LOGIN“Apa kamu gila, Marissa?” Kevin mencoba meminta penjelasan pada, Marissa.
Gadis itu melihat ke arah Kevin tanpa mengatakan apapun. Ia diam dengan tatapan yang datar. Posisinya tetap sama, berdiri di hadapan Deniz yang baru saja dilamar agar bersedia menikah dengannya.
Deniz Ansel Ghazy, pria berusia 28 tahun itu tidak menyangka bertemu kembali dengan teman masa lalunya—Marissa Sawyer. Ia melihat sosok Marissa yang tidak banyak berubah kecuali, semakin dewasa.
“Tidak. Aku tidak gila, justru aku yang melihatmu seperti orang gila.” Sahut Marissa yang berpura-pura mengacuhkan pria itu.
“Apa kamu mengenalnya?” tanya Deniz pada, Marissa.
Gadis berpostur 165 centimeter tersebut menoleh, ia memanyunkan bibirnya sejenak. Marissa nampak berpikir, lalu dia menggeleng pelan.
“Tidak. Aku tidak mengenalnya,” jawab Marissa dengan santai.
“Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi dari sini!” ajak Deniz sambil menyodorkan lengannya pada, Marissa. Pria itu berharap agar Marissa segera melingkarkan tangannya seperti sepasang kekasih.
“Oke,” tanpa berpikir panjang, Marissa menyambut uluran pria itu dengan suka cita. Senyuman mereka mengembang dengan sendirinya ketika keduanya saling membalas pandangan satu sama lain.
“T-Tapi ….” Kevin terlihat bengong tanpa bisa melakukan banyak perlawanan. Saat dirinya maju satu langkah, mendadak ada dua pria berbadan besar menghadang. Pengawal itu seakan memberi isyarat agar Kevin tidak mencampuri urusan majikan mereka.
Terpaksa, Kevin hanya bisa memandang Marissa melenggang pergi dari hadapannya. Ia memilih pergi dengan pria tanpa identitas yang tidak diketahui olehnya.
“Sialan! Bisa-bisanya dia menginjak-injak harga diriku di depan orang banyak. Tidak! Aku tidak akan membiarkan mereka bersenang-senang di atas perjuanganku selama ini. Dasar perempuan jalang!”
Kevin mengacak rambutnya dengan kasar. Ia sangat kesal ketika Marissa telah berhasil membuktikan rencana pertamanya yaitu, mencari pengganti dirinya dalam waktu yang singkat—24 jam.
***
Suara deru mesin mendominasi sepanjang perjalanan. Marissa meremas tangannya yang terasa semakin dingin. Ia menundukkan kepalanya, Marissa tidak berani membuka suara.
“Jadi, kamu lari dari pria itu?” akhirnya suara Deniz memecah keheningan yang terjadi selama hampir 15 menit berlalu.
Marissa mengangkat wajahnya dengan canggung, ia menoleh ke samping dengan senyuman yang kaku. “M-Maafkan aku, seharusnya kita tidak bertemu dalam keadaan seperti ini.”
“Kalau kamu tidak berkenan, aku akan turun di depan sana.” Marissa menunjuk ke arah depan, tepat di sebuah tikungan menuju kota Ankara.
Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya,“Begitukah? Setelah apa yang kamu lakukan padaku?”
Dahi Marissa mengernyit, ia pun memiringkan kepalanya. “A-Aku? Memangnya aku melakukan apa ….?
“Tidak, Deniz. Bukan begitu ….” Marissa mengibaskan kedua tangannya dengan cepat.
“Jika kamu tidak setuju, aku tidak akan memaksa. Aku berhenti di sini saja, kebetulan mobilku sedang ada di bengkel dekat sini." Marissa nekat, tangannya hendak meraih handle pintu mobil.
“Apa kamu mau membuatku celaka?” dengan cekatan, tangan Deniz langsung mencegah.
“Membuat kamu celaka?”
Marissa mengurungkan niatnya. Ia menoleh ke samping, dilihatnya Deniz yang tidak suka dengan apa yang dilakukannya saat ini.
