Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini.
“Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain.
“Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani.
“Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?”
Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi.
“Tidak usah, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya.” Wanita setengah baya itu menarik kain dari tangan Melani, membuat Melani kehilangan keseimbangan.
Tubuh Melani ambruk, tepat mengenai Deon yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya. Tubuh Deon yang kekar, bertahan menahan tubuh Melani.
“Apa yang kamu lakukan? Lain kali berhati-hatilah,” ucapnya singkat.
“Maaf, Tuan. Saya tidak tahu harus melakukan apa di rumah ini,” ujar Melani gugup.
“Nona Melani memaksa untuk membantu melakukan pekerjaan saya, Tuan.” Wanita setengah baya menambahi.
“Tugasmu sudah selesai, Melani. Sekarang, kamu harus ikut aku ke kantor. Banyak yang harus kamu kerjakan di sana,” ujar Deon, berjalan keluar rumah dengan menenteng tas kerja.
“Apa? Ke kantor?” Melani membelalakkan mata tidak percaya.
”Jadi, ini alasan dia hanya memberikan tugas yang ringan untukku di rumah ini? Dia ingin aku ikut ke kantor?” gumam Melani dalam hati. Bertanya-tanya, apa yang harus dia lakukan di kantor Deon nanti.
“Cepatlah pergi! Jangan membuat Tuan Deon menunggu.” Wanita setengah baya itu mengedipkan mata, memberi kode pada Melani untuk segera mengikuti Deon.
Melani kemudian berlari kecil mengikuti Deon, dan masuk ke dalam mobil.
“Kenapa masih memakai pakaian itu? Gantilah pakaianmu,” ucap Deon singkat.
Melani menatap tubuhnya yang masih berbalut pakaian seragam pelayan berwarna hitam. Dia bergegas masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Tidak lama, dia kembali dengan memakai dress panjang warna putih. “Maaf, Tuan. Saya tidak mempunyai pakaian lain selain ini,” ucapnya tanpa menatap Deon.
“Kita mampir ke butik, Aldo,” titah Deon pada Aldo.
Pengawal pribadi sekaligus sopir pribadi Deon itu mengangguk dan segera melajukan mobil menuju butik langganan keluarga Alvarendra.
****
Butik yang luas dengan interior yang sangat mewah. Dari melihat bangunannya saja, kita bisa tahu bahwa pakaian yang dijual di sini pasti sangat mahal. Melani berjalan dengan kikuk, sambil memperhatikan pakaian-pakaian mahal yang terpajang di butik tersebut.
“Pilihlah beberapa pakaian yang kamu butuhkan,” ujar Deon pada Melani.
“Eh?” Melani tampak salah tingkah.
“Apa kita tidak bisa ke butik lain?” ucapnya lirih. “Butik ini terlalu mahal untuk saya. Gaji saya belum tentu bisa untuk membayar pakaian-pakaian ini,” lanjutnya berkata dengan suara pelan. Dia mengedarkan pandangan, menatap para pelayan butik yang ada di sana. Memastikan bahwa tidak ada yang mendengarkan percakapannya dengan Deon.
“Butik ini milik orangtuaku. Ambilah sesukamu. Tidak perlu memikirkan soal pembayaran. Aku yang akan membayar semuanya,” ucap Deon membuat Aldo dan Melani membulatkan mata secara bersamaan.
"Ini perintah!" tambahnya, membuat Melani pasrah dan mau tidak mau memilih satu di antara banyaknya pakaian yang dijual di sana. Pilihan Melani jatuh pada rok panjang warna hitam dan blouse warna putih.
“Kenapa hanya memilih itu? Ambilah yang banyak, aku akan membayar semuanya,” ujar Deon memaksa.
Melani menggelengkan kepala. “Ini saja sudah cukup untuk saya, Tuan,” elak Melani. Dia tidak ingin berhutang budi terlalu banyak.
“Kak Melani?” Tiba-tiba Bonita masuk ke dalam butik yang sama.
