Almora seketika mengalihkan pandangan.
Belum ada dua puluh empat jam, pria itu sudah melupakan aksi bejatnya?
Semudah itu baginya melupakan apa yang telah dia lakukan. Perempuan selalu saja dianggap seperti ampas tebu. Habis manis, sepahnya dibuang.
Calderon terus menatap Almora tajam. "Kenapa kau—""Apa semua laki-laki suka lupa dengan keburukan yang telah dia lakukan?" sela Almora cepat. Mata berkaca-kacanya menatap Calderon. "Kenapa kalian suka sekali menjadi bajingan?"
Pria itu terdiam. Diamatinya pakaian perempuan yang berceceran di lantai dan juga pakaian miliknya. "Saya pikir kamu Camelia," ucapnya kala menyadari sesuatu.
Almora tidak menghiraukannya. Dia menarik selimut itu seraya beranjak dari ranjang. Persetan dengan Calderon yang telanjang, kini Almora hanya ingin keluar dari ruangan ini. Dia mengambil bajunya yang berserakan di lantai, lalu membawanya ke kamar mandi. "Saya harap kita tidak bertemu lagi," tandas Almora kala keluar dari kamar mandi. Kebetulan Calderon sudah mengenakan pakaiannya. "Tunggu," sergah Calderon menyambar pergelangan tangan Almora. "Tolong jangan bilang pada siapapun tentang kejadian ini. Saya akan memberikan uang tutup mulut."Hahahaha...
Rasanya, Almora ingin tertawa. Sayang, tenaganya tak ada.
Tentu saja pria ini tidak ingin reputasinya hancur?Dia pasti orang terpandang dan punya pengaruh besar di negara ini.
"Tenang saja, semuanya akan aman," sinis Almora cepat.
"Berapa uang yang kamu inginkan?" Lagi, pria itu bertanya, tetapi Almora menatapnya begitu tajam "Terima kasih, tapi saya tidak butuh uang anda, Tuan. Saya datang ke tempat ini bukan untuk menjual diri," jelas Almora menyentak lengannya dan berlalu meninggalkan Alderon di kamar itu sendirian. *** "Kenapa baru pulang? Keenakan tidur sama om-om?" Pertanyaan Perl—ibu tirinya—menyambut kepulangan Almora. Di depan pintu, wanita itu berkacak pinggang dengan tatapan sinis dan senyum remeh.Almora hanya melirik sekilas, lalu mendorong Perl agar menyingkir dari pintu.
"Dasar anak kurang ajar!" teriak Perl tidak terima. Dia bergegas menyusul Almora. "Bagaimana? Berhasil?" tanyanya lagi. Almora menahan langkah. Napasnya turut tertahan bersamaan dengan kedua tangan yang mengepal di sisi tubuh. "Saya tidak percaya ada wanita sejahat anda. Bisa-bisanya anda menjebak saya." Perl tertawa sinis. Dia menatap punggung ringkih putrinya. "Ayolah, itu bukan jebakan, Almora. Itu adalah salah satu cara agar kita bisa bertahan hidup." "Kenapa bukan anda saja yang melakukannya?" hardik Almora. Membahas masalah ini mengingatkan Almora pada kesuciannya yang telah hilang. Mengingatkan Almora pada pria bermata abu. Pria bernama Calderon Mosaka. "Jawab saja, Almora. Apakah berhasil?" Almora menarik napas dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Gagal." Mata Perl kontan membelalak. "Apa?!" "Saya gagal dan saya tidak akan melakukannya lagi!" tandas Almora melanjutkan langkah menuju kamarnya. "Hei! Bagaimana bisa? Kita akan dibunuh Tuan Sam!" teriak Perl. "Bukan kita, tapi anda." Tak lama setelahnya, terdengar suara pintu digedor. Gerakannya kasar, mungkin tamu yang datang tak sabar untuk bertemu si pemilik rumah. Perl membiarkan Almora berlalu. Dia akan mengurus gadis itu nanti. Kini tamu yang tak sabaran jauh lebih penting. Perl berjalan menuju pintu, lalu menariknya hingga terbuka lebar. "Tuan Sam?" Mulut Perl ternganga. Wajah Tuan Sam terlihat tidak bersahabat. Perl yakin ini menyangkut Almora yang gagal. "Apa kamu sengaja menjebak saya?" tuding Tuan Sam tanpa basa-basi. "Apa maksud, Tuan?" tanya Perl sedikit gugup. "Gadis itu kekasih Calderon. Dia memergoki saya tadi malam. Untung saja pria itu berbaik hati dan membiarkan saya pergi," jelasnya