“Mobil ini masih berjalan, Nona. Aku tidak mau berurusan dengan pihak berwajib atau petugas medis, andai saja kamu mengalami sesuatu. Aku tidak mau disalahkan hanya karena perbuatan konyolmu itu.” Wajah pria itu mendekat, Marissa bisa melihat dengan jelas betapa tegas garis wajah berjambang tipis tersebut.
Buru-buru Marissa mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin larut dengan tatapan bola mata keabuan itu. Apalagi posisi keduanya kini tanpa jarak, Marissa takut terlalu cepat jatuh cinta pada pria yang dulu terlihat culun di matanya.
“Jangan seenaknya membuang waktuku! Aku bukan pengangguran, Nona. Ada kompensasi yang harus kamu bayar setelah merusak semua jadwal meeting kerjaku,” tapi nyatanya pria itu tidak berpaling dari Marissa sedikitpun.
Gadis itu menoleh kembali, ia memaksakan senyumnya. Marissa tertawa kecil saat mendapati dirinya yang terlihat bodoh di mata siapapun.
“Kamu bercanda kan, Deniz? Kamu tidak benar-benar serius tentang kompensasi itu?” tiba-tiba Marissa terlihat sangat panik. Bisa-bisanya ia yang hendak keluar dari jeratan Kevin perkara hutang, sekarang dirinya terjebak kembali dengan masalah yang sama.
“Apa kamu mau lari dari tanggung jawab?” sindir Deniz dengan sebuah lirikan.
“L-Lari dari tanggung jawab?” Marissa mengulang apa yang diucapkan oleh, Deniz.
“Aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku katakan. Terlebih lagi kamu sudah merusak semua acaraku hari ini.” Lanjut pria itu yang semakin mendekatkan wajahnya pada, Marissa.
“Bisa mundur sedikit, Tuan Deniz? Aku tidak bisa bernapas,” Marissa berusaha mendorong dada bidang itu. kedua telapak tangannya bisa merasakan betapa sixpack sesuatu di balik kemeja tersebut.
“Kenapa? Bukankah kita akan segera menikah? Hitung-hitung apa yang saat ini kita lakukan adalah pemanasan untuk nanti malam,” bisik pria itu langsung membuat bulu kuduk Marissa merinding.
“A-Apa ….?” jantung Marissa seakan jatuh ke dasar lambung. Ia tidak menyangka jika pria di hadapannya itu sudah memasungnya dalam kegilaan.
“Jangan memanfaatkan kelemahanku, Deniz!” geram Marissa dengan kesal, pria itu terlihat menyebalkan baginya kini.
“Siapa yang memanfaatkanmu? Bukankah kamu yang datang sendiri padaku? Aku tidak lupa ketika kamu akan mengabulkan semua keinginanku jika aku bersedia menikah denganmu. Jangan pura-pura lupa, Marissa! Kamu tahu, aku tidak pernah bercanda jika ada orang yang melakukan negosiasi denganku.”
“Negosiasi? Memangnya aku barang? Jika kamu tidak suka, kamu bisa menolaknya. Mudah bukan ….?” bibir Marissa mencebik tak suka.
“Bukankah kamu yang memintaku untuk menjadi suamimu? pantang bagiku untuk mencabut ucapanku,” ulang pria asing itu pada, Marissa. Ia tidak ingin gadis bermata coklat tersebut ingkar dengan semua kata-katanya.
Marissa menelan saliva dengan paksa. Ia pun membetulkan letak duduknya ketika pria tersebut menjauh kembali darinya.
“Kamu lari dari tunanganmu? Kenapa? Sepertinya dia pria yang tampan dan ….”
“Hentikan! Aku tidak mau mendengar nama Kevin disebut atau mendengar apapun tentang pria berengsek itu.” Marissa mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia menyela kalimat yang diucapkan oleh pria di sampingnya itu dengan sedikit emosi.“Hem …. Jadi namanya, Kevin?” kepalanya mengangguk saat mendengar sebuah nama yang disebutkan oleh, Marissa.
“Sial!” Marissa menoleh dengan cepat. Tatapan matanya begitu sengit dengan bibir dimanyunkan.
‘Bisa-bisanya dia tertawa, sepertinya aku salah memilih orang. Aku memang mencari pengganti, Kevin. Tapi kenapa Tuhan mengirimkan pria menyebalkan ini?’ (ujar Marissa dalam hati).
