 Masuk
Masuk
Irenne baru saja selesai memeriksa laporan di ruangannya ketika ponselnya bergetar. Ia membuka pesan masuk, dan matanya langsung menatap tajam layar ponsel, pesan dari Aurel.Aurel: "Nikmati saja waktumu, Irenne. Puaskan hidupmu. Tak lama lagi semua akan berakhir. Aku dan Papa akan menjual perusahaan Kenneth ke luar negeri. Dan saat itu terjadi, kalian tau? Kalian semua akan hancur. Aku bicara sungguh-sungguh."Irenne mematung sesaat. Wajahnya tetap tenang, tapi jemarinya sedikit menggenggam ponsel lebih erat. Ia menarik napas panjang, lalu menatap keluar jendela gedung tinggi tempatnya berdiri."Jadi itu keputusanmu, Aurel?" gumamnya pelan. "Tapi kau salah orang, kau pikir aku akan takut dengan ancamanmu?"Tanpa menunda waktu, Irenne berjalan cepat menuju ruang kerja Mark. Ia mengetuk pintu, dan begitu mendengar suara Mark mempersilakan masuk, ia langsung menyerahkan ponselnya."Mark, saya baru aja menerima pesan dari Aurel," ucapnya tegas.Mark mengerutkan alis. "Pesan? Pesan apa?"
Aurel menatap surat itu dengan mata membulat tak percaya. "Anda gila, Pak Mark! Anda tau, dengan tindakan anda seperti ini, begitu besar malunya buat saya. Ingat, saya bisa menuntut Anda!"Mark tetap tak bergeming. "Silakan. Semua bukti sudah lengkap. Anda tidak bisa mengubah keputusan saya."Aurel berdiri mendadak, menarik surat itu dengan gerakan kasar. Tangannya bergetar menahan emosi."Baik! Tapi ingat, Pak Mark, kamu bakal nyesel sudah menyingkirkan saya seperti ini! Anda benar-benar keterlaluan!"Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Aurel meninggalkan ruangan sambil membanting pintu begitu keras, hingga kaca jendela bergetar halus.Suasana ruangan itu kembali hening. Irenne menatap Mark dengan rasa khawatir."Pak … apa tidak sebaiknya diberi waktu dulu? Supaya nggak ada keributan seperti ini."Mark menatap lurus ke arah pintu yang baru saja ditutup Aurel. Matanya berkilat menahan emosi."Tidak, sudah cukup. Dia sudah terlalu jauh mempermalukan kamu, dan dia sudah menghina anak
Pagi itu, suasana di kantor yang masih terlihat tenang terganggu ketika pintu ruangan HRD terbuka cukup keras. Aurel melangkah masuk dengan wajah penuh amarah. Sepasang matanya menatap tajam ke arah staf yang sedang duduk di balik meja resepsionis."Saya mau bertemu dengan Pak Mark sekarang juga," katanya tegas, tanpa basa-basi.Staf HRD mendongak tertegun, sedikit terkejut mencoba bersikap profesional. "Maaf, Bu Aurel, apakah Ibu sudah membuat janji sebelumnya dengan beliau?"Aurel mendengus kesal. "Enggak perlu janji! Saya cuma butuh lima menit. Suruh dia keluar sekarang!"Staf HRD menatap gugup. Dia lalu mencoba mencari jalan tengah. "Baik, kalau begitu ... saya panggil dulu asisten beliau. Sekarang Bu Irenne yang menangani semua urusan Pak Mark."Mendengar nama itu, wajah Aurel langsung berubah. Rahangnya mengeras, dan suaranya meninggi. "Irenne?! Jadi sekarang dia kerja di sini bukan sebagai karyawan biasa?"Aurel benar-benar tidak habis pikir, Irenne yang selama ini dia anggap b
Semua mata sontak menoleh. Di hadapan mereka berdiri seorang pria berjas hitam, sorot matanya tajam menusuk. Dialah Mark. Cengkeramannya membuat Edgar terdiam, tak mampu melanjutkan amarahnya. "Ini tempat umum. Kalau Bapak ingin meluapkan emosi, jangan jadikan dia korban di depan semua orang," ucap Mark dengan nada dingin. "Bukankah dia anak Bapak sendiri? Harusnya Bapak jangan ikut-ikutan terhasut dan membuka aib yang tak pernah ada." Suasana mendadak sunyi. Aurel terbelalak, tidak menyangka kehadiran Mark. Sementara Irenne menatap Mark dengan mata basah, setengah tak percaya. Mark menatap sekilas ke arah Irenne, lalu menoleh tajam ke arah Aurel dan Edgar. "Saya Mark, Presdir di Scenery Group. Mungkin kamu belum pernah melihat saya, Aurel. Sudah cukup mempermalukannya Irenne anak buah saya. Jangan lupa, tidak semua yang kalian katakan itu benar." Kata-katanya menancap seperti pisau dingin di udara pesta yang kini berubah mencekam. Aurel hanya tercengang melihat pria tampan di h
Irenne melangkah perlahan menuju pelaminan dengan senyum yang berusaha ia pertahankan. Tangannya sedikit bergetar ketika menyodorkan ucapan selamat kepada kedua mempelai."Aurel, Davin ... selamat ya. Semoga kalian berdua bahagia."Namun, bukannya sambutan hangat, Aurel menatapnya dengan tajam. Senyum di wajahnya menipis, tergantikan oleh nada sinis."Hmm, rasanya aneh ya, kamu datang ke sini. Padahal aku gak ngundang. Siapa juga yang nyuruh kamu hadir?" ujar Aurel dengan nada ketus dan sengaja volume nadanya diperkeras."Oh iya, aku tau pasti, kalau kamu sekarang hidup dengan pria miskin tanpa menikah. Siapa sih pria itu? Kenalin dong sama kita. Kalian kumpul kebo kan? juga kamu mengasuh anak cacat yang bukan darah dagingmu sendiri. Hohoho ... Mengenaskan."Ucapan itu membuat suasana di sekitar pelaminan seketika hening. Beberapa tamu yang mendengar mulai saling berpandangan dan saling berbisik. Sementara Irenne hanya berdiri terpaku. Dia berusaha menahan perih yang tiba-tiba menyaya
Pagi itu, aroma bubur ayam dengan harum kaldu ayam membuat Arley merengek minta disuapi oleh Irenne. Arley duduk di kursinya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya. "Mau disuapin sama Mama," pintanya manja sambil menatap Irenne dengan senyum lebar. Irenne tersenyum lembut. "Iya, iya ... tapi harus dihabisin ya,” ucapnya sambil mengambil sendok dan mulai menyuapi pelan. Dari seberang meja, Saly menatap tajam pemandangan itu. Bibirnya tersungging sinis, seolah tidak suka melihat kedekatan mereka. Namun semakin lama ia memandang, ekspresinya perlahan berubah. Di balik tatapan dinginnya, hatinya mulai bimbang—antara rasa cemburu karena takut kehilangan kasih sayang cucunya, atau rasa haru melihat Arley begitu bahagia di samping Irenne. Saly akhirnya menunduk. Dia pura-pura sibuk dengan sarapannya sendiri. Tapi di dalam hatinya, sesuatu perlahan melunak. Setelah sarapan selesai, Arley berlari ke taman belakang untuk bermain. Irenne menghabiskan sarapannya dengan tenang, sementara Sal








