“Gimana keadaanmu, Melani? Maafkan aku. Aku tidak tahu jika Kak Evan akan berbuat nekat.”
Pagi-pagi sekali, Desy berkunjung ke rumah Melani. Dia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kakaknya pada Melani kemarin malam. Dia bisa tahu semuanya karena Evan pulang dengan babak belur dan tanpa basa-basi menceritakan semuanya pada adiknya.
“Aku sudah memarahi kakakku semalaman. Tolong maafkan dia ya?” mohon Desy.
“Aku sudah memaafkan dia, Desy. Untung saja, seseorang menyelamatkanku saat Kak Evan hendak berbuat bej4t. Tapi tolong katakan pada Kak Evan agar tidak menggangguku lagi,” ucap Melani tegas.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Hari ini kamu mulai masuk bekerja di perusahaan kakakku, ‘kan?” tanya Desy. Masih menatap Melani dengan perasaan bersalah. Seandainya semalam dia menemani Melani saat menemui kakaknya, mungkin Kak Evan tidak akan berbuat sampai melampaui batas.
Melani menggeleng-gelengkan kepala.
“Seseorang yang semalam menyelamatkanku, dia memberiku pekerjaan di rumahnya. Lebih baik, aku bekerja dengannya dari pada bekerja satu kantor dengan Kak Evan.” Melani menjelaskan. Saat ini, dia sama sekali tidak ingin bertemu dengan Evan.
“Bukankah kamu bilang kakakmu akan segera menikah? Jika aku menjadi calon istrinya, aku akan sedih mendengar perbuatan yang dilakukan Kak Evan semalam,” lanjutnya berpendapat.
“Kak Evan sudah membatalkan pernikahannya.” Desy berbicara dengan suara tercekat. Dia sangat malu dengan perbuatan kakaknya pada sahabatnya, tapi dia juga mengerti, kakaknya berbuat seperti itu saking cintanya pada Melani.
“Semalam, begitu pulang dari bertemu denganmu, Kak Evan langsung menelepon Kak Vina dan membatalkan rencana pernikahan mereka. Dia bilang padaku jika dia ingin bertanggung jawab padamu. Apa kamu mau memaafkan kakakku dan menerimanya?” Pertanyaan yang tidak terduga keluar dari mulut Desy.
Melani kembali menggelengkan kepala. “Kak Evan tidak perlu bertanggung jawab. Dia memang sudah mencoba memperkosaku, tapi percobaannya tidak berhasil. Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan dari percobaan perkosaan yang gagal.”
“Lalu apa rencanamu sekarang? Kamu akan bekerja di rumah orang asing? Apa kamu yakin?” Desy menyipitkan mata menatap Melani. “Pekerjaan seperti apa yang akan dia berikan untukmu?” tanyanya penasaran.
“Asisten rumah tangga.” Melani menjawab pendek.
“Apa? ART? Pembantu? Apa aku tidak salah dengar? Kamu mau bekerja menjadi pembantu di rumah orang? Kamu menolak bekerja di perusahaan Kak Evan dan memilih jadi pembantu?” Desy bertanya tidak habis pikir. “Di kantor Kak Evan, kamu mungkin bisa mendapat posisi yang bagus. Kamu bisa jadi sekretaris, atau paling tidak staff administrasi. Kenapa harus menjadi pembantu sih, Mel?”
“Tidak apa, Desy. Aku bisa melakukan pekerjaan rumah. Dia juga akan memberiku tempat tinggal setelah Mas Johan mengusirku dari rumah ini. Kumohon kamu memahamiku. Aku benar-benar tidak ingin berhubungan dengan kakakmu lagi. Aku takut dia berbuat kurang ajar lagi seperti apa yang sudah dia lakukan padaku semalam.” Melani menjelaskan panjang lebar.
“Apa kamu yakin, orang asing yang memberimu pekerjaan itu tidak akan berbuat kurang ajar padamu juga?” Desy menyipitkan mata menatap Melani.
Melani menggelengkan kepala.
“Tidak usah mengkhawatirkanku. Aku tahu pasti, dia orang baik,” ucap Melani yakin. Meski di hati masih ada keraguan, Melani tidak ingin membuat sahabatnya khawatir. Saat ini, tidak ada pilihan lain selain tinggal di rumah Deon dan menjadi asisten rumah tangganya.
***
Melani turun dari mobil Ferrari LaFerrari warna hitam. Sore tadi, Aldo sudah menjemputnya dari rumah Johan. Membawa koper berisi pakaian dan barang-barang yang penting. Nafisa kecil turut bersamanya.