“Tuan Deniz, kita sudah sampai di tujuan.” Tiba-tiba sopir pribadi pria yang bernama Deniz tersebut menoleh di sela-sela kursi pengemudi.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Ucapan dari Deniz hanya mendapat anggukan dari sopir paruh baya tersebut.
“Ayo, turun!” perintah Deniz pada, Marissa.
Tatapan dingin itu membuat Marissa kebingungan, “Kita mau ke mana? Ah, Deniz, tunggu dulu! Aduh ….” ia pun menjadi bingung sendiri ketika Deniz memintanya untuk turun dengan sengaja.
“Bukankah kita akan menikah?” Deniz balik bertanya pada, Marissa.
“Apa?! Menikah, secepat ini? Memangnya kita ada dimana ….?” Marissa mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Gereja Santa Maria Blachernae. Apa kamu sudah siap untuk menjadi, Nyonya Deniz Ansel Ghazy?” ujar Deniz sambil mengulurkan tangan pada, Marissa.
“Ya Tuhan ….”
Seharusnya Marissa merasa senang, ketika pria setampan Keanu Reeves itu benar-benar serius mengajaknya menikah. Tapi sayangnya, gadis itu tengah ragu. Ia masih tidak percaya jika Deniz bersedia melangkahkan kakinya bersama di atas hamparan karpet merah menuju meja altar.
Apartemen, Pukul 07:00 MalamSetelah badai emosi berlalu, keheningan yang penuh kebahagiaan menyelimuti kamar. Deniz tidak lagi mengenakan jas biru mudanya. Ia hanya memakai kaos putih dan celana piyama, duduk di tepi ranjang sambil memeluk Marissa yang bersandar di bahunya. Kotak mint itu tergeletak di karpet, terlupakan, digantikan oleh kenyataan yang jauh lebih berharga.“Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” tanya Deniz lembut, mengelus rambut Marissa.Marissa mendongak, matanya masih sedikit bengkak karena tangisan bahagia. “Aku menunggu saat yang tepat, Mas. Aku nggak mau membebani pikiranmu dengan ini saat kamu sedang berjuang di kantor.”Deniz mencium keningnya. “Sayang, kamu adalah alasan aku berjuang. Kamu bukan beban. Kamu adalah rumahku yang sesungguhnya.”Ia kemudian bangkit. “Aku harus melakukan sesuatu. Kabar gembira ini butuh perayaan besar.”“Tapi, Mas,””Sttt… aku nggak mau dengar alasan apa pun.”Deniz meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat.Li
Kantor, Pukul 11:30 Pagi Ruang rapat direksi terasa seperti arena gladiator modern. Lampu kristal di langit-langit memantul pada permukaan meja mahoni yang mengkilap, menciptakan siluet tajam bagi 12 pasang mata yang menatap Deniz. Mereka adalah para veteran bisnis, pemegang saham yang kuat, dan juga para opportunist yang sigap dan tanggap jika terjadi bahaya sekecil apa pun. Kevin tidak hadir, tetapi kehadirannya terasa melalui ketegangan yang menggantung. “Dasar pecundang,” gumam Deniz. Deniz berdiri di ujung meja, menyandarkan tangan di permukaan meja. Tidak ada proyektor, tidak ada PowerPoint. Hanya dia, dan ketenangannya. Jas biru mudanya terlihat mencolok di antara setelan abu-abu tua dan hitam. Ia membiarkan keheningan itu berlarut selama beberapa detik, membiarkan detak jam dinding seolah menjadi hitungan mundur. “Selamat siang. Saya tahu mengapa kita semua ada di sini,” Deniz memulai, suaranya pelan tapi menusuk, “Kecemasan. Sebuah emosi yang disebarkan dengan sangat
