LOGIN“Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini kepadamu. Tapi aku masih menghormati posisimu di dalam keluarga, Sawyer.” Perlahan Kevin berusaha menjelaskan alasannya, ia tidak ingin disalahkan begitu saja.
“Bicaralah! Sebelum kesabaranku habis,” tantang Marissa dengan bola mata yang bergerak tak tenang.
Marissa Sawyer, gadis muda berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi seorang CEO di bidang konstruksi. Perusahaan milik keluarganya itu hampir saja gulung tikar sebelum Marissa terjun untuk mengelola sendiri. Gadis itu menjadi pribadi yang mandiri dan kuat seiring berjalannya waktu. Hingga setahun yang lalu, dia bertemu dengan Kevin dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kisah indah itu, harus berakhir seperti sekarang ini.
"Ikut aku!" tiba-tiba saja, Kevin menarik tangan Marissa agar bersedia ikut dengannya.
"Hei! Apa-apaan ini?" Marissa hampir saja terjungkal saat ia tidak bisa mengimbangi langkah Kevin yang lebar.
Mereka melewati para karyawan yang tidak bisa berbuat banyak kecuali, diam. Hingga banyak pasang mata itu hanya melihat Kevin dan Marissa kini menghilang dari balik gedung Galeri Antalya.
"Lepaskan! Sakit, Kevin." Gadis itu memberontak dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangan, Kevin. Tapi sayang, pria itu sama sekali tidak peduli.
Terpaksa Marissa menuruti keinginan Kevin saat pria itu mengajaknya ke salah satu tempat untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Jangan kelewatan begini dong! Memangnya mau ke mana sih?" tanya Marissa yang langsung mendapatkan jawaban ketika Kevin sudah membawanya masuk ke dalam sebuah hotel bintang lima.
Kedua anak manusia itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai ke hotel tersebut. Namun ketika Marissa melewati ambang pintu salah satu ruang privat, kelopak matanya terbuka lebar. Marissa mendapati keluarganya sudah berkumpul di sana, termasuk adik angkatnya—Joanna.
“Jadi kalian sudah bersekongkol untuk menjebakku?” pertanyaan pertama itu meluncur begitu saja dari mulut, Marissa.
“Duduklah dulu, Marissa! Semua tidak seperti apa yang kamu lihat,” kata nyonya Sawyer ketika melihat putri sulungnya langsung mengajukan protes.
“Tidak seperti yang aku lihat? Ma, aku melihat mereka berdua sudah melakukan sesuatu yang, argh ….!" Marissa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak sanggup menceritakan kembali kejadian yang baru saja membuat hatinya sangat—berantakan.
"Dan kalian memintaku untuk melupakannya? Jangankan untuk melupakan, memaafkannya saja aku tidak akan sudi." jawab Marissa dengan nada berapi-api. Sesekali jari telunjuknya mengarah pada Kevin dan Joanna.
“Jaga ucapanmu, Marissa!” tiba-tiba Joanna beranjak dari tempat duduknya setelah ia menggebrak meja di depannya.
“Hei! Sejak kapan kamu berani memanggilku tanpa sebutan, kakak? Begini sifat aslimu setelah kami memungutmu dari paman, Mike? Dasar perempuan sundal.”
“Hentikan, Marissa!” suara teriakan dari ayahnya membuat Marissa langsung terdiam. Ia menoleh ke arah tuan Sawyer dengan tatapan tidak percaya. Sehingga kedua alisnya saling bertautan, lalu menghela napas cukup berat.
“Tapi mereka sudah main gila, Ayah!” Marissa benar-benar protes sehingga tanpa disadarinya ia telah berteriak pada ayahnya sendiri.
“Kalian lebih membela Joanna daripada aku? Aku putri kandung kalian, kan? Kenapa seolah-olah aku yang bersalah di sini? Tolong jelaskan kepadaku!” Marissa meminta sebuah penjelasan. Bahkan ayah kandungnya saat ini tidak berpihak kepadanya.
