Share

Bab 4 : Hubungan Palsu

Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.

Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang.

"Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.

Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima perjodohan itu, Karina merasa telah menjadi wanita yang paling bodoh. Hatinya sakit, kepercayaannya hancur. Bahkan di saat seperti ini, Haris tak berusaha untuk menjelaskan sesuatu padanya. Karina menyesali semuanya, berpikir dari mana kesalahan itu bermula. Tapi ucapan Lisa sebelumnya membuatnya mengetahui gambaran samar tentang apa yang terjadi di antara Haris dan Lisa di masa lalu.

Karina enggan untuk pulang. Meski ia harus mendengar penjelasan dari Haris, tapi kakinya begitu berat untuk meninggalkan tempat itu. Sesungguhnya, hatinya belum siap. Ia tahu tentang apa yang akan terjadi di depan sana dan ia belum siap untuk terluka. Kini ia hanya mengulur waktu agar. Bukan untuk mempersiapkan diri, melainkan untuk menghindari luka itu sendiri.

Telepon di meja resepsionis berdering. Karena klinik sudah tutup, Karina yakin bahwa itu pasti ibunya. Berpikir bahwa mungkin saja Haris sudah menghubungi Nathalia dan menanyakan keberadaannya, Karina pun memutuskan untuk menerima panggilan itu.

"Halo," tegur Karina.

"Karin, kamu masih di sana?" tegur Nathalia dari seberang.

"Iya, Ma. Aku masih ada kerjaan di sini."

"Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Tadi ..."

Pintu klinik tiba-tiba terbuka dan membuat konsentrasi Karina terbagi. Ia pun beranjak berdiri dan menegur sang tamu.

"Mohon maaf, kami sudah tut—" ucapan Karina terhenti ketika ia menemukan siapa yang datang. Wajah murungnya tak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya. Karina pun lantas mengakhiri panggilan.

"Ma, aku matiin dulu ya."

Haris datang mendekat. Ia mengetahui jika Karina ada di sana setelah ia menghubungi ibu mertuanya. Tak ada perasaan apapun yang digambarkan pada wajah datar itu. Tapi di mata Karina saat ini, Haris datang tanpa membawa sedikitpun rasa penyesalan. Berdiri di depan Karina, Haris pun berbicara.

"Kita pulang sekarang."

"Kamu serius dengan hal ini, Mas?" tegur Karina.

"Kita bicara di rumah."

"Kita bisa bicara di manapun jika kamu memang berniat untuk bicara. Sekarang aku tahu alasannya, kenapa Lisa begitu baik sama aku. Itu karena agar kalian bisa menutupi hubungan kalian. Tapi kenapa harus Lisa? Dia udah berkeluarga. Apa kekurangan aku? Kamu bisa jujur sejak awal. Nggak perlu kamu cari itu di perempuan lain."

"Kamu mau mendengar semuanya di sini?"

Hati Karina tidak siap, tapi harus segera mendengar semuanya agar ia bisa mengambil keputusan.

"Sekarang kamu jujur, nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi."

"Lisa bukan selingkuhan aku," celetuk Haris.

Karina menatap tak percaya. "Pantas seorang teman cium leher dan peluk kamu?"

"Kitalah yang berselingkuh di sini, aku dan kamu."

"Mas!" Suara Karina meninggi, tak terima dengan ucapan Haris yang tidak masuk akal. "Aku istri kamu, bagaimana mungkin aku yang jadi selingkuhan kamu!"

"Aku dan Lisa udah berpacaran sejak sebelum aku menikah dengan kamu. Aku nggak bisa menolak perjodohan ini atau pun mengakhiri hubungan dengan Lisa. Kamu lah orang ketiga di dalam hubungan ini."

"Sembilan tahun, itu usia pernikahan Mbak Lisa. Pernikahan kita bahkan baru tujuh tahun. Kalau waktu itu kamu masih berhubungan dengan Mbak Lisa, kenapa kamu menerima perjodohan itu? Apa kamu cuma mau menjadikan aku sebagai alat untuk menutupi kebejatan kalian? Kalian benar-benar keterlaluan! Tega kamu melakukan ini."

"Kita pulang sekarang."

"Aku nggak mau memahami jalan pikiran kamu!" Karina menyela.

"Kamu sadar! Lisa pun juga udah nikah. Bisa-bisanya kalian berdua melakukan hal ini di belakang pasangan kalian. Seharusnya kalian malu kepada diri sendiri. Tapi kamu!" Karina menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar kecewa sama kamu. Selama ini aku pikir, kamu benar-benar bisa menerima aku dengan tulus sebagai istri kamu. Kamu benar-benar keterlaluan. Kamu orang jahat, Mas!"

"Sekarang—"

"Kamu bahkan nggak ada sama sekali niat buat minta maaf ke aku?" Karina kembali memotong ucapan Haris. "Jadi selama ini kamu cuma bersandiwara di depan aku? Apapun yang kamu ucapin selama ini, itu bohong. Kamu tahu betapa aku sangat bergantung sama kamu. Aku tulus ke kamu. Kalau kamu selingkuh karena aku nggak bisa kasih kamu anak, aku mungkin akan berusaha untuk memahami kamu. Tapi bukan itu alasan kamu. Kamu justru mengatakan bahwa aku lah yang jadi selingkuhan kamu di sini. Istri kamu sendiri. Kamu menyebut istri kamu sendiri sebagai selingkuhan kamu. Kalau begitu apa artinya tujuh tahun ini bagi kamu? Nggak ada artinya apapun. Kamu seorang pembohong dan aku orang bodoh."

"Kita bicarakan semua di rumah."

"Sampai di sini, semua udah jelas. Kecuali satu hal. Siapa ayah dari bayi yang dikandung Mbak Lisa?"

Haris bungkam, seakan itu adalah pertanyaan fatal yang ingin ia hindari.

"Kenapa? Kenapa kamu nggak jawab, Mas? Apa itu anak kamu?" Wajah Karina sedikit mengernyit ketika sesuatu terasa menusuk jantungnya. Memberikan rasa sakit yang membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Jawab pertanyaan aku. Bayi itu ... adalah anak kamu?"

"Itu bukan urusan kita."

Sebuah jawaban yang sudah menjelaskan semuanya. Karina tak lagi membutuhkan jawaban karena kalimat itu sudah cukup jelas dan berhasil kembali menghancurkan hatinya. Harapannya sirna, bersama hilangnya rasa simpati Haris padanya.

"Baik, itu keputusan kamu. Dari sini, semua udah jelas."

"Kita belum selesai."

"Lisa mungkin bersedia berbagi laki-laki. Tapi aku ... sampai kapan pun, aku nggak akan bisa berbagi suami."

"Maksud kamu apa, Karina?"

"Aku nggak akan minta kamu ninggalin Lisa. Sepertinya kamu masih punya tanggung jawab terhadap pacar kamu itu." Karina berbicara dengan nada sedikit menyindir meski ia tengah menahan tangisnya.

"Aku minta cerai," celetuk Karina, membuat keputusan dalam waktu yang singkat tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di depan sana. Ia, sudah tidak peduli dengan apapun.

"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status