Share

Bab 2

Author: Liazta
last update Last Updated: 2024-04-22 22:15:37

Perawat yang berada di dalam ruang NICU keluar memanggil dokter Rizki. "Dokter kondisi pasien semakin kritis."

Dokter itu beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke ruang ICU.

Eliza sudah tidak berkata apa-apa lagi.

Wanita itu hanya terus berdoa agar sang putra bisa selamat. Dia tidak sanggup dan belum mampu untuk ditingkatkan putranya.

Bahkan, saat hari sudah berganti, wanita itu tetap duduk di depan ruangan.

Tulangnya sudah terasa lemas dan tidak sanggup untuk berdiri. Barulah ia merasakan denyutan nyeri di telapak kakinya saat efek bius menghilang. 

Ceklek!

Seorang perawat tampak membuka ruangan NICU.

Hal ini membuat Eliza seketika berdiri.

"Sus, apa saya boleh masuk ke dalam?" tanyanya.

"Maaf Bu, kita harus menunggu dokter dulu. Ibu juga di minta ke kasir, untuk menyelesaikan administrasi."

"Baik, Mbak."

Eliza menuruti perintah perawat untuk kasir.

Reaksi obat bius yang sudah mulai hilang membuat dia kembali merasakan sakit dan nyeri di telapak kakinya.

Wanita itu lantas berjalan dengan menyeret kakinya yang terasa sangat sakti.

Tak butuh waktu lama, administrasi dengan cepat diselesaikan.

Eliza kembali ke ruang NICU tempat anaknya dirawat dan dokter yang menangani putranya sudah di depan pintu NICU.

"Dok...?" Eliza bertanya dengan bibir gemetar, "Bagaimana kondisi anak saya?"

"Maaf, nyawa bayi, ibu tidak bisa tertolong."

Deg!

Mendengar perkataan sang dokter, jantung Eliza seakan berhenti berdetak. Penglihatannya mulai buram dan gelap. Dalam waktu beberapa detik, dia sudah tidak sadar.

Eliza dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan.

Tim medis yang ada di rumah sakit, hanya bisa memandang ibu muda itu dengan rasa kasihan.

Setelah pingsan sekitar 1 jam, Eliza kemudian sadar. Dia memandang ke sekelilingnya dan melihat perawat berada di dalam ruangan tersebut.

"Ibnu, Ibnu!" Eliza menangis histeris dan memanggil nama putranya.

"Ibu, harus tenang," kata perawat.

"Suster di mana anak saya? Anak saya tidak apa-apa kan sus? Anak saya sudah bisa saya bawa pulan kan sus?" Eliza bertanya dengan tersenyum. Namun cairan bening terus saja membasmi pipinya.

Eliza yakin bahwa apa yang dikatakan dokter itu hanya mimpi. Atau dokter itu hanya sedang bercanda.

"Tapi jika belum boleh di bawa pulang, tidak apa-apa juga. Saya tidak masalah jika bayi saya di rawat untuk beberapa hari. Jika dia sudah sembuh, saya akan bawa pulang." Elizabeth tersenyum memandang perawat yang berdiri di samping tempat tidurnya.

Perawat itu diam beberapa saat. Meskipun tidak tega namun dia tetap harus mengatakan kepada ibu dari pasiennya tersebut. "Jenazah bayi sedang disiapkan untuk dibawa pulang," jawab perawat.

Eliza menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar jawaban si perawat.

"Anak saya pasti sehat, dia hanya demam." Eliza tertawa kecil. Dia terus menolak kenyataan yang ada.

"Ibu harus tabah, apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi terutama ayah pasien?" tanya perawat. Jika kondisi ibu bayi, depresi seperti ini mana mungkin bisa mengurus jenazah.

Eliza diam beberapa saat. Ini adalah suatu kenyataan yang harus dia terima. Dia harus bisa kuat demi anaknya. "Saya tidak punya keluarga sus, ayahnya juga sedang sibuk. Saya akan urus semuanya sendiri. Apa saya bisa di antarkan untuk melihat jenazah anak, saya?"

Hatinya begitu terluka, atas apa yang di lakukan oleh sang suami. Menghubungi Sandy, juga tidak ada gunanya.

Anaknya telah pergi!

Eliza juga tidak berniat meminta pria itu mengurus jenazah anaknya.

Diam-diam, perawat di samping Eliza merasa tidak tega. "Mari ibu saya antar."