sedikit kesal. Calderon sialan itu membuat malamnya menjadi suram. "Calderon?" beo Perl merasa asing dengan nama itu. Tuan Sam berdecak. "Sudahlah! Saya tidak peduli! Kamu harus segera melunasi hutang mu dalam kurun waktu dua minggu. Kalau tidak, kamu dan anak mu akan mati." Perl menggeleng cepat. "Tuan, itu terlalu cepat. Darimana saya akan mendapatkan uang sebanyak itu?" "Saya tidak peduli, Perl. Saya tidak mau tau bagaimana caranya agar hutang kamu lunas. Kalau saja rencana tadi malam tidak gagal, mungkin hidup mu akan tenang sekarang," tukas Tuan Sam. Perl gusar. Bagaimana caranya agar hutang mereka lunas dalam waktu dua minggu? Perl tidak punya pekerjaan tetap. Suaminya yang telah mati juga tidak meninggalkan warisan. Mereka miskin. Dan Almora juga tidak bisa diharapkan. Ah, tidak ada yang bisa membantu mereka sekarang. Tuan Sam menatap Perl dengan satu alis terangkat. "Kalau kamu mau, silahkan mengemis pada Tuan Calderon untuk meminta imbalan atas apa yang dia lakukan pada putri mu." Kening Perl berkerut. "Maksudnya?" "Kamu harus meminta uang pada Tuan Calderon karena dia telah meniduri putri mu. Tentu ada harga untuk hal itu, kan?" Meminta uang pada Tuan Calderon? Bagaimana cara Perl melakukannya? Dia tidak mengenal pria itu. "Bawa putrimu dan kamu akan mendapatkan banyak uang," sambung Tuan Sam membuat Perl menatapnya tidak mengerti.Optima 434.Calderon berdiri di balkon, menatap hamparan kota di bawah kukungan langit biru. Kota tampak begitu jelas, seperti susunan rumah di game minecraft. Ini adalah bagian paling menyenangkan saat berkunjung ke Optima. Calderon bisa merasa tenang hanya dengan melihat bangunan-bangunan itu."Tumben mengajak saya ke sini," kata Max yang muncul dari balik punggung Calderon. Dia memang meminta pria itu untuk datang juga. Membosankan rasanya bila hanya sendirian di flat ini."Tidak suka?" Calderon menatap pria itu tajam. Selalu saja berkomentar. Nurut saja apa susahnya?"Suka, tapi kan aneh."Calderon mengabaikan. Dia memilih mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Dia tidak bisa leluasa merokok di rumah. Selain karena dilarang Nyonya besar, keberadaan Camelia yang sedang hamil juga menjadi alasannya. Calderon tentu tidak ingin anak itu meregang nyawa karena bapak tirinya hobi menghembuskan asap nikotin."Masih ngerokok?" heran Max.Calderon menyelipkan rokok itu di bibirnya l
Camelia rasa tubuhnya sudah agak mendingan. Tadi pagi hanya sedikit pusing karena tidur terlalu lama, tapi Calderon dan seluruh manusia di rumah itu menganggap dirinya sedang demam tinggi. Padahal hanya butuh berbaring sebentar, Camelia bisa pulih.Usai makan siang, Camelia berencana untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sudah lama Camelia tidak berkunjung ke rumah. Kedua orang tuanya juga jarang memberi kabar seolah lupa dengan anaknya yang satu ini."Mau kemana?"Langkahnya dihadang oleh Calderon yang tiba-tiba muncul. Berdiri di depan pintu utama seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ah, magic. Pria itu penyihir. Sekejap di kamar, sekejap di ruang kerjanya dan sekejap lagi ada di depan mata."Ke rumah orang tuaku." Camelia menatap Calderon.Salah satu alis pria itu terangkat. "Sendiri?""Memangnya kamu mau ikut?" tanya Camelia, sangsi. Calderon benci sekali dengan ayahnya. Mana mungkin pria itu mau ikut dengannya bertemu mama dan papa.Sesuai dugaan, Calderon menggelengkan
