Perawat yang berada di dalam ruang NICU keluar memanggil dokter Rizki. "Dokter kondisi pasien semakin kritis."
Dokter itu beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke ruang ICU. Eliza sudah tidak berkata apa-apa lagi.Wanita itu hanya terus berdoa agar sang putra bisa selamat. Dia tidak sanggup dan belum mampu untuk ditingkatkan putranya.
Bahkan, saat hari sudah berganti, wanita itu tetap duduk di depan ruangan.Tulangnya sudah terasa lemas dan tidak sanggup untuk berdiri. Barulah ia merasakan denyutan nyeri di telapak kakinya saat efek bius menghilang.
Ceklek!
Seorang perawat tampak membuka ruangan NICU.
Hal ini membuat Eliza seketika berdiri.
"Sus, apa saya boleh masuk ke dalam?" tanyanya."Maaf Bu, kita harus menunggu dokter dulu. Ibu juga di minta ke kasir, untuk menyelesaikan administrasi."
"Baik, Mbak."Eliza menuruti perintah perawat untuk kasir.
Reaksi obat bius yang sudah mulai hilang membuat dia kembali merasakan sakit dan nyeri di telapak kakinya.Wanita itu lantas berjalan dengan menyeret kakinya yang terasa sangat sakti.
Tak butuh waktu lama, administrasi dengan cepat diselesaikan.Eliza kembali ke ruang NICU tempat anaknya dirawat dan dokter yang menangani putranya sudah di depan pintu NICU.
"Dok...?" Eliza bertanya dengan bibir gemetar, "Bagaimana kondisi anak saya?"
"Maaf, nyawa bayi, ibu tidak bisa tertolong."
Deg!
Mendengar perkataan sang dokter, jantung Eliza seakan berhenti berdetak. Penglihatannya mulai buram dan gelap. Dalam waktu beberapa detik, dia sudah tidak sadar.
Eliza dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan.Tim medis yang ada di rumah sakit, hanya bisa memandang ibu muda itu dengan rasa kasihan.
Setelah pingsan sekitar 1 jam, Eliza kemudian sadar. Dia memandang ke sekelilingnya dan melihat perawat berada di dalam ruangan tersebut. "Ibnu, Ibnu!" Eliza menangis histeris dan memanggil nama putranya. "Ibu, harus tenang," kata perawat. "Suster di mana anak saya? Anak saya tidak apa-apa kan sus? Anak saya sudah bisa saya bawa pulan kan sus?" Eliza bertanya dengan tersenyum. Namun cairan bening terus saja membasmi pipinya. Eliza yakin bahwa apa yang dikatakan dokter itu hanya mimpi. Atau dokter itu hanya sedang bercanda. "Tapi jika belum boleh di bawa pulang, tidak apa-apa juga. Saya tidak masalah jika bayi saya di rawat untuk beberapa hari. Jika dia sudah sembuh, saya akan bawa pulang." Elizabeth tersenyum memandang perawat yang berdiri di samping tempat tidurnya. Perawat itu diam beberapa saat. Meskipun tidak tega namun dia tetap harus mengatakan kepada ibu dari pasiennya tersebut. "Jenazah bayi sedang disiapkan untuk dibawa pulang," jawab perawat. Eliza menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar jawaban si perawat. "Anak saya pasti sehat, dia hanya demam." Eliza tertawa kecil. Dia terus menolak kenyataan yang ada. "Ibu harus tabah, apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi terutama ayah pasien?" tanya perawat. Jika kondisi ibu bayi, depresi seperti ini mana mungkin bisa mengurus jenazah. Eliza diam beberapa saat. Ini adalah suatu kenyataan yang harus dia terima. Dia harus bisa kuat demi anaknya. "Saya tidak punya keluarga sus, ayahnya juga sedang sibuk. Saya akan urus semuanya sendiri. Apa saya bisa di antarkan untuk melihat jenazah anak, saya?" Hatinya begitu terluka, atas apa yang di lakukan oleh sang suami. Menghubungi Sandy, juga tidak ada gunanya.Anaknya telah pergi!
Eliza juga tidak berniat meminta pria itu mengurus jenazah anaknya.
Diam-diam, perawat di samping Eliza merasa tidak tega. "Mari ibu saya antar.""Terima kasih sus," Eliza berjalan dengan tertatih. Meskipun perawat menawarkan kursi roda, namun dia menolak dan memilih berjalan sendiri.