“Kenapa Kakak ada di sini? Jadi, sekarang Kakak bekerja di sini?” Bonita tersenyum mengejek.
“Aku tidak menyangka ya. Kehidupan sedang berbalik. Kakak yang dulu hidup enak seperti seorang ratu, sekarang harus menjadi pelayan,” lanjutnya berkata panjang lebar, “Kalau boleh jujur, Kakak lebih pantas menjadi pelayan dari pada menjadi ratu.”
“Aku tidak menyangka, kamu masih bisa tertawa puas setelah menghancurkan pernikahan kakakmu, Bonita!”
Melani menatap tajam Bonita. Namun, Bonita tertawa semakin keras.
“Kak Melani salah! Bukan aku yang menghancurkan pernikahan Kakak. Kak Melani sendirilah pelakunya. Seharusnya, Kakak berkaca. Apa selama ini Kakak sudah menjadi istri yang baik?” tanya Bonita dengan intonasi tinggi.
“Jika Kakak sudah menjadi istri yang baik dan memberikan pelayanan yang memuaskan untuk suami kakak, maka tidak mungkin suami kakak berpaling kepadaku,” lanjutnya menggebu-gebu.
“Cukup!” teriak Deon yang sejak tadi diam mendengar percakapan dua kakak beradik itu. Telinganya sudah panas mendengar perkataan Bonita yang terus-terusan menghina Melani. “Jangan membuat kegaduhan di butik ini, atau aku akan menyuruh satpam untuk membawamu pergi,” ancam Deon pada Bonita.
“Halo? Bukan aku yang memulai kegaduhan ini. Pelayan inilah yang memulainya," ujar Bonita pada Deon. Dia melambaikan tangan pada Melani. "Kak Melani, bahkan menjadi pelayan saja kamu tidak becus. Pantas saja, Kak Johan menceraikanmu,” ejeknya.
“Cukup! Jangan kamu menghina calon istriku!” teriak Deon menatap lantang Bonita sambil menggenggam erat tangan Melani dan membawanya ke luar butik diikuti oleh Aldo yang telah selesai melakukan pembayaran di kasir.
Saat keluar dari butik, mereka sempat berpapasan dengan Johan yang baru saja masuk ke dalam butik.
"Melani?"
“Melani?” Johan menatap Melani yang sedang berjalan keluar dari butik. Tatapan matanya beralih pada tangan Melani yang sedang digenggam erat oleh Deon. Ada perasaan kesal saat melihat jemari yang dulu pernah dia pasangkan cincin, sedang berada dalam genggaman laki-laki lain. Tanpa menghiraukan Johan, Deon dan Melani terus berjalan mendekati mobil Ferrari LaFerrari hitam yang terparkir di depaan butik. Aldo bergegas membuka pintu mobil untuk Deon. Saat Deon hendak masuk ke dalam mobil, Melani menghentikannya. Sejak keluar dari butik, Melani hanya bengong memikirkan ucapan Deon saat di butik tadi. Dia menatap Deon tidak percaya. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar, Deon menyebutnya sebagai calon istri? "Maaf, Tuan. Saya rasa, tadi itu Anda terlalu berlebihan,” ucapnya terbata-bata. Deon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tidak ada waktu lagi. Masuklah segera ke dalam mobil. Kita bicarakan nanti,” ucapnya dengan wajah serius. Dia segera masuk ke dalam mobil, disu
Melani tertawa lebar tanpa ekspresi. "Apa Anda sedang melucu?" tanyanya pada Deon yang masih berdiri di hadapannya. Dia menelan ludah saat mencium wangi maskulin yang menyeruak bersamaan dengan wajah Deon yang semakin mendekat. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat dilihat dari jarak dekat. Apa mungkin laki-laki yang hampir sempurna bak titisan Dewa Merkurius ini ingin menikahi Melani yang hanya seorang janda?Wajah Deon terus mendekat, hingga jarak mereka kini tidak sampai sejengkal. Ditatap Deon dari jarak begitu dekat membuat jantung Melani bedebar dan serasa ingin meloncat. “Jadi apa jawabanmu? Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” tanya Deon serius.Melani terdiam dan mematung. Apakah Deon serius kepadanya? Dia memundurkan tubuh dan menarik wajah ke belakang untuk menjauhi Deon. Terdiam dan mematung tanpa bisa berkata-kata.Deon berdehem seraya mengatur napasnya. Tersenyum kecil seraya berkata, “Maafkan aku. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan semua ini. Tapi, sem
"Ah, Sial!" Melani menyalakan ponsel, menelepon seseorang untuk meminta bantuan, tetapi sebelum seseorang tersebut menjawab telepon Melani, ponselnya lebih dulu mati. Dia mengumpat lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Evan melirik Melani. "Kamu tidak akan bisa menghubungi siapapun, Melani," ucapnya seraya tersenyum menyeringai. Dia mempercepat laju mobilnya. Di tempat lain, mobil yang dikemudikan Deon melaju dengan kecepatan maksimal. Bak seorang pembalap profesional, dia terus menyalip mobil-mobil yang ada di depannya. Di belakangnya, Aldo mengikuti menggunakan mobil yang berbeda.Evan menghentikan mobil tepat di depan sebuah penginapan di dekat laut. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Menoleh ke arah Melani seraya terseyum licik. "Akhirnya kita sampai, Melani."Melani menatap Evan penuh amarah. Jika dia tidak sedang menggendong Nafisa yang telah terlelap, mungkin dia akan memaki Evan habis-habisan. Dia bahkan tidak sabar ingin memukuli lelaki psikopat tersebut. E
"Ibu?" Melani melihat Namira dari kejauhan. Di samping Namira, Bonita duduk bersama Johan. Mereka sedang berada di rumah sakit. Tepatnya di depan kamar rawat untuk pasien.Melani berjalan sempoyongan. Di sampingnya, wanita berpakaian serba hitam memegangi dan menuntunnya. Wanita itu ditugaskan Deon untuk menjaga Melani. "Pergilah! Aku bisa berjalan sendiri," ujar Melani lirih pada wanita berpakaian serba hitam tersebut."Maaf, Nona. Tuan Deon telah menugaskan saya untuk menjaga Anda. Saya tidak berani menolaknya," ucap wanita berpakaian hitam kepada Melani. "Mari, saya akan mengantar Anda untuk melakukan pemeriksaaan," ucapnya sopan."Tidak. Aku harus menemui anakku lebih dulu," elak Melani. Dia berjalan menghampiri Namira yang telah berada di depan kamar perawatan Nafisa.Sampai di depan kamar rawat Nafisa, Melani berhambur memeluk Namira. "Bagaimana keadaan Nafisa, Bu?" Dia bertanya serius."Kak Melani harus bertanggung jawab. Gara-gara kecerobohan Kak Melani, Nafisa harus mengalami
Menjelang pagi, Evan masih terikat di atas kursi. Tepat di belakang penginapan yang berbatasan langsung dengan laut. Hujan deras mengguyurnya, dan Aldo hanya menatapnya dari jauh.Di rumah sakit, Nafisa mulai menggerakkan jemarinya dan membuka mata. Dokter telah memeriksanya dan memutuskan untuk melepaskan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidung Nafisa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Melani cemas. "Alhamdulillah, karena cepat ditolong, anak Ibu masih selamat. Seandainya anak Ibu terlambat diangkat dari air dalam hitungan beberapa detik saja, mungkin akibatnya sudah fatal. Berterima kasihlah pada orang yang sudah menyelamatkan anak Ibu." Dokter menjelaskan panjang lebar. Melani segera memeluk Nafisa. "Maafkan Mama, Nak," ucapnya lirih. "Mama yang membuatmu seperti ini," lanjutnya, menatap Nafisa penuh penyesalan. "Kamu memang tidak bisa diandalkan, Melani. Itu sebabnya aku ingin Nafisa ikut bersamaku." Tiba-tiba Johan masuk ke dalam kamar rawat Nafisa. Dia tidak m
