjanya," desis Alex, suaranya sangat rendah dan penuh bahaya. "Kau berbohong. Kau tidak hanya menyembunyikan ayahmu; kau menyembunyikan fakta bahwa kau adalah **putri buronan yang memiliki akses ke teknologi peretasan kelas atas." Clara meletakkan liontin itu kembali di nakas. Dia menghadapi Alex, menolak untuk menjadi korban. "Aku tidak berbohong," balas Clara, lugas. "Aku menyembunyikan kebenaran. Ayahku adalah seorang jenius teknologi yang dipaksa menjadi buronan. Dan ya, aku tahu cara dia bekerja. Pola serangan di server itu adalah tanda tangan nya. Hanya orang yang pernah bekerja dengannya yang bisa mematikan sistem keamanan Anggara tanpa terdeteksi." Alex berjalan mendekat, kini bukan lagi posesif, melainkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status