"Terima kasih sus," Eliza berjalan dengan tertatih. Meskipun perawat menawarkan kursi roda, namun dia menolak dan memilih berjalan sendiri.

Eliza melihat anaknya yang sudah di tutup kain putih. Kakinya terasa lemas ketika melihat bayinya yang berumur 3 bulan, sedang berbaring di atas tempat tidur. Secara berlahan dia membuka kain dan melihat wajah bayinya.

"Nak, kenapa pergi tinggalkan ibu seperti ini. Ibu gak sanggup nak, benar-benar gak sanggup." Eliza menangis sambil memeluk anaknya.

Mengapa saat dia mengalami hal berat seperti ini, dia harus menjalaninya sendiri? 

Sebenarnya,  di mana kebahagiaan yang  dijanjikan suaminya?

Dulu Sandy datang ke desanya untuk melamarnya dan berjanji di depan ibunya, untuk membagikan Eliza. Namun ternyata pria itu ingkar!

Eliza terus menangis sambil memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa. Sedangkan perawat, hanya diam melihatnya.

"Kapan saya bisa membawa anak saya pulang?"

"1 jam lagi, apa ibu mau bayinya langsung dimandikan?"

 Eliza mengusap pipi bulat bayinya. "Tidak sus, saya ingin memandikan anak saya di rumah."

"Apa ibu mau membawa bayi ibu pakai ambulan?"

"Iya sus," jawabnya lemah.

"Apa suster bisa membantu saya untuk mengurus administrasinya?" Eliza mengusap air matanya. Tubuhnya terasa lemas, dan tidak mampu untuk berjalan.

"Baiklah tunggu sebentar," jawab si perawat.

Perawat itu pergi dan kemudian kembali dengan membawakan kwitansi pembayaran.

Eliza melihat nominal yang harus dibayar termasuk biaya mobil ambulans.

"Suster uang saya hanya ada segini dan ini cincin saya sebagai jaminan. Nanti setelah anak saya selesai pemakaman, saya akan datang lagi ke sini untuk membayar sisanya."

"Baik ibu," jawab si perawat yang kemudian pergi.

Eliza terus menangis sambil memeluk putranya. Apa yang terjadi hari ini, seperti mimpi untuknya. Kemarin dia baru menyaksikan sang putra bisa telungkup dan kembali telentang. Pagi semalam dia masih melihat senyum bayinya belum tumbuh gigi. Tadi malam, dia juga masih mendengar suara tangis putranya. Namun pagi ini dia sudah melihat jenazah buah hatinya.

"Ibu, ambulance nya sudah siap, mari saya antar ke parkir belakang."

Eliza hanya menganggukkan kepalanya sambil mengendong anaknya. Dia masuk ke dalam mobil ambulans dan duduk di kursi depan.

Duduk di dalam ambulance seperti ini mengingatkannya ketika sang ibu meninggal beberapa bulan yang lalu.

Namun sekarang dia kembali duduk di dalam mobil ambulans membawa putranya....

***

Tiba di rumah, beberapa tetangga terkejut akan kedatangan Eliza.

Terlebih, mendengar raungan Eliza terhadap sang putra.

"Ibnu, ayo bangun nak, ini sudah jam mimik." 

Kebetulan, air susu Eliza keluar dengan deras hingga membuat daster yang dipakainya basah. Biasanya jika seperti ini, maka ini sudah jadwal putranya meminum ASI.

Tapi, putranya justru terbujur kaku.

"Nak, jangan tinggalkan ibu di rumah ini sendiri. Ibu suka takut kalau sendiri di rumah." Eliza menangis pilu.

Suara tangisnya membuat orang yang mendengar tidak tega dan ikut menangis.

"Ibu tidak sanggup kalau Ibnu pergi. Siapa nanti yang menemani ibu tidur kalau malam?"

Suami Eliza sangat jarang pulang. Dalam satu Minggu, hanya satu hari di rumah. Selebihnya di luar kota, katanya.

Wanita paruh baya yang merupakan tetangga Eliza mencoba untuk menenangkan wanita muda itu.

"Eliza, sabar nak." 

Namun, Eliza terus menangis dan meratapi nasibnya. "Kenapa Ibnu tinggalkan ibu sendiri, Nak, ayo bangun." 

"Ada apa ini?"

Suara pria yang sangat dikenal Eliza tiba-tiba terdengar.

Sandy, sang suami, tampak masuk ke dalam rumah dengan kaki yang terasa begitu lemas.