“Silakan masuk, Nona. Tuan Deon telah menunggu di dalam,” ucap Aldo dengan mengangguk hormat.
Melani memicingkan mata menatap Aldo. Apa yang barusan laki-laki itu katakan? Nona?
“Mengapa kamu memanggilku seperti itu, Aldo? Aku hanya pembantu rumah tangga. Tidak sepantasnya kamu memanggilku begitu. Panggil nama saja. Melani.”
Melani menatap bangunan rumah di hadapannya. Sangat besar dan mewah.
“Bagaimana aku bisa membersihkan rumah besar ini setiap hari?” gumamnya lirih. Berjalan pelan hendak masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, dia dikejutkan oleh beberapa orang berpakaian pelayan yang berdiri di dekat pintu, menyambut kedatangannya. Para pelayan itu mengangguk dengan hormat. Banyak sekali jumlah mereka. Sekitar sepuluh atau lebih.
“Akhirnya kamu datang juga, Melani. Duduklah. Aku harus memperkenalkanmu dengan semua penghuni rumah ini,” ucap Deon seraya menunjuk tempat duduk di dekatnya.
Dia berdiri mendekati Nafisa dengan kedua tangan berada di belakang. Membungkukkan badan dan menundukkan wajahnya agar setara dengan wajah Nafisa. “Halo, Nak. Bagaimana kabarmu? Kamu sangat manis. Karena kamu sudah menjadi anak pintar, aku akan memberikan hadiah untukmu.”
Lelaki dingin itu memberikan sebuah bingkisan cantik berisi macam-macam kue untuk Nafisa. Sejak tadi, tangannya berada di belakang karena menyembunyikan hadiah itu.
Nafisa mengerjapkan mata. Bibirnya mengulas senyum senang. Kejutan yang diberikan Deon berhasil mengambil hati bocah kecil itu.
“Terima kasih, Om,” ucapnya setelah menerima bingkisan pemberian Deon.
“Apa Nafisa menyukai hadiah dari, Om Deon? Kalau Nafisa suka, Nafisa bisa pergi dan bermain di sana. Om Deon ingin bicara dengan mamamu sebentar,” bujuk Deon seraya tersenyum lembut sambil mengusap pipi Nafisa.
Bocah kecil itu mengangguk dan langsung berlari menuju tempat penuh mainan yang ditunjuk oleh Deon.
“Terima kasih, Tuan.” Melani berterimakasih karena Deon sudah bersikap baik pada Nafisa. Dia tidak menyangka Deon akan begitu hangat pada putrinya.
“Tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantumu.” Deon tersenyum senang. Dia memperkenalkan satu per satu pelayan kepada Melani.
“Jadi, tugas saya apa, Tuan?” tanya Melani tidak sabar. Dengan pelayan sebanyak itu, sepertinya nyaris tidak ada lagi bagian yang bisa dikerjakan oleh Melani. Semua pekerjaan di rumah ini sudah ditangani oleh para pelayan itu.
“Tugasmu hanya membangunkanku di pagi hari, dan menemaniku sarapan pagi,” ucap Deon tegas.
“Apa? ART macam apa yang tugasnya seperti itu?” Melani bergumam di dalam hati.
Laki-laki di depannya begitu aneh dan misterius. Laki-laki yang terlihat dingin, tiba-tiba terlihat sangat hangat dan ramah saat berbicara dengan Nafisa tadi.
“Jangan khawatir, selain memberikan gaji bulanan untukmu, aku juga akan menanggung semua biaya sekolah untuk Nafisa,” ucap Deon lagi.
Sebenarnya siapa dia? Mengapa ada orang sebaik itu? Ataukah ada udang di balik batu?
