LOGINDi sebuah apartemen modern di Tokyo, malam baru saja turun.Lampu kota menyala berkilau di balik jendela kaca besar. Sherly duduk santai di sofa kulit putih, mengenakan kimono modern tipis. Di tangannya, segelas wine merah—gerakan anggunnya kontras dengan sorot mata yang dingin.Ponselnya bergetar.Nomor asing.Sherly mengangkatnya tanpa tergesa.“Hello?” jawab Sherly.“Saya Nathan.” Suara Nathan terdengar di seberang sana. Tenang. Formal. Tanpa emosi berlebihan.Sherly terdiam sesaat. Jujur, ia sangat terkejut dan tidak menyangka bahwa mantan suaminya itu akan menghubunginya.Hal ini yang membuat ia tertarik. Apakah ada hal serius?“Ah,” katanya sambil tersenyum tipis.“Nathan, nama yang sudah lama tidak kudengar.”Nathan tidak menanggapi nada itu.“Saya menelepon untuk memberi tahu satu hal.”Sherly menyandarkan punggung, menyilangkan kaki.“Mendadak sekali. Tentang apa?” Wanita itu berbicara dengan suara yang sangat halus dan mengoda.“Anak kita,” jawab Nathan lugas.Gelas wine di
Rumah mewah milik Albert, pagi itu terasa hidup.Aroma teh hangat bercampur wangi bunga segar memenuhi ruang tengah. Para pelayan lalu-lalang dengan langkah ringan, membawa baki berisi handuk hangat, botol skincare, hingga kotak-kotak kecil bertuliskan merek asing.Dan di tengah semua itu—Violet…sibuk.Sangat sibuk.Ia berdiri di samping sofa panjang, memperhatikan perawat kecantikan yang sedang menyiapkan perawatan wajah. Sesekali ia mengangguk, sesekali bertanya dengan nada serius.“Yang ini dipakai sebelum masker, kan?”“Iya, Nona.”“Oke, jangan kebalik ya.” Violet mengingatkan."Tentu." Wanita berambut pirang itu tersenyum memandang Violet yang cerewet. Wanita itu seorang tenaga ahli di bidang kecantikan, mustahil rasanya jika akan terbalik mengurutkan perawat wajah tersebut.Rambut Violet disanggul asal. Wajahnya polos tanpa riasan. Fokusnya hanya satu: persiapan jadi pengantin.Sementara itu…Ponsel Violet berada di tangan orang yang sama sekali tidak merasa bersalah.Eliza.W
Mansion Michael terasa… asing.Terlalu besar.Terlalu sunyi.Samuel berdiri di tengah ruang keluarga dengan rambut acak-acakan, kemeja kusut dengan kerah naik ke atas. Entah sudah berapa hari kemeja itu melekat di tubuhnya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mandi. Mungkin saja sekitar dua hari? Biasanya, mansion ini ramai. Bahkan terlalu ramai.Ada Violet yang mondar-mandir dengan wajah penasaran. Ada tawa kecilnya. Ada suara langkah ringan yang selalu membuat Samuel refleks menoleh.Sekarang—tidak ada.Samuel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menyandarkan kepala ke belakang. Tatapannya kosong menatap langit-langit tinggi.“Baru dua hari,” gumamnya lirih. “Cuma dua hari.”Namun rasa rindu membuat dadanya terasa sesak.Ia meraih ponsel di meja. Membuka layar. Menutupnya lagi.Tidak ada pesan baru dari Violet.Padahal biasanya, belum satu jam saja, gadis itu sudah mengirimkan sesuatu. Foto gaun. Emoji aneh. Atau sekadar bertanya, "Mas lagi ngapain?"Samuel sudah mengirim pesan b
Eliza menghela napas panjang untuk kesekian kalinya sore itu.Ia berdiri di dekat jendela mansion Michael, menatap taman luas di bawah sana, namun pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan kelakuan putranya dan calon menantu terus berputar di kepalanya.“Ya Tuhan…” gumamnya pelan. “Kenapa anakku makin ke sini makin berani…”Langkah kaki terdengar mendekat.Nathan muncul sambil membawa dua cangkir teh hangat. Wajahnya santai. Terlalu santai untuk seseorang yang istrinya sedang hampir migrain.Ia menyerahkan satu cangkir ke tangan Eliza. “Minum dulu. Kamu kelihatan seperti mau menegur satu mansion sekaligus.”Eliza menoleh cepat. “Mas tahu kenapa aku pusing?”Nathan duduk tenang di sofa. “Karena Noah?"“Dan Aishwa,” Eliza menambahkan cepat. “Dua-duanya. Itu bukan lagi ‘curi-curi waktu’, itu sudah level… berbahaya. Bukan hanya Noah dan Ais saja, Samuel dan Violet juga mas. ”Nathan mengangkat alis. “Berbahaya bagaimana?”Eliza menatap suaminya dengan ekspresi antara kesal dan frus
Aishwa langsung refleks menarik lengan Noah. Matanya membesar.Noah berbisik cepat, “Lihat? Mommy seperti punya radar pelacak.” Ia membuka pintu dengan wajah terlalu tenang.“Iya, Mi?”Eliza menatap mereka bergantian. “Kalian ngapain di sini?”Noah tersenyum polos. “Diskusi… masa depan.”Eliza menyipitkan mata. “Diskusi kok mukanya merah?”Noah langsung melirik Aishwa. “Karena masa depan kami cerah, Mi.”Aishwa hampir tersedak.Eliza menghela napas panjang. “Kalian sebentar lagi menikah. Untuk sementara tidak boleh terlalu dekat. Apa lagi berdua-duaan seperti ini."“Iya, Mi,” jawab Noah patuh.Begitu Eliza pergi—Aishwa menepuk dada. “Hampir ketahuan!”Noah tersenyum puas. “Tuh kan. Deg-degan bareng.”Aishwa mendongak, kesal tapi tersenyum. “Mas tuh bikin jantung aku copot.”Noah menunduk sedikit, suaranya melembut. “Aku bukan bikin jantung kamu copot. Tapi aku bikin kamu enak.”Aishwa terdiam. Lalu tersenyum malu.Dan di tengah mansion yang penuh mata itu,dua calon pengantin kembal
"Sayang, kamu benar-benar menguji ku." Noah berkata sambil menahan diri."Ini bukan ujian mas, tapi rasa penasaran."Jawaban jujur Aishwa membuat tubuh Noah membeku.Bukan karena kaget— tapi karena jawab Aishwa yang terlalu jujur. Noah menutup mata sejenak. Menarik napas dalam-dalam.Seperti orang yang sedang membaca doa dalam hati.“Sayang,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan berat, “kamu benar-benar mengujiku.”Calon istrinya yang genit ini sangat pandai membuat Noah tidak bernapas. Otaknya masih bisa berpikir jernih, namun bagaimana dengan tubuhnya? Aishwa yang baru sadar apa yang ia katakan, langsung panik.“E-eh… maksudku—bukan gitu—”Noah membuka mata. Menatapnya dengan senyum yang… bahaya.“Oh, aku tahu maksudmu,” katanya santai. “Dan itu masalahnya.”Aishwa menelan ludah. “Mas jangan senyum kayak gitu…”“Kenapa?” tanya Noah sambil menatap Aishwa. “Kayak mau bikin dosa.” Aishwa menjawab dengan gugup. Jantungnya berdebar dengan cepat. Apa lagi melihat cara Noah menatapnya.







