Tiga tahun berlalu. Olivia sedang menyuapi sepasang bocah kembar itu makan siang, saat Tristan datang dengan wajah yang tak bersahabat.
"Wah... Lihat itu Papi sudah pulang." seru si kembar.
"Tumben, kau pulang untuk makan siang!" Olivia tersenyum menatap Tristan.
"Iya.. ada sesuatu yang harus kau tau, Olive!" wajah Tristan ragu dan pucat, tak seperti biasanya.
"Katakan!" Pinta Olivia singkat.
"Ibumu... Ibumu baru saja meninggal." baru saja kalimat itu keluar dari rongga mulut Tristan, piring yang di pegang Olivia terlepas dari tangannya begitu saja. Menimbulkan suara pecahan kaca yang nyaring.
"I-Ibuku? Kau bilang Ibuku meninggal?" tanya Olivia mengulangi perkataan Tristan. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa yang baru saja di dengarnya adalah hal lain.
Namun, sebuah anggukan kepala dari Tristan berhasil membuat butiran bening jatuh bebas dari kelopak matanya. Olivia terduduk lemas. Si kembar menatap pada Ibunya yang tak pernah t
Setelah selesai berkemas dan berpamitan pada Bibi Ane, mereka memulai perjalanan. Untuk mempersingkat waktu di perjalanan, Tristan memilih untuk mengendarai mobil saja dan melewati tol. Karena, jika harus menggunakan pesawat akan memakan waktu yang lama dengan segala prosedurnya. Mungkin berbeda, jika Tristan adalah seorang CEO yang kaya dan terkenal seperti Albert. Segalanya akan mudah dan cepat bagi pria arrogant itu. Di dalam perjalanan, tiba-tiba Olivia bertanya dengan nada heran sekaligus penasaran, "Tristan, apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?" "Ya, katakan saja." jawab Tristan masih dengan keadaan fokus mengemudi mobilnya. "Darimana kau tau, kabar tentang Ibuku meninggal dunia? Bukan kah selama ini kita tidak memiliki satu pun kontak informasi tentang keluargaku di sana?" "Ah, ya. Aku lupa memberitahumu, aku mendapat kabar itu dari salah seorang Dokter di Rumah Sakit Pusat. Tadi saat kami melakukan meeting, pembahasan tentang penyakit
Keesokan harinya, jenazah Clara sudah masuk ke dalam mobil Ambulance yang akan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Diiringi oleh isak tangis keluarga dan kerabat dekat. Begitu pun dengan Olivia, matanya sudah bengkak karena menangis tak henti sejak semalam. Ia masih tak menyangka, secepat ini Clara meninggalkannya. Mobil Tristan mengiringi Ambulance dari belakang. Di dalamnya ada Willson yang duduk di samping Tristan. Di belakang mereka, ada Olivia dan si kembar, Zacky dan Zahra. Suasana berkabung terasa sangat menyayat hati. Semua berpakaian serba hitam. Pemakaman berjalan dengan sangat hikmat. Para pelayat satu persatu berangsur pulang. Kini hanya tertinggal Willson dan Olivia, beserta Tristan dan juga si kembar. Olivia masih menangis pilu, sambil memeluk batu nisan bertuliskan nama Ibunya itu. Rasanya, belum puas ia bermanja dan memberikan kebahagiaan pada Ibunya itu. Tapi kini harus menghadapi kenyataan bahwa Clara telah tiada. Pergi
Sesampainya di Kantor, Albert kembali memikirkan perkataan Mike saat di perjalanan tadi. Mike tidak mungkin asal bicara. Jika Mike mengatakan bocah laki-laki itu mirip dengannya, pasti itu memang karena ada hal yang sangat mendukung. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, Albert mencoba mengingat kembali wajah anak laki-laki yang menatapnya tajam dan penuh tantangan tadi."Hah, lucu sekali anak itu. Dia sama sekali tidak takut padaku? Dan, yang satu lagi sangat manis. Kenapa aku seolah merasa kerinduan pada mereka? Padahal, tadi itu adalah pertemuan pertamaku dengan bocah-bocah itu,' ucap Albert dalam hatinya.Albert masih membayangkan wajah-wajah lucu dan menggemaskan si kembar.'Tidak, mana mungkin mereka adalah anakku. Mereka pasti Adik dan Kakak. Dan itu pasti anak mereka, karena mereka hidup bersama selama beberapa tahun belakangan ini.' bathin-nya lagi penuh dengan rasa amarah.Bukannya Albert tak tau dimana Olivia tinggal selama ini, tapi