"Nafisa, papa tidak bermaksud jahat. Justru papa melakukan ini karena papa sayang dan peduli padamu. Bagaimana mungkin Nafisa mengatakan kalau papa jahat?" Johan mendekati Nafisa. Menghapus air mata yang membasahi pipi Nafisa dan mengusap-usap rambut anak kecil itu."Papa Jahat! Om Deon lebih baik dari pada Papa. Om Deon baik sama Mama, sedangkan Papa hanya membuat Mama menangis," teriak Nafisa menepis tangan Johan dan memukul-mukulnya. "Bahkan Papa lupa membelikan buku cerita untuk Nafisa. Nafisa sudah menunggu semalaman, dan Papa tidak pernah datang." Tangis Nafisa semakin kencang.***Di depan kamar rawat Nafisa, Namira membuka amplop cokelat pemberian Deon. Begitu amplop itu terbuka, Namira melebarkan mata penuh amarah saat amelihat isi di dalam amplop tersebut. Beberapa lembar foto saat Johan bersama dengan Bonita di kantor. Keduanya terlihat sangat mesra."Apa ini, Bonita?" Namira melempar foto-foto yang disebut Deon sebagai bukti, tepat di hadapan Bonita. Bonita membelalakkan
"Untuk apa kita di sini? Ayo kita pulang, Kak Johan. Aku sudah tidak tahan berada di sini," oceh Bonita pada Johan di luar kamar rawat Nafisa. "Kamu ini bagaimana? Bahkan setelah Nafisa siuman, kamu belum menemuinya. Seharusnya kamu masuk ke dalam dan mengambil hati Nafisa. Bukankah kamu mau Nafisa ikut bersama kita? Jangan sampai Nafisa lebih akrab dengan laki-laki asing itu dari pada dengan kita.""Tapi aku sudah tidak tahan berada di sini. Nanti aku akan menemui Nafisa setelah dia pulang ke rumah." Bonita berdiri dari duduknya dan mulai melangkah. "Tunggu, Bonita! Mau ke mana kamu?" Johan menghentikan langkah Bonita."Ke mana lagi? Tentu saja aku mau pulang. Tidak apa-apa jika Kak Johan tidak mau mengantar aku pulang. Aku bisa pulang sendiri." Bonita terus melanjutkan langkah tanpa menoleh ke arah Johan lagi. Johan menendang kakinya ke lantai karena kesal. Dia menatap ke arah pintu kamar Nafisa dengan tatapan yang rumit. Johan berdiri dan membuka pintu kamar Nafisa, tetapi menu
“Apa kamu sudah memiliki jawaban, Nona Melani?” tanya Deon saat mereka sedang berdua di kamar rawat Nafisa. Melani melirik Nafisa yang sedang tertidur pulas. “Ehm, maksud Tuan?” tanya Melani bingung. “Apa kamu sudah melupakan penawaran dariku beberapa hari yang lalu? Aku ingin kamu menjadi istriku, dan semua harta benda yang kumiliki akan menjadi milikmu.” Deon tersenyum percaya diri. Dia merasa yakin, Melani tidak akan menolaknya. “Maafkan saya, Tuan. Setelah pernikahan yang gagal, saya belum berpikir untuk menikah lagi,” jawab Melani pasti. Nyatanya, hati yang telah berkeping, sulit untuk disatukan kembali. Butuh waktu bagi Melani untuk memulai hubungan baru, apalagi dengan laki-laki yang baru saja dia kenal. Dia belum siap merasa kecewa untuk yang kedua kalinya. Senyuman di bibir Deon menghilang. Dia baru saja mendengar sebuah penolakan. Melani menolaknya, padahal dia menawarkan harta. Meski begitu, Deon tidak ingin menyerah. “Kamu yakin untuk menolakku? Pikirkan sekali lagi, ka