“Apa yang sebenarnya kalian rencanakan di belakangku? Apa aku sudah berbuat jahat pada kalian, sehingga kalian memberi karma sekejam ini padaku?” hampir saja air matanya tumpah saat dirinya menuntut sebuah keadilan.
“Kamu ingin tahu kebenarannya? Kenapa aku bermain gila dengan adik angkatmu itu?” kevin mendekat kembali. Kali ini ia menjaga jarak di depan, Marissa.
Kevin melihat perubahan sikap Marissa yang terlihat menegang. Ia sangat yakin jika Marissa belum siap mendengar pernyataan darinya. Tapi semua sudah terlanjur—basah.
“Ayahmu berhutang padaku. Hutang sebesar itu sudah jatuh tempo satu tahun yang lalu. Kamu tahu, Marissa? Mereka tidak bisa membayarnya tepat waktu. Bahkan perusahaan konstruksi yang kamu bangga-banggakan itu, tidak dapat membayar bunganya.”
“Kalian sudah merencanakan semua ini selama itu? Dan aku tidak tahu ….?” Marissa menggeleng kecil, lalu ia pun terkekeh ketika mengetahui dirinya telah dibodohi oleh orang-orang yang disayanginya.
“Berapa hutang orang tuaku padamu?”
Ia menatap tajam pada Kevin yang melirik dengan seringai di sudut bibirnya. Pria itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, seakan menantang Marissa yang begitu congkak. Kevin sanksi jika perempuan itu bisa lepas dari semua tuntutan yang diberikan pada keluarga, Sawyer.
“Terserah padamu, Marissa. Semua Keputusan ada di tanganmu, aku tidak memaksa. Nasib keluarga Sawyer ada di tanganmu, Sayang. Jadi, lupakan semua yang telah terjadi. Kita tetap melanjutkan rencana pernikahan seperti semula, bagaimana?” tawaran dari Kevin membuat bola mata Marissa melotot ke arahnya.
Bibir Marissa mengatup dengan rapat. Ia menahan luapan emosi yang siap dimuntahkan kapan saja. Sehingga Marissa bisa merasakan betapa sesak dadanya saat ini.
“Jangan senang dulu, Tuan Kevin! Aku tidak semudah itu tunduk di hadapanmu. Pantang bagiku mengemis cinta pada pria sepertimu. Kamu sudah salah menilaiku seperti itu,” jawab Marissa setelah berhasil mengontrol emosinya dengan baik.
Kevin mengerutkan dahinya, ia menatap Marissa dengan seksama. Pria itu mengurai kedua tangannya yang semula disilangkan di depan dada. Kevin merasa ada sesuatu yang akan terjadi, di luar harapannya.
“Berikan aku waktu. Aku akan mencari penggantimu secepatnya,” ujar Marissa yang membalas tatapan tajam mereka tanpa rasa takut sedikitpun.
“Wow, menarik! Lelucon apa yang saat ini sedang kamu mainkan?” tepuk tangan dari Kevin membuat suasana kembali riuh setelah puas menertawakan, Marissa.
“Tidak! Aku tidak bercanda, aku sangat serius. Aku akan mencari penggantimu dalam waktu 24 jam dan menikah dengannya. Jika aku berhasil, lepaskan aku dari jeratan hutangmu itu. Dan jika aku gagal, maka kalian bisa mendapatkan semua aset perusahaan konstruksi yang saat ini dalam kepemimpinanku. Bagaimana ….?” Marissa memberi tantangan pada, Kevin. Ia berharap bisa lolos dari tipu muslihat pria tidak beradab tersebut.
“M-Marissa ….” suara lirih itu berasal dari arah ibunya—nyonya Sawyer.
“Apa salahnya bersedia menuruti semua keinginan dari, Kevin? Toh kamu akan hidup dengan enak dan terjamin, Marissa.” Nyonya Sawyer mencoba untuk membujuknya.