Melani tidak ingin berpangku tangan. Meski pekerjaannya telah selesai di rumah ini, dia berniat untuk membantu para rekan kerjanya sesama asisten rumah tangga. Tidak ingin ada kecemburuan sosial di antara sesama asisten rumah tangga di ruma ini. “Biar kubantu Bibi mengelap perabotan ya,” ujar Melani pada seorang wanita setengah baya yang rambutnya digelung. Dia segera mengelap perabotan dengan kain. “Tidak usah, Nona Melani. Biar saya saja yang melakukannya. Tuan akan marah jika melihat Nona Melani membantu saya,” ujar wanita setengah baya itu, merebut kain yang dibawa Melani. “Panggil aku Melani saja, Bi. Kita sama-sama pelayan di sini,” ujar Melani. Menatap wanita setengah baya penuh curiga. “Kenapa Bibi terlihat khawatir seperti itu? Apa ada yang Bibi sembunyikan dariku?” Wanita setengah baya tadi hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, gak apa kan kalau aku bantu Bibi?” Melani segera merebut kembali kain di tangan wanita setengah baya tadi. “Tidak usah, Nona. Ini su
“Melani?” Johan menatap Melani yang sedang berjalan keluar dari butik. Tatapan matanya beralih pada tangan Melani yang sedang digenggam erat oleh Deon. Ada perasaan kesal saat melihat jemari yang dulu pernah dia pasangkan cincin, sedang berada dalam genggaman laki-laki lain. Tanpa menghiraukan Johan, Deon dan Melani terus berjalan mendekati mobil Ferrari LaFerrari hitam yang terparkir di depaan butik. Aldo bergegas membuka pintu mobil untuk Deon. Saat Deon hendak masuk ke dalam mobil, Melani menghentikannya. Sejak keluar dari butik, Melani hanya bengong memikirkan ucapan Deon saat di butik tadi. Dia menatap Deon tidak percaya. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar, Deon menyebutnya sebagai calon istri? "Maaf, Tuan. Saya rasa, tadi itu Anda terlalu berlebihan,” ucapnya terbata-bata. Deon melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tidak ada waktu lagi. Masuklah segera ke dalam mobil. Kita bicarakan nanti,” ucapnya dengan wajah serius. Dia segera masuk ke dalam mobil, disu
Melani tertawa lebar tanpa ekspresi. "Apa Anda sedang melucu?" tanyanya pada Deon yang masih berdiri di hadapannya. Dia menelan ludah saat mencium wangi maskulin yang menyeruak bersamaan dengan wajah Deon yang semakin mendekat. Laki-laki itu terlihat sangat tampan saat dilihat dari jarak dekat. Apa mungkin laki-laki yang hampir sempurna bak titisan Dewa Merkurius ini ingin menikahi Melani yang hanya seorang janda?Wajah Deon terus mendekat, hingga jarak mereka kini tidak sampai sejengkal. Ditatap Deon dari jarak begitu dekat membuat jantung Melani bedebar dan serasa ingin meloncat. “Jadi apa jawabanmu? Apa kamu bersedia untuk menikah denganku?” tanya Deon serius.Melani terdiam dan mematung. Apakah Deon serius kepadanya? Dia memundurkan tubuh dan menarik wajah ke belakang untuk menjauhi Deon. Terdiam dan mematung tanpa bisa berkata-kata.Deon berdehem seraya mengatur napasnya. Tersenyum kecil seraya berkata, “Maafkan aku. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan semua ini. Tapi, sem
"Ah, Sial!" Melani menyalakan ponsel, menelepon seseorang untuk meminta bantuan, tetapi sebelum seseorang tersebut menjawab telepon Melani, ponselnya lebih dulu mati. Dia mengumpat lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Evan melirik Melani. "Kamu tidak akan bisa menghubungi siapapun, Melani," ucapnya seraya tersenyum menyeringai. Dia mempercepat laju mobilnya. Di tempat lain, mobil yang dikemudikan Deon melaju dengan kecepatan maksimal. Bak seorang pembalap profesional, dia terus menyalip mobil-mobil yang ada di depannya. Di belakangnya, Aldo mengikuti menggunakan mobil yang berbeda.Evan menghentikan mobil tepat di depan sebuah penginapan di dekat laut. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Menoleh ke arah Melani seraya terseyum licik. "Akhirnya kita sampai, Melani."Melani menatap Evan penuh amarah. Jika dia tidak sedang menggendong Nafisa yang telah terlelap, mungkin dia akan memaki Evan habis-habisan. Dia bahkan tidak sabar ingin memukuli lelaki psikopat tersebut. E