Eliza melihat anaknya yang sudah di tutup kain putih. Kakinya terasa lemas ketika melihat bayinya yang berumur 3 bulan, sedang berbaring di atas tempat tidur. Secara berlahan dia membuka kain dan melihat wajah bayinya. "Nak, kenapa pergi tinggalkan ibu seperti ini. Ibu gak sanggup nak, benar-benar gak sanggup." Eliza menangis sambil memeluk anaknya. Mengapa saat dia mengalami hal berat seperti ini, dia harus menjalaninya sendiri? Sebenarnya, di mana kebahagiaan yang dijanjikan suaminya?Dulu Sandy datang ke desanya untuk melamarnya dan berjanji di depan ibunya, untuk membagikan Eliza. Namun ternyata pria itu ingkar!
Eliza terus menangis sambil memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa. Sedangkan perawat, hanya diam melihatnya. "Kapan saya bisa membawa anak saya pulang?" "1 jam lagi, apa ibu mau bayinya langsung dimandikan?" Eliza mengusap pipi bulat bayinya. "Tidak sus, saya ingin memandikan anak saya di rumah." "Apa ibu mau membawa bayi ibu pakai ambulan?" "Iya sus," jawabnya lemah. "Apa suster bisa membantu saya untuk mengurus administrasinya?" Eliza mengusap air matanya. Tubuhnya terasa lemas, dan tidak mampu untuk berjalan. "Baiklah tunggu sebentar," jawab si perawat. Perawat itu pergi dan kemudian kembali dengan membawakan kwitansi pembayaran. Eliza melihat nominal yang harus dibayar termasuk biaya mobil ambulans. "Suster uang saya hanya ada segini dan ini cincin saya sebagai jaminan. Nanti setelah anak saya selesai pemakaman, saya akan datang lagi ke sini untuk membayar sisanya." "Baik ibu," jawab si perawat yang kemudian pergi. Eliza terus menangis sambil memeluk putranya. Apa yang terjadi hari ini, seperti mimpi untuknya. Kemarin dia baru menyaksikan sang putra bisa telungkup dan kembali telentang. Pagi semalam dia masih melihat senyum bayinya belum tumbuh gigi. Tadi malam, dia juga masih mendengar suara tangis putranya. Namun pagi ini dia sudah melihat jenazah buah hatinya. "Ibu, ambulance nya sudah siap, mari saya antar ke parkir belakang." Eliza hanya menganggukkan kepalanya sambil mengendong anaknya. Dia masuk ke dalam mobil ambulans dan duduk di kursi depan.Duduk di dalam ambulance seperti ini mengingatkannya ketika sang ibu meninggal beberapa bulan yang lalu.
Namun sekarang dia kembali duduk di dalam mobil ambulans membawa putranya....
***Tiba di rumah, beberapa tetangga terkejut akan kedatangan Eliza.
Terlebih, mendengar raungan Eliza terhadap sang putra.
"Ibnu, ayo bangun nak, ini sudah jam mimik."
Kebetulan, air susu Eliza keluar dengan deras hingga membuat daster yang dipakainya basah. Biasanya jika seperti ini, maka ini sudah jadwal putranya meminum ASI.
Tapi, putranya justru terbujur kaku.
"Nak, jangan tinggalkan ibu di rumah ini sendiri. Ibu suka takut kalau sendiri di rumah." Eliza menangis pilu.
Suara tangisnya membuat orang yang mendengar tidak tega dan ikut menangis.
"Ibu tidak sanggup kalau Ibnu pergi. Siapa nanti yang menemani ibu tidur kalau malam?"
Suami Eliza sangat jarang pulang. Dalam satu Minggu, hanya satu hari di rumah. Selebihnya di luar kota, katanya.
Wanita paruh baya yang merupakan tetangga Eliza mencoba untuk menenangkan wanita muda itu.
"Eliza, sabar nak."
Namun, Eliza terus menangis dan meratapi nasibnya. "Kenapa Ibnu tinggalkan ibu sendiri, Nak, ayo bangun."
"Ada apa ini?"
Suara pria yang sangat dikenal Eliza tiba-tiba terdengar.
