Degg!
Seketika detak jantung Ana seakan terhenti. Raut wajahnya kembali khawatir. “Tapi Pak, kenapa harus saya. Buat apa menikahi saya secara hukum dan agama. Kalau memang butuh baby sitter kenapa tidak menjadi orang yang ahli saja. Saya tidak punya pengalaman dalam hal ini," lirih Ana mencoba mengelak. “Sudah, lakukan saja tugas yang saya perintahkan. Kamu telah saya beli dengan harga mahal," titah Arka. “Pak, beri saya satu kesempatan. Saya hanya ingin melanjutkan pendidikan saya,” protes ana. Dia masih bersikeras menolak. Hati Ana terasa begitu sakit. Baru saja dia merasa bahagia karena dinikahi oleh seorang laki-laki kaya yang terlihat masih muda. Namun kenyataannya sangat pahit. Ternyata laki-laki itu sudah mempunyai anak. “Lakukan saja apa yang saya mau, Ana!” kelakar Arka lalu meninggalkan Ana berdua dengan anak Gio. Ana tak dapat melawan. Dia hanya bisa membatin, rasanya percuma membantah ucapan seorang Arka. Ana hanya melihat Gio dengan dekat. Rasanya begitu lelah. Hal yang tak pernah dia bayangkan adalah menjadi seorang baby sitter. Tiba-tiba seorang perempuan berwajah mirip dengan Arka memasuki rumah mewah itu. Ana masih terdiam diluar kamar memperhatikan Arka yang mendekati perempuan itu. Namun perempuan itu langsung menunjuk ke arah Ana. “Jadi kamu, istri baru Arka?” ucap perempuan itu dengan raut penasaran. Ana diam mematung, dia tak kenal dengan perempuan itu. Dia terlihat bingung. Lalu Arka menengahi mereka. “Mama. Ini Ana, istri Arka,” ucap Arka tiba-tiba menggandeng tangan Ana. Veni melihat tampilan Ana dari atas sampai bawah. Dia terlihat tidak suka dengan penampilan Ana yang sangat terlihat biasa saja. “Setelah menikahi perempuan sombong, sekarang kamu malah menikahi perempuan miskin. Selera kamu selalu rendahan, Arka!” sindir Rika sambil menatap Ana dengan sinis dan tak suka. Arka lalu memegang tangan Ana dengan lembut. “Sudah Ma, ini pilihan Arka,” ucap Arka dengan dingin. Ana terkesiap dan sedikit kaget melihat tangan Arka memegang tangannya. Ana memilih diam diantara kedua orang itu. Dia mencoba melirik ke sekitar yang ternyata banyak penjaga di kawasan rumah elit itu. Rika menghampiri Ana. “Kamu perempuan miskin, sudah lakukan apa saja untuk membujuk anak saya agar menikahi kamu?” gertak perempuan berpenampilan mewah itu. Ana tertegun dibuatnya. “Maaf, Bu. Saya tidak pernah melakukan apapun untuk Pak Arka,” lirih Ana sedikit ketakutan. Dia sambil melirik Arka yang terlihat tenang. “Bohong, pasti kamu hanya mau harta anakku saja kan? Jujur kamu. Asal kamu tau ya, Arka ini gak akan pernah jadi seperti sekarang kalau tanpa Aku dan papanya. Camkan itu! Jadi kamu jangan berharap lebih meskipun sudah diperistri olehnya,” ungkap Rika dengan pandangan merendahkan. Ana hanya menunduk dalam. Lebih baik dia diam saja daripada semakin direndahkan. Arka pun mengusap bahu Ana dengan lembut. “Ma, pintu keluar ada disana. Silakan Mama pergi dari rumah Arka,” ucap Arka menunjukkan sebuah pintu besar dan megah. “Tega kamu dengan mama kamu sendiri, Arka. Mama pastiin nanti kamu yang akan datang ke mama dan menyesal dengan pilihan kamu ini,” sungut Rika membuang pandangannya lalu pergi meninggalkan rumah itu. Setelah kepergian mamanya, Arka langsung menatap Ana dengan tajam dan melepas tangan Ana. “Kembali ke dalam, kamu harus menjaga anak saya,” tunjuk Arka dengan murka. “Maaf pak,” ujar Ana menunduk. Ana tak ada pilihan lain saat melihat wajah amarah dari Arka. Mungkin Ana banyak kecewa setelah ucapan Arka dan mamanya barusan. Arka lalu melanjutkan aktivitasnya. Dimana di