"Ibu?" Melani melihat Namira dari kejauhan. Di samping Namira, Bonita duduk bersama Johan. Mereka sedang berada di rumah sakit. Tepatnya di depan kamar rawat untuk pasien.Melani berjalan sempoyongan. Di sampingnya, wanita berpakaian serba hitam memegangi dan menuntunnya. Wanita itu ditugaskan Deon untuk menjaga Melani. "Pergilah! Aku bisa berjalan sendiri," ujar Melani lirih pada wanita berpakaian serba hitam tersebut."Maaf, Nona. Tuan Deon telah menugaskan saya untuk menjaga Anda. Saya tidak berani menolaknya," ucap wanita berpakaian hitam kepada Melani. "Mari, saya akan mengantar Anda untuk melakukan pemeriksaaan," ucapnya sopan."Tidak. Aku harus menemui anakku lebih dulu," elak Melani. Dia berjalan menghampiri Namira yang telah berada di depan kamar perawatan Nafisa.Sampai di depan kamar rawat Nafisa, Melani berhambur memeluk Namira. "Bagaimana keadaan Nafisa, Bu?" Dia bertanya serius."Kak Melani harus bertanggung jawab. Gara-gara kecerobohan Kak Melani, Nafisa harus mengalami
Menjelang pagi, Evan masih terikat di atas kursi. Tepat di belakang penginapan yang berbatasan langsung dengan laut. Hujan deras mengguyurnya, dan Aldo hanya menatapnya dari jauh.Di rumah sakit, Nafisa mulai menggerakkan jemarinya dan membuka mata. Dokter telah memeriksanya dan memutuskan untuk melepaskan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidung Nafisa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Melani cemas. "Alhamdulillah, karena cepat ditolong, anak Ibu masih selamat. Seandainya anak Ibu terlambat diangkat dari air dalam hitungan beberapa detik saja, mungkin akibatnya sudah fatal. Berterima kasihlah pada orang yang sudah menyelamatkan anak Ibu." Dokter menjelaskan panjang lebar. Melani segera memeluk Nafisa. "Maafkan Mama, Nak," ucapnya lirih. "Mama yang membuatmu seperti ini," lanjutnya, menatap Nafisa penuh penyesalan. "Kamu memang tidak bisa diandalkan, Melani. Itu sebabnya aku ingin Nafisa ikut bersamaku." Tiba-tiba Johan masuk ke dalam kamar rawat Nafisa. Dia tidak m
"Nafisa, papa tidak bermaksud jahat. Justru papa melakukan ini karena papa sayang dan peduli padamu. Bagaimana mungkin Nafisa mengatakan kalau papa jahat?" Johan mendekati Nafisa. Menghapus air mata yang membasahi pipi Nafisa dan mengusap-usap rambut anak kecil itu."Papa Jahat! Om Deon lebih baik dari pada Papa. Om Deon baik sama Mama, sedangkan Papa hanya membuat Mama menangis," teriak Nafisa menepis tangan Johan dan memukul-mukulnya. "Bahkan Papa lupa membelikan buku cerita untuk Nafisa. Nafisa sudah menunggu semalaman, dan Papa tidak pernah datang." Tangis Nafisa semakin kencang.***Di depan kamar rawat Nafisa, Namira membuka amplop cokelat pemberian Deon. Begitu amplop itu terbuka, Namira melebarkan mata penuh amarah saat amelihat isi di dalam amplop tersebut. Beberapa lembar foto saat Johan bersama dengan Bonita di kantor. Keduanya terlihat sangat mesra."Apa ini, Bonita?" Namira melempar foto-foto yang disebut Deon sebagai bukti, tepat di hadapan Bonita. Bonita membelalakkan
"Untuk apa kita di sini? Ayo kita pulang, Kak Johan. Aku sudah tidak tahan berada di sini," oceh Bonita pada Johan di luar kamar rawat Nafisa. "Kamu ini bagaimana? Bahkan setelah Nafisa siuman, kamu belum menemuinya. Seharusnya kamu masuk ke dalam dan mengambil hati Nafisa. Bukankah kamu mau Nafisa ikut bersama kita? Jangan sampai Nafisa lebih akrab dengan laki-laki asing itu dari pada dengan kita.""Tapi aku sudah tidak tahan berada di sini. Nanti aku akan menemui Nafisa setelah dia pulang ke rumah." Bonita berdiri dari duduknya dan mulai melangkah. "Tunggu, Bonita! Mau ke mana kamu?" Johan menghentikan langkah Bonita."Ke mana lagi? Tentu saja aku mau pulang. Tidak apa-apa jika Kak Johan tidak mau mengantar aku pulang. Aku bisa pulang sendiri." Bonita terus melanjutkan langkah tanpa menoleh ke arah Johan lagi. Johan menendang kakinya ke lantai karena kesal. Dia menatap ke arah pintu kamar Nafisa dengan tatapan yang rumit. Johan berdiri dan membuka pintu kamar Nafisa, tetapi menu