Sandy, sang suami, tampak masuk ke dalam rumah dengan kaki yang terasa begitu lemas.
Melihat wajah putranya yang seperti sedang tertidur membuat dia kembali menangis.
Sedangkan wanita yang ikut bersama dengannya, duduk di samping Sandy sambil memeluk tubuh pria tersebut.
Terlihat jelas bahwa wanita itu menunjukkan bahwa dia sangat perduli terhadap Sandy. Tanpa menghiraukan Istri Sandy yang saat ini terpukul karena kehilangan anaknya.
"Sayang, apa yang terjadi? Mengapa anak kita meninggal?" Sandy tiba-tiba memegang tangan Eliza. Namun wanita itu menepis tangannya dengan kasar.
Marah, kecewa dan sakit akan kehilangan membuat Eliza begitu membenci suaminya.
Orang-orang yang berada di dalam rumah menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara tangis dan teriakan dari sana. Beberapa orang wanita dan pria kembali masuk ke dalam rumah.
Mereka adalah mertua dan saudara ipar Eliza!
"Apa yang terjadi terhadap cucuku, mengapa cucuku bisa meninggal?"
Mertua Eliza datang dan langsung membentaknya keras!
Eliza sendiri hanya menatap kosong. Jiwanya seolah sudah tak ada di situ.
Hal ini membuat sang mertua semakin murka. "Dasar wanita kampung tidak berguna. Hanya mengurus satu anak saja kau tidak bisa!" bentaknya, lalu menarik rambut Eliza di depan mayat cucunya....
Drone berhenti dengan sangat pelan tepat di depan mobil hitam yang sudah terparkir di balik deretan pohon pinus, sekitar dua kilometer dari vila.Udara malam terasa menusuk tulang, tapi hanya satu orang yang tampak benar-benar kesal: Samuel.Ia memandang Michael dengan dahi berkerut. “Seharusnya drone tidak perlu terbang sejauh ini,” gerutunya. “Aku hampir kehilangan sinyal!”Michael hanya tersenyum lebar, turun dengan tenang. Setelah itu ia menundukkan tubuhnya, agar Yura bisa turun dengan mudah.“Alatmu ini masih dalam tahap uji coba, kan? Jadi anggap saja aku berbaik hati jadi kelinci percobaannya,” ucapnya santai sambil menepuk bahu Samuel.Samuel memutar bola matanya. “Kelinci percobaan tidak biasanya berciuman di udara, Michael.”Yura menunduk, wajahnya memerah. “Aku juga bilang begitu… tidak perlu sejauh ini,” katanya pelan, masih berusaha mengatur napas setelah udara dingin di ketinggian. Nafasnya naik-turun cepat, dan wajahnya tampak pucat.“Calon suamimu yang ingin terbang l
Michael menegang. Leonard muncul dari pintu kamar Yura, berjalan tenang, tangan santai. Di belakangnya, dua figur tegap muncul, wajah mereka datar, senjata terjaga.Leonard tersenyum miring, menepuk bahu seorang anak buahnya. “Mereka berani itu yang membuatnya menarik.”Leonard memang terkenal rada gila dan suka bermain-main. Namun hal ini yang membuat Michael kesal.Michael melangkah menghalangi tubuh Yura. Matanya redup seperti bara. “Turunkan senjatamu, Leo. Kita bisa selesaikan ini tanpa darah.”Leonard mencondongkan badan, matanya menyapu ruangan. “Kau selalu optimis. Tapi begitu kau bergerak, kau kehilangan hal-hal yang paling kau sayangi.” Ia melambaikan tangan ke arah petugasnya. “Ambil mereka.”Michael tersenyum samar. Ia berbisik kepada Yura. "Naik ke atas punggung ku."Yura sangat takut, namun tetap saja menurut. Ia naik ke atas punggung Michael yang membungkuk. "Sialan, kau ingin pamer kemesraan?" Leonard berkata dengan kesal. Di saat seperti ini, Michael masih saja menge
Kabut di sekitar villa semakin tebal. Meskipun sudah memakai jaket kulit, namun wajah serta telapak tangan tetap saja terasa sangat dingin. Michael dan Samuel bergerak cepat, tubuh mereka nyaris menyatu dengan bayangan pohon-pohon pinus.Setiap langkah terasa seperti perjudian antara hidup dan mati.Hanya suara gesekan sepatu dengan tanah dan hembusan napas mereka yang terdengar samar.Samuel menatap layar kecil di pergelangan tangannya. Garis-garis biru bergerak halus, peta hidup dari seluruh penjaga yang berpatroli di area vila.“Empat orang di sisi timur, dua di balkon atas, satu di dekat generator,” bisiknya pelan.“Kalau kita melangkah sepuluh meter lagi, mereka bisa mendengar detak jantungmu.”Michael menoleh singkat, ekspresinya dingin tapi tegang. “Aku tidak akan membiarkan mereka mendengarnya.”Dalam sekejap, ia mengeluarkan pisau hitam kecil dari dalam saku rompinya, senjata tanpa pantulan cahaya, tajam dan senyap.Langkah-langkah mereka berhenti tepat di balik pagar kawat.