Melihat wajah putranya yang seperti sedang tertidur membuat dia kembali menangis. 

Sedangkan wanita yang ikut bersama dengannya, duduk di samping Sandy sambil memeluk tubuh pria tersebut.

Terlihat jelas bahwa wanita itu menunjukkan bahwa dia sangat perduli terhadap Sandy. Tanpa menghiraukan Istri Sandy yang saat ini terpukul karena kehilangan anaknya.

"Sayang, apa yang terjadi? Mengapa anak kita meninggal?" Sandy tiba-tiba memegang tangan Eliza. Namun wanita itu menepis tangannya dengan kasar.

Marah, kecewa dan sakit akan kehilangan membuat Eliza begitu membenci suaminya.

Orang-orang yang berada di dalam rumah menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara tangis dan teriakan dari sana. Beberapa orang wanita dan pria kembali masuk ke dalam rumah.

Mereka adalah mertua dan saudara ipar Eliza!

"Apa yang terjadi terhadap cucuku, mengapa cucuku bisa meninggal?"

Mertua Eliza datang dan langsung membentaknya keras!

Eliza sendiri hanya menatap kosong. Jiwanya seolah sudah tak ada di situ.

Hal ini membuat sang mertua semakin murka. "Dasar wanita kampung tidak berguna. Hanya mengurus satu anak saja kau tidak bisa!" bentaknya, lalu menarik rambut Eliza di depan mayat cucunya....



Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (190)
goodnovel comment avatar
difinubun1993 Maryam
menarik seru
goodnovel comment avatar
Sriatin Pramana
suami selingkuh , mertua galak tinggal aja mending hidup sendiri
goodnovel comment avatar
Pini Andayani
greget lihat mertuanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 562

    Albert menatapnya tanpa berkedip. Senyum tipis muncul di wajahnya, bukan senyum menggoda seperti biasanya, melainkan senyum hangat yang jarang sekali terlihat. Diluar dugaannya, Aruna justru mengaku perasaannya sendiri.Ia mengulurkan tangan, perlahan menurunkan tangan Aruna yang menutupi wajahnya. “Jangan tutupi wajahmu. Aku ingin melihatmu saat kamu jujur.”Aruna terpaksa menatapnya lagi, meski matanya bergetar. “Jangan… jangan tertawakan aku, ya.”“Aku tidak akan menertawakan mu,” jawab Albert mantap. Ia lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, jarak wajah mereka semakin dekat. “Karena kenyataannya… aku juga merasakan hal yang sama.”Aruna membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat. “Ka-kamu… apa?”“Aku suka sama kamu, Aruna.” Suara Albert dalam, tenang, tapi penuh ketulusan. “Sejak awal ksmu sudah tahu perasaan ku, tapi kamu terlalu pandai berpura-pura tidak tahu. Malam ini… kita membohongi perasaan sendiri."Aruna nyaris tak bisa menahan air matanya. Rasa lega, bahagia, dan terkeju

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 561

    Suasana di dalam mobil kian hening, hanya terdengar suara mesin yang berdengung halus dan musik jazz lembut yang mengalun pelan dari speaker.Aruna memberanikan diri menggeser duduknya sedikit lebih dekat ke Albert. Ia pura-pura merapikan gaunnya, padahal sebenarnya ingin lebih dekat dengan pria itu.Albert melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat. “Apa kamu selalu segugup ini saat bersamaku?” tanyanya, nada suaranya terdengar santai tapi penuh godaan halus.Aruna buru-buru menggeleng, tapi wajahnya sudah merah padam. “A-aku nggak gugup… cuma… yah, aku belum pernah seperti ini sebelumnya.”“Seperti ini?” Albert mengulang, kali ini tatapannya tajam ke mata Aruna.“Pergi makan malam… denganmu.”Albert terdiam sebentar, lalu kembali tersenyum samar. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat tangan Aruna dan menyelipkan jemari gadis itu lebih erat ke dalam genggamannya. “Kamu tidak perlu gugup. Malam ini, cukup jadi dirimu sendiri.”Aruna hampir tidak bisa bernapas. Kata-kata sederha