luar rumahnya sudah ada beberapa penjaga kepercayaannya. Ada Bang Bewok yang ikut menyusulnya. Bang Bewok merupakan bodyguard Arka sejak dia kecil. Dan setelah Arka dewasa, Bang Bewok tetap ikut dengannya menjadi bodyguard dan kepercayaannya. Jadi Arka begitu dekat dengan bang Bewok. Hingga suatu hari Arka dengan terpaksa meminta bang Bewok untuk mencarikan gadis baik-baik dari desanya. Untuk dinikahkan dengannya. Arka bisa saja menyewa baby sitter lain, tapi dia ingin anaknya dapat perawat yang memang benar-benar baik dan tulus. Jadilah Arka membeli Ana dan menikahinya agar Ana bisa dekat dengan sang anak dan bisa menganggap Gio sebagai anaknya sendiri. Malam harinya, setelah Ana berhasil menidurkan dengan berbagai cara sebab Gio banyak sekali alasannya agar tak tidur. Lalu Ana beranjak ke arah dapur. “Ternyata susah juga ya nidurin anak kecil,” lirih Ana mengeluh. Dia sambil meneguk segelas air putih. “Pembantu masih datang besok. Kalau mau makan kamu masak sendiri," ucap Arka yang tiba-tiba datang dari lantai dua. Ana melihat sekilas lalu mengangguk. “Maaf Pak Arka, kamar saya di sebelah mana ya?” tanya Ana kebingungan. Pasalnya dia belum membereskan pakaiannya yang dia bawa. “Ya kamu satu kamar dengan Gio,” jawab Arka langsung duduk di kursi santai. “Lalu pak Arka dimana kamarnya?” tanya Ana lagi. "Lantai dua," ucap Arka. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya. "Kita tidak satu kamar ya, Pak?" tanya Ana dengan polosnya. "Jelas tidak, disini kamu hanya pengasuh buat anak saya. Bukan sebagai istri," ucap Arka dengan tegas. Kesibukannya tidak teralihkan dari kerjaannya. Ana tersentak mendengar itu. Lalu dia mengelus dadanya. “I- iya pak, maaf,” beo Ana. Lalu dia segera menuju ke kamarnya dan membereskan semua barang bawaannya. Arka dapat melihat sosok Ana yang begitu polos namun sedikit keras kepala . Arka hanya melihat kepergian Ana dari hadapannya. Dia jadi teringat dengan seseorang. Keesokan harinya, Ana bangun dengan memulai memandikan Gio. Soalnya anak itu harus pergi ke sekolah. Anak umur empat tahun yang sudah mengenyam pendidikan TK A. Gio berlari dari sudut ke sudut kamar. Dia berteriak tidak mau menurut ke Ana. "Gak mau, Gio masih mau main," ucap Gio terus berlari dari kejaran Ana. "Ayo Gio, kamu harus mandi," ucap Ana dengan kesusahan. “Kamu urus anak saya dengan benar!” ucap Arka yang tiba-tiba masuk ke kamar itu. Dia terlihat baru saja bangun tidur. Mungkin dia terbangun karena mendengar teriakan Gio. “Aduh, maaf pak. Ini daritadi Gio gak mau mandi," ungkap Ana sambil terus melihat Gio yang tengah memutari sudut ruangan. “Coba cari cara lain, masa tidak bisa,” ucap Arka dan langsung meninggalkan kamar dengan perasaan kesal. Ana terlihat ngos-ngosan. Arka dengan seenaknya meremahkan. Ana melihat ke arah Gio yang juga melihatnya. "Mandi ya, nanti setelah mandi baru main lagi," pinta Ana dengan tatapan memelas. "Oke," ungkap Gio lalu menurut pergi ke kamar mandi. Akhirnya Ana dapat bernafas dengan lega. Setelah selesai, Ana langsung menuju ke dapur berniat untuk masak. Dari kemarin dia belum makan sama sekali. “Kamu tidak boleh ke lantai dua,” ucap Arka yang tiba-tiba berada di belakang ana. “Iya pak,” sahut Ana. Dia mencoba untuk memilih beberapa makanan yang akan dia masam. “Buatkan saya kopi hitam tanpa gula. Sama sandwich, saya mau sarapan,” perintah Arka sambil merapikan pakaiannya. Ana pun patuh, dia langsung menyiapkan yang Arka minta. ‘Mau ngeluh ya percuma. Lagi pula pak Arka kan sudah sah jadi suamiku. Ini juga pasti akan bernilai pahala’, gumam