Suara roda pesawat yang menyentuh landasan terdengar berat dan panjang. Lampu-lampu landasan memantul di jendela kabin, menandai bahwa pesawat baru saja mendarat di Bandara Internasional Kertajati, Majalengka. Michael melepas sabuk pengamannya bahkan sebelum pesawat benar-benar berhenti. Sementara di kursi seberangnya, Samuel masih memantau layar hologram kecil di tangannya, menampilkan peta tiga dimensi kota Bandung, dengan beberapa titik berwarna merah yang berkedip. “Aku sudah aktifkan sistem pelacak dari jaringan lokal,” ucap Samuel cepat, suaranya rendah tapi tegas. “Sinyal dari alat pengaman di anting Yura masih stabil. Tapi tekanan nadinya meningkat hampir dua kali lipat dari normal. Dia tidak tidur.” Michael mengerutkan kening. Jemarinya mengepal kuat di atas lutut. “Sudah hampir tengah malam di sana… dia pasti ketakutan.” Tanpa menunggu instruksi apa pun, Michael berdiri dan mengambil jaket hitamnya. Langkahnya cepat, tajam, seperti pria yang tahu waktu tak b
Hening. Begitu pintu kamar tertutup, suara derit kecil dari engsel membuat bulu kuduk Yura meremang. Leonard berdiri di ambang pintu, punggungnya bersandar santai pada kusen kayu, tatapannya menelusuri wajah Yura dengan pandangan yang sulit ditebak. Senyum miring terlukis di bibirnya. “Ternyata selera si Michael itu… sangat bagus,” ucapnya dalam bahasa Inggris yang terdengar halus namun dingin. “Pantas saja dia tidak pernah tertarik pada wanita manapun. Rupanya dia sudah memiliki gadis secantik kau.” Yura hanya diam. Tatapannya menatap lurus ke arah pria itu, mencoba menyembunyikan ketakutan yang perlahan merayap di dadanya. Leonard berjalan beberapa langkah mendekat, suaranya tetap tenang. “Apa kau tahu, Yura? Ada begitu banyak wanita yang menginginkan Michael. Mereka rela melakukan apa saja… bahkan menghancurkan diri sendiri hanya untuk menarik perhatiannya.” Nada bicaranya seperti seseorang yang sedang bercerita, bukan mengancam. Namun di balik kelembutan suaranya, ada ha
Angin di luar villa berhembus lembut.Yura berdiri di dekat jendela, memandang ke luar. Dua pria berseragam hitam tampak berjaga di halaman depan, tapi anehnya… mereka tidak terlihat seperti penjaga. Lebih seperti pengamat.Mengapa penjagaannya tidak seketat yang kubayangkan? batinnya bertanya.Ia melangkah perlahan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil cangkir teh yang sudah dingin. Dalam ketenangan itu, dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menatapnya dari kejauhan.Lalu… suara kecil terdengar.Bukan dari arah pintu, bukan dari luar. Tapi dari telinganya sendiri.“Yura, ini aku… Samuel.”Yura terhenti. Matanya membulat, napas tercekat. Ia menatap ke kanan–ke arah anting kecil berbentuk bunga yang menempel di telinganya.“Coba jangan bicara,” suara itu terdengar lagi, tegas namun terkendali. “Di dalam kamarmu ada CCTV tersembunyi. Jangan menunjukkan reaksi apapun. Pura-pura saja sedang menikmati teh. Kau sedang dipantau, jadi jangan bertindak mencurigakan.”Degup jantung