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 560

    Jarum jam menunjuk tepat ke angka tujuh. Aruna masih berdiri di depan pintu dengan wajah frustasi. Tangan kirinya sibuk memainkan gelang berlian di pergelangan, sementara tangan kanan menekan layar ponsel yang kosong dari kabar. “Ya ampun… apa aku ditinggal beneran? Masa aku sudah dandan kayak Cinderella, tapi Pangerannya nggak datang?!” gumamnya sambil hampir menangis. Detik berikutnya—tok… tok… tok. Ketukan pelan di pintu apartemen membuat jantungnya hampir meloncat keluar. Aruna sampai menahan napas, matanya membelalak. “Ja-jangan bilang… itu….” Ia berlari kecil, hampir tersandung gaun panjangnya, lalu dengan gugup membuka pintu. Dan di sanalah, sosok tinggi dengan jas hitam elegan berdiri. Wajah Albert tenang, tatapannya tajam, dan senyum tipis terukir di sudut bibirnya. “Maaf terlambat,” ucap Albert singkat, padahal jam di dinding baru saja berdenting menandai pukul tujuh. Tepat waktu. Aruna terdiam. Matanya berkilau seakan-akan semua perhiasan yang ia pakai kalah terang di

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 559

    Malam itu kamar terasa lebih hangat dari biasanya. Eliza baru saja memastikan Violet dan Jasmin pulas di ranjang kecil mereka masing-masing, sementara Noah sudah terlelap di kamarnya. Saat anak-anak sudah tidur, rumah terasa begitu tenang, seperti hanya menyisakan dunia kecil untuk Nathan dan Eliza berdua.Ketika menutup pintu kamar, pandangan Eliza langsung bertemu dengan Nathan yang duduk di tepi ranjang. Senyumnya tipis, tapi sarat makna. Ada bahasa rindu di matanya, yang tak butuh kata untuk menjelaskannya.“Sweetheart…” panggilan itu lirih, namun suaranya dalam dan penuh kerinduan.Eliza melangkah mendekat. Belum sempat duduk, tubuhnya sudah ditarik ke dalam pelukan hangat suaminya. Pelukan itu erat, seolah Nathan takut istrinya menghilang jika dilepas.“Aku kangen sekali sama kamu,” bisiknya serak.Eliza tersenyum lembut, membalas pelukannya sambil membenamkan wajah di dada bidang Nathan. “Liza juga rindu, hubby… rasanya seminggu ini panjang sekali.”Nathan mengusap lembut rambu

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 558

    Pintu apartemen menutup pelan, meninggalkan keheningan yang menekan dada. Aruna berdiri mematung di ruang tamu, matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dilalui Albert.Entah kenapa, hatinya terasa begitu sesak. Tatapan Albert tadi... dingin. Bukan lagi hangat seperti biasanya. Seolah ada kecewa yang disembunyikan pria itu.Dengan langkah pelan, Aruna menuju sofa. Ia duduk tepat di tempat Albert tadi, lalu menatap koper besar di depannya.Tangannya bergetar ketika menyentuh resleting. “Oleh-oleh... untukku?” bisiknya, bibirnya bergetar tapi matanya berbinar.Begitu koper terbuka, matanya langsung membelalak. Kotak-kotak perhiasan tertata rapi di dalamnya. Ia membuka salah satunya, dan saat itu juga ruangan temaram dipenuhi kilau cahaya berlian biru yang begitu besar.“Ya ampun! Ini kayak yang di drama-drama Korea itu, lho! Masa iya aku beneran kayak cewek-cewek cantik yang tiba-tiba dikasih kalung miliaran?” Aruna sampai menutup mulutnya sendiri, takut teriakannya kedengaran tetang

  • Menjadi Ibu Susu untuk Anak Presdir   Bab 557

    Albert menaruh kopernya di ruang tamu apartemennya. Alih-alih beristirahat, ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian.Tubuhnya terasa sangat lelah dan lengket setelah seharian penuh berkutat dengan urusan bisnis di Jepang. Begitu semua selesai, ia langsung terbang pulang ke Jakarta bersama Nathan tanpa membuang waktu.Kini Albert mengenakan pakaian santai. Kaos polos dan celana pendek selutut. Penampilannya tampak segar, seolah lelah perjalanan panjang hilang begitu saja.Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya, lalu menyemprotkan parfum ke bajunya. Setelah yakin dirinya cukup rapi dan menarik, Albert keluar dari apartemen dengan menyeret koper besar. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu apartemen Aruna.Dengan sekali tekan bel, pintu segera terbuka. Albert sedikit terkejut, sebab biasanya Aruna membutuhkan waktu untuk membukakan pintu. Seolah kali ini wanita itu memang sudah menunggu di baliknya.“Boleh masuk?” tanyanya sambil mengangka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status