LOGINMendengar kata cerai, Davin tersentak dan segera mematikan ponselnya. Kata-kata yang sangat mustahil diucapkan Irenne, terlontar begitu saja.
Davin bangkit dari kursinya, menghampiri Irenne. "Omong kosong! Kau sadar apa yang baru saja kamu katakan, ha?" Irenne berdecih, "Kau bilang omong kosong? Apa kau perduli padaku? Aku baru saja keguguran, tapi kau bahkan tidak menjenguk. Kau asik selingkuh, kan?" Pandangan Irenne dan Davin saling bertaut. Ia tak menyangka Irenne mengetahui perselingkuhannya. Namun, alih-alih merasa bersalah ia justru bersikap acuh tak acuh. Davin membalas, "Kau keguguran karena kecerobohanmu sendiri. Atas dasar apa kau menuduhku selingkuh?" Irenne tak percaya, lelaki yang begitu di cintainya tega mengatakan hal itu. Bayinya bahkan tidak diperdulikan sedikitpun. Padahal, Davin selalu mendesaknya untuk segera hamil. Keluarganya bahkan menuduhnya mandul. Ironisnya, saat Irenne hamil mereka tak ada yang perduli. “Suami macam apa kamu Davin?!” Irenne mengambil ponsel, menggenggamnya erat. Ia menunjukkan bukti foto dan video perselingkuhan Davin. Davin terlihat terkejut. Tetapi tetap acuh tak acuh, dan berusaha tidak tampak bersalah. "Jangan salahkan aku. Semua itu aku lakukan karena aku ingin punya anak. Siapa suruh selama ini kau tak juga hamil, dan sekarang kau bahkan keguguran," ujarnya santai. Irenne menggeleng lemah, tangannya terasa lemas. Ia mengabaikan Davin. Dengan tertatih ia berjalan menuju kamarnya di lantai dua, menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati. Davin bergegas mengikutinya dari belakang. Pintu kamar terbuka, disambut kenangan indah yang kini terasa pahit. Sesaat matanya terpejam. Irenne berjalan menuju lemari, mengambil koper besar. Pakaian, beberapa perhiasan dan surat-surat berharga dimasukkannya satu persatu. Davin merebut koper yang ada di tangan Irenne. "Kamu gila?! Kamu benar-benar mau bercerai?!" Irenne menarik kembali kopernya, matanya berkilat tajam. "Iya, aku yakin. Untuk apa pernikahan ini di pertahankan. Selama ini kau juga sudah mengabaikan aku." Irenne menyeret koper keluar kamar. Davin yang tak rela kehilangannya mencoba mengejar Irenne. "Mau kemana kamu!" “Terserah aku mau kemana. Toh selama ini aku tidak ada apa-apanya di mata kamu!” ujar Irenne menahan sakit hatinya. Saat di lantai bawah, Davin menghentikan langkah Irenne. Davin menghadangnya. "Aku tidak akan menceraikan kamu," ucapnya berusaha menghentikan Irenne. Meskipun kini ia berselingkuh dengan Aurel. Irenne tetaplah wanita yang pernah dicintainya. Ia tak pernah berniat menceraikannya. "Untuk apa kau menghalangi wanita tidak tau diri itu?" Irish berjalan menghampiri mereka. Irish melirik Irenne dengan tatapan meremehkan. "Sudah, ceraikan saja dia! Kita tidak butuh wanita sakit!" cacinya tanpa sedikit pun rasa iba. Irenne menggenggam erat pegangan kopernya. Ia harus menahan semua hinaan dan cacian dari mertuanya. Irish selalu memperlakukannya dengan buruk selama ini. Namun, berbeda dengan perlakuannya ke Aurel. Saat Aurel datang ke rumah. Irish selalu menyambutnya bahkan memintanya untuk melayaninya. Irenne tak ingin berdebat. Ia memilih pergi meninggalkan mereka. "Irenne!" teriak Davin. Namun, Irish menghentikannya. Ia lebih menginginkan jika Davin bersama Aurel. Karena selama ini dia tau, kekayaan keluarga Irenne dikendalikan Amy Adelineーibu tiri Irenne. Jika terus bersama Irenne, ia khawatir Davin tak akan mendapatkan warisan dari keluarga Kenneth. Irenne memanggil taksi. Di dalam mobil, tangisnya pecah. Ia sudah berusaha menahannya. Rasa sakit yang dialaminya begitu mendalam. Irenne berencana tinggal bersama Andreaーsahabatnya. Namun setelah dipikir-pikir, ia takut jika Davin akan mencarinya ke sana. Akhirnya, Irenne memutuskan menyewa apartemen dengan