Malam ini, Olivia diminta oleh Willson untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Tuan Liam. Sebenarnya, Olivia enggan untuk pergi. Karena mereka baru saja berduka atas kepergian Clara. Namun, Willson memohon pada Olivia untuk dapat mewakilinya. Kesehatan Willson juga akhir-akhir ini kurang baik. Kesehatannya mulai menurun sejak fokus merawat Clara dalam masa-masa sakitnya kemarin. Bahkan, Perusahaan pun sudah terbengkalai. "Pergilah, Nak. Hanya kau satu-satunya harapanku saat ini. Aku tidak mungkin lagi mengurus semuanya, usiaku sudah senja. Sudah waktunya aku istirahat dari segala urusan pekerjaan." ucap Willson dengan suara lirih. "Tapi, Yah. Aku sedang tidak ingin kemana-mana. Tristan juga pasti sedang melepas rindu dengan keluarganya." jawab Olivia malas. "Keluarga Tuan Liam sudah banyak membantu kita di masa lampau. Rasanya tidak baik jika kita mengabaikan undangan dari keluarga mereka." "Mereka tentu paham, kita sedang dalam suas
Saat tiba di gedung mewah tempat perayaan hari jadi itu berlangsung, Olivia sudah sedikit terlambat. Dengan langkah besar ia mencoba setengah berlari memasuki aula pesta. Tepat saat ia masuk, keadaan sedang hening karena Tuan Liam baru saja akan memotong kue ulang tahunnya. Semua mata memandang pada Olivia. Para lelaki menatap dengan tatapan terpesona dan tak sedikit yang berhasrat dan berhalusinasi bisa membawa tubuh indah itu ke dalam pelukannya. Sementara, para wanita menatap dengan rasa iri dan was-was, takut pasangannya tergoda dan berpaling darinya. Di antara kerumunan itu, ada sepasang mata yang terbakar api cemburu tengah menatapnya dalam. Lucy. Wanita itu menatap Olivia dengan tatapan tak suka, mungkin lebih tepatnya benci. Karena, sejak ia masuk tadi, mata Albert tak berkedip memandang ke arahnya. Sementara di samping pria angkuh itu, Lucy sudah berdiri dan berusaha menggoda cukup lama dengan penampilannya yang cukup seksi malam ini. "Wah, Nona. Kau
Seminggu sudah berlalu, sejak Olivia pulang ke rumah orang tuanya. Dan ia berencana untuk pulang ke Desa sore ini. Tapi, ia belum membicarakannya dengan Ayahnya, Willson. Kebetulan, siang ini Tristan datang kembali untuk mengunjungi Zacky dan Zahra. Jadi, ia ingin sekaligus berpamitan pada Willson. "Ayah, ada yang ingin kukatakan." ucap Olivia saat melihat Willson duduk di kursi goyangnya, tengah menatap foto kekasihnya dengan sendu. Willson memang masih sulit menerima kenyataan bahwa Clara telah tiada. Meski pun di luar ia tak terlihat bersedih, siapa sangka di dalam hatinya terluka sangat parah. Kehilangan yang ia rasakan, sungguh tak pernah ia bayangkan akan sesakit ini rasanya. "Ayah..." ulang Olivia, membuyarkan lamunan Willson pada bingkai foto berisi gambar dirinya dan Clara sedang menggendong putri kecil berusia dua tahun. Siapa lagi kalau bukan Olivia. "I-iya. Ada apa? Apa kau sejak tadi berdiri di sana?" tanya Willson seraya menghapus
Di mansion mewah miliknya, Albert sedang berkutat di depan laptop kerjanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Ada apa, Mike?" Albert to the point pada si penelpon yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaannya, Mike. "Tuan, hasil tes DNA sudah keluar. Aku sedang dalam perjalanan ke mansion untuk mengantarkannya padamu." jawab Mike di ujung telepon, sambil mengemudikan mobilnya. "Baik, segeralah. Aku menunggumu di ruang kerja." Albert mengatakan itu, kemudian menutup panggilan sepihak. Albert sudah tidak fokus lagi memeriksa pekerjaannya. Perasaannya tak tenang saat ini, pikirannya tak karuan. Ia tak sabar lagi menunggu kedatangan Mike. Tepat pukul lima kurang dua puluh menit, terdengar suara ketukan pintu di luar ruangan kerjanya. "Masuk," jawab Albert dengan wajah tegang. Pintu terbuka dan muncullah orang yang sudah di tunggu-tunggunya sejak tadi. Mike masuk dan langsung menyodorkan amplop putih itu di depan wajah Alber
Albert masih terdiam dan merenungi semua ucapan yang dilontarkan Olivia tadi. Hal itu mengingatkan dirinya pada saat-saat pertama pertemuan dan pernikahannya dengan Olivia. Gadis itu sangat galak. Dia selalu saja berbicara dengan nada marah dan menentang Albert. Tapi, karena sikapnya itulah Albert akhirnya menjadi luluh dan jatuh cinta padanya. 'Apakah kata maaf saja, cukup untuk menebus semua kesalahanku di masa lalu? Andai dulu aku mendengarkan penjelasanmu. Akan terlalu banyak mungkin yang terucap untuk semua waktu yang kulewati tanpa dirimu. Maafkan aku!' lirih Albert dengan tatapan sendu pada sebuah gambar di dalam bingkai kaca kecil di atas meja kerjanya. Saat mengetahui tentang identitas Zacky dan Zahra, Albert juga mengetahui cerita sebenarnya tentang kejadian empat tahun silam. Semua gara-gara Monica. Wanita licik itu telah merubah banyak hal dalam hidup Albert dan Olivia. Tapi kini, Monica sedang berada di pusat rehabilitas karena kecanduan narkoba.