"Kenapa? Apa sudah kalian temukan bajingan itu?" tanya Calderon melihat beberapa anak buahnya datang dengan napas tak beraturan. Mereka berlari dari gerbang utama seperti dikejar anjing gila.Yang paling besar, mengangkat tangan pertanda butuh beberapa detik untuk bisa bernapas normal. Yang satu lagi, menatap Calderon dengan napas yang mulai teratur. Apa yang mengejar sampai bernapas saja terlihat sulit? Roh mereka seakan tercabut dari tubuh hanya karena berlari dari gerbang."Ada berita buruk." Kalau tidak salah namanya Rob, entah Robert entah Roblok. Calderon tidak bisa mengingat nama-nama anak buahnya.Berita buruk sudah menjadi makanan sehari-hari Calderon. Jadi, dia tidak terkejut bila akan ada kabar buruk lagi yang dia dengar."Apa?""Ternyata Kaleo punya hubungan kerja sama dengan kartel di Kroasia," jawab Rob.Ah, masalah kartel lagi. Calderon malas sekali mengurus orang-orang yang terlibat kartel. Hal itu benar-benar memuakkan."Kroasia? Ada kartel di sana?" tanya Calderon. D
Calvin beringsut menaiki tempat tidur, merebahkan tubuh di sebelah Almora yang sudah lebih dulu berbaring. Mereka tidak punya kegiatan apapun lagi sebab tadi siang sudah menghabiskan banyak waktu dengan bermain game dan menonton beberapa film komedi rekomendasi dari Calvin sendiri. Sebenarnya Calvin masih punya beberapa pekerjaan yang mesti diselesaikan. Akan tetapi dia merasa tidak tenang jika Almora belum tidur. Pekerjaan yang menumpuk itu bisa diselesaikan nanti atau saat mepet deadline. Namun menemani Almora tidur tidak sama dengan pekerjaan yang bisa ditunda."Mau dibacain dongeng apa?" Calvin menatap Almora sembari mengembangkan sebuah buku cerita."Kamu pikir aku anak kecil?" Almora balik menatap Calvin. "Eh, itu buku dongeng siapa yang kamu curi?""Enak aja." Calvin menutup buku cerita dengan judul kisah petualangan seru kancil dan teman-temannya. "Ini aku beli di Indonesia. Sudah lama sih."Almora tertawa pelan. "Kok bisa kepikiran buat beli buku dongeng itu? Mana judulnya m
"Bayinya sehat. Ibunya juga sehat."Senyum di wajah Calvin tak luntur kala kalimat dokter yang memeriksa Almora tadi pagi terus bergema di kepalanya. "Bayinya laki-laki."Semakin senang hati Calvin mendengarnya. Bayi mereka laki-laki. Terlepas dari siapa sebenarnya ayah kandung dari bayi itu, untuk saat ini yang bertanggung jawab dan akan mengemban peran bapak adalah dirinya. Tentu saja Calvin bersuka cita mendengar kabar baik itu.Ibunya sehat, bayinya sehat dan bayinya laki-laki."Bahagia banget kayaknya," ucap Almora. Matanya tak luput dari wajah pria yang sedang berkutat di pantry itu. Katanya dia ingin memasak makan siang untuk Almora. Sekalian mencoba resep baru untuk kue yang tadi malam baru saja diriset oleh pria itu.Dia produktif sekali jadi suaminya. Dan semenjak kehamilan Almora memasuki masa menuju pembukaan, pria itu memutuskan bekerja dari rumah saja. Katanya dia takut meninggalkan Almora di rumah sendirian.Calvin sangat siap untuk menjadi seorang suami."Iya dong. An
Katanya tidak cinta, tapi begitu menemukan Camelia di dekat salon, Calderon langsung memeluknya. Dia cemas kala tau Kaleo berkeliaran di sekitar mereka. Entah kenapa, disaat Tuan Saka berkata Kaleo ingin kembali merebut Camelia, ada rasa khawatir yang luar biasa dalam diri Calderon. Mungkin karena Calderon tau bahwa kemunculan Kaleo adalah alarm bahaya bagi Camelia. Pria itu memang ayah kandung dari bayi yang Camelia kandung tapi mengingat bagaimana sepak terjangnya sebagai manusia, Calderon tidak bisa menyerahkan Camelia pada pria itu."C-Cal, are you okay?" Camelia yang dipeluk secara tiba-tiba jelas terkejut. Calderon masih belum melepaskan pelukannya. "Saya pikir kamu kenapa-kenapa."Setelah berminggu-minggu pernikahan mereka, ini kali pertama Calderon menunjukkan kepeduliannya secara tulus. Bukan karena terpaksa, bukan karena ayahnya, bukan karena orang-orang dan media yang meliput mereka tapi karena diri Calderon sendiri. Camelia terharu melihat Calderon mengkhawatirkannya. Ini