“Mama, aku ini bukan anak kecil lagi. Mana bisa aku dibujuk seperti bocah yang menginginkan lollypop?” bola mata Marissa memutar dengan malas.
“Marissa ….” Kevin yang semula bersikap kasar, akhirnya sedikit melunak.
“Bisa kita mulai dari awal kembali? Aku berjanji akan ….”
“Bullshit! Aku sudah tidak percaya padamu, Kevin. Jangan mengemis cintaku seperti ini! Memalukan ….” jari telunjuk Marissa sudah mendarat di depan dada, Kevin. Pria itu diam tak berkutik, lalu Marissa memutar tubuhnya untuk bisa pergi dari hadapan mereka secepatnya.
“Jangan sombong kamu!” ujar Joanna menatap kakaknya tersebut dengan penuh kebencian.
Marissa yang semula ingin meninggalkan ruangan tersebut, terpaksa menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah belakang dan tersenyum tipis kepada, Joanna.
“Tidak, adikku Sayang. Kakak tidak pernah menyombongkan apapun kepadamu. Aku akan buktikan jika aku mampu mencari pengganti, Kevin. Pria yang memiliki moral lebih baik. Pria yang bisa menghargai perasaan perempuan dan tidak menyakiti dengan hal yang menjijikkan seperti itu.”
Marissa meraih handle pintu, ia langsung menutup tanpa menoleh kembali ke arah belakang. Gadis itu menyusuri lorong kamar hotel, kemudian buru-buru masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah.
“Marissa, tunggu ….!”
Tanpa disangka, Kevin telah mengejarnya sejauh ini. Marissa pun mempercepat langkahnya setelah berhasil keluar dari dalam lift.
“Apalagi yang dia inginkan dariku?” Marissa bergumam setelah menoleh ke asal suara.
Marissa melihat ke sekeliling dengan tatapan tak tenang. Kepalanya menoleh ke segala arah, lalu ia berlari kecil ke salah satu tempat. Marissa yang begitu panik dengan kedatangan Kevin, hingga ia tidak memperhatikan arah jalannya dan menabrak seseorang tanpa sengaja.
“O, Oh! M-Maafkan saya, Tuan.” Gadis itu meminta maaf ketika pria di hadapannya menoleh kepadanya.
“S-Saya, anu. Aduh, maafkan saya ….” Marissa gugup, ia bingung dengan sendirinya.
“D-Deniz ….?” kata Marissa menatap pria kharismatik di hadapannya.
“Marissa? Apakah kamu, Marissa Sawyer?” tanya Deniz dengan memicingkan kedua kelopak matanya.
“Marissa, kembali kau!” teriak Kevin dari kejauhan.
Ia yang merasa tidak bisa kabur lagi dari kejaran Kevin, menatap cepat pada Deniz dengan perasaan takut. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengajukan sebuah penawaran.
“Deniz, m-maafkan aku sudah berbuat lancang padamu. Tapi tolonglah aku satu kali ini saja. Tidak ada waktu untuk menjelaskannya saat ini," kalimat itu terucap bersamaan saat Marissa mencuri pandang ke arah lain.
“M-Maukah kamu menikah denganku ….?”
PRANG ….!
Sebuah gelas berisi minuman beralkohol yang dipegang oleh salah satu rekan pria tersebut jatuh ke bawah lantai. Semua pasang mata yang berada di sekitarnya langsung tertuju pada mereka.
"M-Maafkan aku, aduh …." posisi Marissa saat ini sedang mengangkat wajahnya, ia menatap pria itu dengan penuh harap.
Hening beberapa saat. Namun tak berselang lama, bola mata pria itu mengarah ke tempat lain. Marissa pun ikut menoleh, ia melihat Kevin berlari kecil ke arahnya.
“Marissa ….” Kevin berhenti beberapa meter dari tempat Marissa berdiri. Terlihat ia menormalkan kembali napasnya yang terengah-engah sambil berkacak pinggang.