Ana dalam hatinya. Dia masih berpikir positif dengan segala yang sudah terjadi padanya. Setelah selesai, Ana pun langsung menghindangkannya di depan Arka. “Silahkan pak,” ucap Ana. Arka pun langsung menyantap sarapannya beserta minuman kesukaan dia. Ana merasa kalau dirinya tidak diuntungkan dalam hal ini. Dijual dan dijadikan pengasuh anak bukanlah sebuah impian bagi Ana. Ana pikir akan lebih baik hidupnya tanpa ibu tiri dan saudara tirinya. Ternyata sama saja, dia tetap menjadi suruhan dari orang sekitarnya. "Jangan melamun, makanlah," titah Arka menyadarkan Ana. "iya pak," sahut Ana langsung menyendokkkan suap demi suap makanan yang telah dia masak. Ana bingung dengan sikap Arka yang super dingin dan tidak banyak bicara. Ana mencoba untuk fokus dengan makanannya saja. "Kamu harus bisa menjaga anak saya dengan baik," peringat Arka. Mengingat takdirnya saat ini yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Ana mengunyah makanan itu namun terasa pahit saat mendengar ucapan dari Arka. Ana hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tak pernah dia mimpikan sebelumnya. Bersambung …Tasya terus saja mendumel perihal Delvan yang tak mengucapkan kata manis keoadanya tadi malam. Bahkan sampai Tasya sulit untuk memejamkan mata, seolah hatinya ingin selalu membersamai sang pacar.Mungkin hati Tasya juga sudah terpaut dengan sosok Delvan yang memikat. Tasya seakan di bius oleh asmara seketika, dan sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun, barulah Tasya memejamkan matanya.Sementara sang sahabat sudah berada di alam mimpi sejak tadi, membiarkan Tasya seorang diri dalam kebingungan.Dan saat ini, Tasya terbangun dengan kepala pening. Alarm di nakasnya berbunyi bersahutan dengan alarm milik Clara. Memaksa Tasya untuk membuka matanya yang masih terlelap.Tasya meregangkan otot-otot lengannya. Mencoba mengatur nafas dan juga konsentrasi penuh agar bisa beraktivitas dengan benar. Sang sahabat sudah tidak ada disampingnya, terdengar percikan air di dalam kamar mandi.Setelah melakukan segala aktivitas, Tasya dan Clara menuju ke sekolahnya dengan Clara yang membawa moto
Tasya terdiam, mencoba menajamkan alat pendengaran nya dengan sebaik mungkin. Takut salah denger dengan pengakuan cowok di depannya itu."Gue butuh Lo, Tasya. Bisa?" Tatapan Delvan memusat pada Tasya. Tatapan yang penuh arti dan permohonan. Tatapan yang membuat siapapun bakal terpesona."Gu-gue gak tau, gue gak boleh pacaran, Van." Tolak Tasya dengan ucapan pelan. Tak ada nada ketus.Rasa khawatir mulai tumbuh kembali, Tasya hanya takut jika semuanya kembali seperti hari kemarin. Hari dimana Delvan mulai menjauhinya atau mungkin tak akan menganggapnya ada lagi."Bukan karena Lo gak suka cowok badbboy? Ouh iya, Lo suka cowok good boy. Maaf Sya, gue baru inget." Seolah tak ingin mengungkit sesuatu yang lebih sakit. Delvan bergumam seorang diri.Mencoba menyadarkan posisi dirinya yang tak diinginkan oleh gadis di depannya itu."Tapi gue bakal buktiin, meskipun gue badboy, gue pasti dapetin Lo, cewek good girl."Tasya terperanjat, lalu mencoba kembali menatap Delvan. "Van? Lo ngomong apa