uang tabungannya. Ia meminta bantuan Andrea untuk mencarikannya apartemen. Irenne bertekad bangkit dari keterpurukan. Ia ingin bekerja. Dengan latar belakang pendidikannya yang mumpuni sebagai lulusan terbaik Desain Arsitektur dari universitas di New zerland. Irenne melamar pekerjaan melalui situs-situs online dan berbagai perusahaan desain ternama. Keesokan harinya, Irenne dihubungi pihak perusahaan untuk wawancara. Irenne berdiri di depan gedung tinggi Estetika Design. Perusahaan besar di kota Laudion. Logo perusahaan terpampang jelas. "Aku pasti bisa," gumamnya mantap. Dengan penuh percaya diri Irenne melangkahkan kakinya. Matanya berbinar saat melihat lalu lalang orang dengan pakaian rapi. Ini pengalaman pertamanya melamar pekerjaan. Namun, ia tersentak saat melihat Aurel dan Davin yang baru saja keluar dari dalam ruangan. Irenne menghentikan langkahnya saat Aurel menghampirinya dengan tatapan merendahkan. Aurel tersenyum sinis. "Lihatlah, siapa ini?" Pandangan Davin dan Irenne bertemu. Davin tampak acuh, bahkan seakan tak mengenalinya. Aurel mengejeknya. "Ah ... Irenne. Sekarang kamu jatuh miskin, ya? Jadi mau coba kerja?" Irenne melempar pandangan tajam. "Aku tidak punya urusan denganmu, jadi jangan ganggu aku." Irenne tak ingin membuat keributan. Ini kali pertama ia mendapatkan kesempatan wawancara. Ia tak ingin menyia-nyiakannya. Aurel tak menghiraukan ucapan Irenne. Ia justru menghadangnya. "Tapi aku tidak akan biarkan kamu bekerja di sini," sahut Aurel."Kalian gak perlu khawatir, saya sebagai ibunya, wajib memberi perhatian pada anak saya sendiri," ucap Laura sambil menatap Mark dan Irenne dengan nada yang sukar ditebak, antara teguran, kecemasan, dan kepemilikan yang kuat.Suasana meja makan langsung terasa mencekam. Saly berhenti mengunyah, sementara Siren Kai hanya mengangkat alis, menatap Laura dari ujung meja.Beberapa saat kemudian, Bibi kembali ke ruang makan dengan langkah ragu, kepala tertunduk dalam-dalam."Kamar sudah siap ditempati, Nyonya," lapornya pelan."Hmmm, terima kasih, Bi," jawab Laura singkat. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia langsung melangkah menuju kamar Arley. Tidak ada permisi, tidak ada sopan santun, seolah rumah itu miliknya sendiri.Pintu kamar mengayun tertutup, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Siren Kai menatap punggung Laura yang menghilang di balik pintu kamar, tatapannya dingin menusuk. Rahangnya mengeras.Mark dan Irenne saling pandang, masing-masing menyimpan keresahan yang tak merek
Pagi itu, di ruang makan rumah keluarga Mark. Aroma jarumnya roti panggang dengan isi daging asap memenuhi udara. Mark, Irenne, Saly, dan Nenek Sirren Kai sedang duduk sarapan dalam keheningan yang tegang setelah beberapa hari penuh masalah. Arley masih beristirahat di kamarnya—dokter menyarankan agar ia tidak banyak bergerak pascakejadian di proyek kemarin, dan harus banyak beristirahat, karena retaknya lengan kiri. Tok! Tok! Tok! Bibi yang sedang membereskan gelas menoleh cepat dan berjalan ke arah pintu depan. Begitu pintu dibuka, wajahnya langsung berubah kaku. "Nyonya Laura?" bisiknya pelan. Tanpa menunggu dipersilakan, Laura melangkah masuk, sepatunya masih menginjak karpet bersih. Sorot matanya tajam, napasnya terengah sedikit, tanda ia datang dengan emosi penuh. Terlebih saat menatap Irenne. Laura langsung menuju meja makan. Semua orang menoleh, suasana langsung mencekam. Laura: (dengan suara tinggi) "Mana Arley? Aku mau dia ikut aku sekarang juga." Irenne menelan luda