Tanpa sengaja Marissa merapatkan tubuhnya pada pria asing itu. Tangannya mencengkeram sisi kerah jas pria tersebut karena merasa cemas.
“Imbalan apa yang akan aku dapatkan, jika aku setuju dengan tawaran yang kamu ajukan kepadaku?” Deniz menarik senyuman manisnya.
“Apapun, apapun yang kamu mau. Asal kamu bersedia menjadi suamiku hari ini juga.” Jawab Marissa tanpa berpikir panjang.
“Baiklah! Kita akan menikah, Nona Marissa.”
“Apa ….?!” suara saling bersahutan itu terdengar memenuhi ruangan.
Marissa beralih menatap pria itu kembali dengan bola mata yang membulat—lucu.
Apartemen, Pukul 07:00 MalamSetelah badai emosi berlalu, keheningan yang penuh kebahagiaan menyelimuti kamar. Deniz tidak lagi mengenakan jas biru mudanya. Ia hanya memakai kaos putih dan celana piyama, duduk di tepi ranjang sambil memeluk Marissa yang bersandar di bahunya. Kotak mint itu tergeletak di karpet, terlupakan, digantikan oleh kenyataan yang jauh lebih berharga.“Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” tanya Deniz lembut, mengelus rambut Marissa.Marissa mendongak, matanya masih sedikit bengkak karena tangisan bahagia. “Aku menunggu saat yang tepat, Mas. Aku nggak mau membebani pikiranmu dengan ini saat kamu sedang berjuang di kantor.”Deniz mencium keningnya. “Sayang, kamu adalah alasan aku berjuang. Kamu bukan beban. Kamu adalah rumahku yang sesungguhnya.”Ia kemudian bangkit. “Aku harus melakukan sesuatu. Kabar gembira ini butuh perayaan besar.”“Tapi, Mas,””Sttt… aku nggak mau dengar alasan apa pun.”Deniz meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat.Li
Kantor, Pukul 11:30 Pagi Ruang rapat direksi terasa seperti arena gladiator modern. Lampu kristal di langit-langit memantul pada permukaan meja mahoni yang mengkilap, menciptakan siluet tajam bagi 12 pasang mata yang menatap Deniz. Mereka adalah para veteran bisnis, pemegang saham yang kuat, dan juga para opportunist yang sigap dan tanggap jika terjadi bahaya sekecil apa pun. Kevin tidak hadir, tetapi kehadirannya terasa melalui ketegangan yang menggantung. “Dasar pecundang,” gumam Deniz. Deniz berdiri di ujung meja, menyandarkan tangan di permukaan meja. Tidak ada proyektor, tidak ada PowerPoint. Hanya dia, dan ketenangannya. Jas biru mudanya terlihat mencolok di antara setelan abu-abu tua dan hitam. Ia membiarkan keheningan itu berlarut selama beberapa detik, membiarkan detak jam dinding seolah menjadi hitungan mundur. “Selamat siang. Saya tahu mengapa kita semua ada di sini,” Deniz memulai, suaranya pelan tapi menusuk, “Kecemasan. Sebuah emosi yang disebarkan dengan sangat
Kantor, Pukul 11:00 PagiDeniz memasuki markas besarnya, lantai eksekutif yang biasanya tenang kini terasa berdenyut tegang. Aroma kopi premium di pantry tidak bisa menutupi bau kecemasan yang samar. Mark, orang kepercayaan Deniz, sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya kaku seperti patung marmer.“Bos, direksi sudah berkumpul. Mereka menuntut penjelasan yang sangat spesifik,” kata Mark tanpa basa-basi.Deniz hanya mengangguk. Ia melepas mantelnya dan memberikannya kepada asistennya, gerakannya lambat dan penuh perhitungan. Jas biru muda yang dipilih Marissa membuatnya tampak tenang di tengah pusaran kegaduhan.“Bagus. Biarkan mereka menunggu sebentar lagi,” jawab Deniz, nadanya datar. “Apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi serangan Kevin?”Mark menyerahkan sebuah tablet. “Dokumen rahasia klien. Kevin membocorkan info tentang proyek akuisisi di Timur Tengah yang tertunda. Mereka memutarbalikkan fakta, mengatakan ini adalah tanda kegagalan finansial besar. Tentu saja, itu