Layla dan Abidzar sudah sampai di rumah mereka. Mereka tadi sudah menebus obat untuk wajah Layla."Masih perih?" Tanya Abidzar."Udah mendingan Mas, nanti juga sembuh kok setelah rutin pakai salep sama obat nya ini." Ucap Layla sambil melihatkan beberapa salep dan obat.Abidzar langsung mengangguk mendengar jawaban Layla. Dia terlihat sangat lemah."Layla." Panggilnya dengan suara serak.Layla menikah kemudian tersenyum, "Kenapa Mas Abi?""Aku mencintaimu." Ungkapnya.Layla semakin tersenyum, kata-kata dari Abidzar mampu membuat pipi nya merona."Sampai kapan Mas?" Tanya Layla sedikit menggoda Abidzar."Sampai kapanpun, Insya Allah." Ungkapnya yakin."Aku juga mencintai mu Mas Abidzar. Tolong jangan tinggalkan aku." Pinta Layla.Abidzar mengangguk mantab. Kemudian dia merentangkan tangannya. Layla langsung menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Abidzar.Pelukan yang selalu menghangatkan, pelukan yang selalu menenangkan. Layla sangat menyukai moment seperti ini.Abidzar juga tidak mau
Abidzar pun meng iya kan permintaan istrinya itu, tapi dengan syarat rujak yang akan di beli nanti bukan rujak yang berada pedas. Abidzar melarang Layla melakukan hal itu, Layla tidak boleh mengonsumsi makanan pedas selama dia hamil.Mereka pun akhirnya pergi ke pesantren modern, lebih tepatnya di samping pesantren modern, karena disanalah kedai rujak buah itu nangkring."Pak, beli satu yang tidak pedas dan buahnya jangan yang kecut." Abidzar memberitahu kepada bapak penjual rujak itu.Mereka sudah sampai di samping pesantren modern, dan Abidzar langsung memesan rujak keinginan Layla. Meskipun Layla sempat tidak menyetujui permintaan Abidzar yang request buah tidak kecut, padahal kan Layla malah ingin buah yang amat kecut sekali.Bapak penjual rujak itu mengangguk, dia langsung memotong beberapa buah segar dan langsung di siram dengan bumbu rujak. Beruntung sekali sore ini sedang tidak ramai, jadi Abidzar dan Layla tidak perlu antri.Setelah selesai, Abidzar pun menyodorkan uang sehar
Pagi itu cuaca nya sangat terang, semua beraktivitas seperti biasanya. Layla memasak untuk sarapan nya dengan Abidzar, sementara Abidzar sudah bersiap untuk pergi mengajar di pesantren modern.Layla terlihat bersemangat di pagi hari ini, mood nya sedang baik. Layla memasak dengan sangat semringah. Begitu juga dengan Abidzar yang terlihat juga senang, pagi hari nya di awali dengan semua yang baik."Makanan sudah siap, ayo Mas kita sarapan sulu biar Mas Abi ngajarnya fokus. Kalau fokus kan kita bisa berbagi ilmu dengan baik kepada para santri." Layla berucap sambil menyendok kan beberapa lauk setelah mengambil nasi ke piring makan untuk Abidzar."Iya Humaira, kamu memang yang terbaik. Gak di malam hari, gak di pagi hari, kamu selalu membuat Mas bersemangat." Abidzar memeluk Layla dari arah belakang yang langsung dapat rengekan dari sang empu nya.Mereka pun langsung memakan sarapan dengan sangat lahap, terlihat kalau Abidzar sangat menyukai masakan dari istrinya itu. Layla juga sangat s
"Lo mau makan apa?" Tanya Delvan sambil membuka menu makanan. Tempat makan yang bernuansa Jepang itu begitu menggugah selera. Terdapat berbagai jenis makanan sussi dan juga hidangan salmon yang disajikan dengan beberapa sayuran khas. Dan juga beberapa ramen, dari yang jenis berkuah dan tambahan bumbu lain.Saat ini kondisi agak ramai karena memang bertepatan dengan jam makan siang."Mau ramen, gue mau yang Shoyu dan juga sussi dengan ikan Salmond. Minumnya jus strawberry." Jawab Tasya sambil melihat sekeliling Mall. Begitu jakjub, jujur saja ini kali kedua dia ke Mall ini. Sejak kepindahan nya."Ouh, oke." Sahut Delvan bersemangat.Merasa senang karena Tasya begitu cekatan, tak seperti wanita pada umumnya yang ditanya makan malah jawabnya terserah. Delvan pun memesan makanan yang sama dengan Tasya, bahkan minumnya juga mengikuti rasa punya sang pacar. Dasar Delvan! Sudah jadi bucin akut.Beberapa menit menunggu, seorang laki-laki mendekati Delvan. Laki-laki itu berpenampilan sangat