"Mark, aku memang salah. Aku minta maaf," ucap Irenne suatu hari. Mark enggan untuk menoleh. "Nggak ada yang perlu dimaafkan. Lupakan." Sejak hari itu, setiap Mark melihat Irenne, sorot matanya penuh dingin dan penolakan. Saat Irenne mencoba menjelaskan, Mark memalingkan wajah. Saat Irenne mendekat, Mark melangkah pergi. Saat Irenne berkata jujur, Mark menyebutnya, "Hmm, masih berani membela diri setelah kecerobohanmu, yang hampir membunuh Arley." Perlahan, jarak di antara mereka menjadi jurang yang sulit dijembatani. Belum lagi setiap malam sebelum tidur, bisikan Saly Vista terus menggaung di kepala Mark. "Wanita itu memang sengaja kok, ingin menyingkirkan Arley …" "Mama yakin, dia mengejar kekayaan keluarga kita …" "Kamu harusnya lebih berhati-hati dengan perempuan seperti dia Mark. Ingat, dia itu darah pembunuh …" Mark menutup mata, mengabaikan rasa bersalah yang berusaha muncul. Karena ia mulai percaya bahwa Irenne bukan lagi orang yang ia pikir selama ini. Pagi
Arley masih terbaring tak sadarkan diri ketika para pekerja proyek bergegas mengangkat tubuhnya yang tertimpa balok. Mark yang tiba tak lama kemudian langsung memerintahkan,"Hei! Kalian tunggu apa lagi?! Kenapa cuma diam! Cepat! Bawa dia ke rumah sakit sekarang!" seru Mark dengan berang.Suasana kacau. Debu masih beterbangan, para pekerja panik, sementara Irenne berdiri di tengah kerumunan dengan wajah pucat dan tubuh bergetar dan perasaan bersalah.Di Rumah SakitArley akhirnya dinyatakan selamat. Dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah tenang menemui Mark."Syukurlah, tidak ada luka internal serius. Hanya retak pada lengan kiri dan beberapa memar," jelas dokter.Mark mengangguk, lega. "Terima kasih Dok. Kalau begitu saya urus administrasi dulu, permisi."Mark melangkah ke loket bagian administrasi. Di sana Irenne sedang duduk melamun bercampur shok. Namun ketika Mark menatap Irenne, sorot matanya berubah—bukan marah, tetapi kecewa yang begitu dalam atas kecerobohan Irenne.Irenne
"Arley!!!! Bangun sayang, bangun Nak!" Saat itu juga air Irenne tidak dapat menahan air matanya untuk meleleh. Arley berusaha melindungi Irenne tanpa memikirkan dirinya sendiri, sehingga kayu balok besar menimpanya. Sehingga yang terdengar berikutnya hanyalah suara Arley meringis pelan di bawah tumpukan debu dan kayu. "Arley!! Arley bangun, Nak! Tolong!! Tolooong!" Irenne berteriak histeris, berusaha mengangkat kayu berat itu dengan tangan gemetar. Beberapa pekerja datang membantu, dan mereka akhirnya menemukan Arley dalam keadaan tak sadarkan diri. Sus Ina terpekik dan langsung menangis. "Tuan kecil! Oh Tuhan…" Irenne menahan tangis, wajahnya pucat pasi. "Cepat! Panggil ambulans!" Beberapa jam kemudian di rumah sakit, Arley terbaring di ruang perawatan dengan perban di lengan kirinya. Dokter menjelaskan kalau ia mengalami retak tulang, tapi nyawanya masih sempat tertolong dan selamat. Irenne menunduk di sisi ranjang, menggenggam tangan anaknya dengan mata sembab. "Maafin Mama,
Siang itu, langit tampak mendung seolah ikut menyimpan beban perasaan yang menggelayuti hati Aurel. Di kontrakan kecil yang kini ia tinggali bersama Edgar dan Amy, suasana terasa sepi. Edgar duduk termenung di kursi tamu bersama Amy.Aurel menatap sekeliling rumah itu dengan rasa tidak percaya. Dulu, ia hidup di rumah megah Kenneth Residence—berlantai marmer, berlampu kristal, penuh kemewahan. Kini, semuanya hilang karena satu nama, Irenne."Irenne!!" pekik hatinya.Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Perempuan itu sudah menghancurkan segalanya ..."Sambil berjalan ke kamarnya, Aurel mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menggulir ke bawah hingga menemukan nama Melvin. Bibirnya menyunggingkan senyum licik."Untung aku sempat menyimpan nomor Melvin. Dan untung juga aku tahu, dia benci Mark setengah mati karena urusan warisan neneknya," gumam Aurel pelan. "Mungkin ini waktunya kita kerja sama."Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol panggil. Suara di seberang terdengar s