Kantor, Pukul 11:00 PagiDeniz memasuki markas besarnya, lantai eksekutif yang biasanya tenang kini terasa berdenyut tegang. Aroma kopi premium di pantry tidak bisa menutupi bau kecemasan yang samar. Mark, orang kepercayaan Deniz, sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya kaku seperti patung marmer.“Bos, direksi sudah berkumpul. Mereka menuntut penjelasan yang sangat spesifik,” kata Mark tanpa basa-basi.Deniz hanya mengangguk. Ia melepas mantelnya dan memberikannya kepada asistennya, gerakannya lambat dan penuh perhitungan. Jas biru muda yang dipilih Marissa membuatnya tampak tenang di tengah pusaran kegaduhan.“Bagus. Biarkan mereka menunggu sebentar lagi,” jawab Deniz, nadanya datar. “Apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi serangan Kevin?”Mark menyerahkan sebuah tablet. “Dokumen rahasia klien. Kevin membocorkan info tentang proyek akuisisi di Timur Tengah yang tertunda. Mereka memutarbalikkan fakta, mengatakan ini adalah tanda kegagalan finansial besar. Tentu saja, itu
Pintu kamar tertutup. Keheningan apartemen yang mewah itu seketika dipenuhi suara desahan tertahan, derit kepala tempat tidur yang berirama pelan, dan bisikan-bisikan gairah yang hanya dimengerti oleh dua jiwa yang saling merindukan. Aroma teh jahe, tembakau, dan single-origin coffee yang melekat pada Deniz bercampur dengan parfum lavender samar di kulit Marissa, menciptakan campuran yang memabukkan—perpaduan antara dunia pebisnis yang dingin dan dunia seni yang hangat.Bagi Deniz, momen ini bukan sekadar pelampiasan lelah; ini adalah validasi. Di kantor, ia adalah seorang pemimpin yang harus bersikap tanpa cela. Di sini, di dalam pelukan Marissa, ia adalah manusia yang rentan, yang kerinduannya ingin diakui dan dipenuhi. Setiap sentuhan, setiap ciuman yang dalam, adalah pengakuan bahwa ia punya alasan untuk mnjadi pemenang di luar sana. Bukan hanya untuk aset dan kekayaan, tapi untuk kembali ke tempat ini, ke pelukan yang nyata, beraroma cat dan tawa.Marissa merespons intensitas
Keesokan paginya, Deniz tiba di kantor tepat pukul delapan. Udara di lantai eksekutif terasa tipis dan berenergi. Mark sudah menunggu di luar ruangannya, memegang dua cangkir kopi single-origin yang mahal."Rapat darurat, Bos. Tim Legal baru saja mengirim notifikasi gugatan dari 'Pihak Lama'—mereka mencoba memblokir aset operasional kita, mengklaim bahwa restrukturisasi ini melanggar perjanjian penangguhan utang lama," jelas Mark, nada suaranya sedikit tegang.Deniz menerima kopi itu, menyesapnya perlahan. Ia tidak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali, seolah sudah mengantisipasi langkah ini. Kevin dan Joanna tidak akan membiarkannya bergerak tanpa perlawanan."Sajikan kopi ini untuk Tim Legal. Minta mereka siapkan berkas. Aku tidak butuh drama, Mark. Aku butuh solusi. Biarkan mereka bermain kotor, kita bermain lebih cerdas," kata Deniz, sorot matanya tajam. "Aku sudah memprediksi ini. Angka kerugian kita sudah kita hitung, dan itu sebanding dengan kemenangan yang akan kita dapatka
Deniz tidak membuang waktu. Kota menyambutnya dengan desakan yang familiar: kemacetan, rapat mendadak, dan aroma kopi mahal. Ruangan pertemuan di gedung pencakar langit yang dulu ia hindari kini ia masuki kembali, bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penakluk. “Pagi Bos,” sapa Mark dan Sam hampir bersamaan. “Siap kembali ke dunia bisnis?” lanjut Mark. “Silahkan masuk, Tuan.” Sam membuka pintu ruangan. Terlihat begitu tenang, dengan aroma lavender saat ia memasukinya. Rapat pertama berjalan tegang. Deniz meletakkan komitmennya di atas meja, bukan sebagai permintaan, tetapi sebagai dekrit. "Aku akan kembali memimpin. Tapi syaratnya mutlak," ucap Deniz, suaranya tenang, namun memiliki resonansi karang yang tak tergoyahkan. "Perusahaan ini, mulai hari ini, akan kembali beroperasi. Kita mulai dari nol, dan membuktikan bahwa Deniz Ansel Ghazy tidak akan menyerah hanya karena sandungan kecil.” Ronan Blaire, yang dikenal pragmatis, mencoba menyela. "Kita bisa buat kembali strukt