Pintu kamar tertutup. Keheningan apartemen yang mewah itu seketika dipenuhi suara desahan tertahan, derit kepala tempat tidur yang berirama pelan, dan bisikan-bisikan gairah yang hanya dimengerti oleh dua jiwa yang saling merindukan. Aroma teh jahe, tembakau, dan single-origin coffee yang melekat pada Deniz bercampur dengan parfum lavender samar di kulit Marissa, menciptakan campuran yang memabukkan—perpaduan antara dunia pebisnis yang dingin dan dunia seni yang hangat.Bagi Deniz, momen ini bukan sekadar pelampiasan lelah; ini adalah validasi. Di kantor, ia adalah seorang pemimpin yang harus bersikap tanpa cela. Di sini, di dalam pelukan Marissa, ia adalah manusia yang rentan, yang kerinduannya ingin diakui dan dipenuhi. Setiap sentuhan, setiap ciuman yang dalam, adalah pengakuan bahwa ia punya alasan untuk mnjadi pemenang di luar sana. Bukan hanya untuk aset dan kekayaan, tapi untuk kembali ke tempat ini, ke pelukan yang nyata, beraroma cat dan tawa.Marissa merespons intensitas
Keesokan paginya, Deniz tiba di kantor tepat pukul delapan. Udara di lantai eksekutif terasa tipis dan berenergi. Mark sudah menunggu di luar ruangannya, memegang dua cangkir kopi single-origin yang mahal."Rapat darurat, Bos. Tim Legal baru saja mengirim notifikasi gugatan dari 'Pihak Lama'—mereka mencoba memblokir aset operasional kita, mengklaim bahwa restrukturisasi ini melanggar perjanjian penangguhan utang lama," jelas Mark, nada suaranya sedikit tegang.Deniz menerima kopi itu, menyesapnya perlahan. Ia tidak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali, seolah sudah mengantisipasi langkah ini. Kevin dan Joanna tidak akan membiarkannya bergerak tanpa perlawanan."Sajikan kopi ini untuk Tim Legal. Minta mereka siapkan berkas. Aku tidak butuh drama, Mark. Aku butuh solusi. Biarkan mereka bermain kotor, kita bermain lebih cerdas," kata Deniz, sorot matanya tajam. "Aku sudah memprediksi ini. Angka kerugian kita sudah kita hitung, dan itu sebanding dengan kemenangan yang akan kita dapatka
Deniz tidak membuang waktu. Kota menyambutnya dengan desakan yang familiar: kemacetan, rapat mendadak, dan aroma kopi mahal. Ruangan pertemuan di gedung pencakar langit yang dulu ia hindari kini ia masuki kembali, bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penakluk. “Pagi Bos,” sapa Mark dan Sam hampir bersamaan. “Siap kembali ke dunia bisnis?” lanjut Mark. “Silahkan masuk, Tuan.” Sam membuka pintu ruangan. Terlihat begitu tenang, dengan aroma lavender saat ia memasukinya. Rapat pertama berjalan tegang. Deniz meletakkan komitmennya di atas meja, bukan sebagai permintaan, tetapi sebagai dekrit. "Aku akan kembali memimpin. Tapi syaratnya mutlak," ucap Deniz, suaranya tenang, namun memiliki resonansi karang yang tak tergoyahkan. "Perusahaan ini, mulai hari ini, akan kembali beroperasi. Kita mulai dari nol, dan membuktikan bahwa Deniz Ansel Ghazy tidak akan menyerah hanya karena sandungan kecil.” Ronan Blaire, yang dikenal pragmatis, mencoba menyela. "Kita bisa buat kembali strukt







