Kata orang, mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, dan hati juga dibalas dengan hati. Tapi tidak bagi seorang Kayla Anindita. Pengkhianatan idealnya dibalas dengan kematian. Deal. Tidak ada kompromi kalau soal sakit hati. Dan orang yang sedang kecewa, acap kali kalap dalam bertindak.
Bodoh amat! Key seolah tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Baginya, suami dan pelakor itu adalah sampah yang harus ia musnahkan sesegera mungkin. Kalau terus dibiarkan hidup, akan semakin busuk dan baunya bakalan menyengat indera perasaan Kayla. Hati. 'Mampus lah kalian berdua! Selamat jalan menuju neraka. Titip salamku pada malaikat pencabut nyawa dan malaikat penjaga gerbang jahanam. Gumam Key pada diri sendiri.' Setelah berhasil menjalankan aksinya, Key pun lantas segera bergerak menuju mobilnya. Ia tidak mau jika sampai ada yang tahu apa yang sudah ia lakukan pada mobil Brayan. Jika sampai suaminya dan wanita bernama Lisa itu tewas dan ia terbukti menyabotase kecelakaan mereka, Key bisa dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP, atas dasar pembunuhan berencana. Tak main-main, hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau seringan-ringannya penjarakan seumur hidup. Ih, membayangkannya saja membuat bulu roma Key berdiri. Beruntung tidak ada yang melihat apa yang ia lakukan tadi. Hanya saja Key lupa, jika ia saat ini hidup di zaman digital. Tak ada manusia, maka ada CCTV yang menjadi saksi. "Hahahaha ...." Key tergelak saat mobilnya sudah melaju meninggalkan hotel berbintang itu. Ia terlihat begitu puas dan bahagia. Meski kalau boleh jujur, nun jauh di palung hatinya yang paling dalam, ingin rasanya ia menangis dan menjerit sekencang-kencangnya. Sebab biar bagaimanapun, Brayan adalah laki-laki yang pernah ia cintai secara ugal-ugalan. Namun sebentar lagi harus tewas di tangannya sendiri. Mengingat itu, membuat Key tiba-tiba saja menjadi sedih. Ya, Key menangis. Menangis sembari sesekali tertawa seperti orang gila. Ia usap air matanya dengan satu tangan sementara tangan yang lain tetap berada pada setir. Kakinya terus saja menginjak gas dengan sangat kuat, membuat laju mobilnya menjadi begitu kencang nyaris mendekati angkat seratus kilo meter per jam. "Kenapa kau mengkhianati ku, Brayan? Apa kurangnya aku? Aku cantik, aku setia, aku kaya, aku punya segalanya. Aku berikan semua yang kamu mau. Tapi ... ini balasannya? DASAR LAKI-LAKI LAKNAT!" Key kembali memaki suaminya. Sungguh, tidak pernah ada dalam pikiran seorang Key, jika pernikahannya bersama Brayan akan berujung hancur seperti ini. Jika diingat-ingat ke belakang, bagaimana bahagia dan mesranya mereka saat awal-awal bertemu, mustahil, jika Brayan akan berpaling darinya. Pria itu dulu hanyalah bawahan Key di kantor. Lalu Key menyukainya dan mengajaknya untuk berkencan. Tanpa penolakan, Brayan menerima ajakan Key begitu saja. Hingga waktu terus bergulir, hubungan mereka mulai berubah menjadi hubungan yang lebih dari sekedar hubungan atasan dan bawahan. Brayan melamar Key tepat di hari anniversary jadian mereka yang ke enam. Dan tanpa penolakan, Key langsung menerima Brayan dan mereka pun menikah. Dua bulan pernikahan mereka, Key justru mengendus bau-bau perselingkuhan dari diri suaminya. Mulai dari aroma parfum yang bukan aroma parfum yang ia belikan untuk Brayan. Hingga pengeluaran keuangan dari credit card suaminya yang tidak sewajarnya. Ingin membuktikan jika firasatnya tak sekedar isapan jempol semata, Key pun melacak penggunaan credit card suaminya dan ia berhasil menemukan nama sebuah hotel berbintang lima. Tak menunggu esok, Key langsung menuju ke lokasi yang dimaksud dan ingin melabrak suaminya secara ekslusif yang katanya, "pamit pergi ke luar kota sebab ada urusan kantor mendesak." Nyatanya, hanya pengkhianat yang Key temui! "Selamat tinggal Brayan Adi Kusuma. Semoga kau merasakan apa yang saat ini aku rasakan. Sakit, kecewa, sedih, semuanya." Key kembali tertawa getir dengan linangan air mata yang terus membanjiri wajah cantiknya. Mobil Key terus melaju kencang di tol, membelah gelapnya malam yang mulai larut. Jalanan terlihat lengang dengan kendaraan yang hanya tampak satu dua saja melintas. Dalam kekacauan hati, Key mulai menyadari jika laju mobilnya sudah sangat terlalu cepat. Oleh karena itu, ia pun berniat utk menurunkan kecepatan dengan menaikkan pedal gas dan menginjak pedal rem. Akan tetapi, saat kaki Key menginjak pedal rem tersebut, ia merasa seperti ada sesuatu yang aneh. "Ada apa ini? Kenapa pedal remnya seperti blong?" Key terus memainkan kakinya dan menekan-nekan pedal rem tersebut, tapi hasilnya tetap nihil. Pedal itu benar-benar tidak berfungsi. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak bisa menghentikan laju kendaraanku." Key mulai panik. Dan dalam ketegangan keadaannya, tampak sebuah truk tronton pengangkut minyak yang berada tepat di depan mobil Key. "Aaaaaa!" teriak Key sebelum mobil mewahnya itu menabrak belakang truk dan .... Bruk! Mobil Key ringsek dan masuk ke bawah truk tersebut. Semua pengendara lain berhenti saat mengetahui jika ada kecelakaan di ruas jalan tol kilometer lima puluh. Polisi dan ambulans segera menuju ke TKP untuk memeriksa dan memberikan pertolongan bagi korban. Butuh waktu empat jam guna mengeluarkan mobil mewah berjenis Ferarri berwarna merah menyala itu. Sebab tak hanya ringsek, kendaraan dengan harga miliyaran rupiah itu nyaris tak berbentuk dan hancur total. Bagaimana lagi dengan pengemudinya. "Kasihan sekali, apakah dia selamat?" tanya salah seorang pengemudi jalan tol yang berhenti. "Mana mungkin selamat, lihat ... mobilnya saja hancur begitu." "Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya." "Apakah dia mengemudi dalam keadaan mabuk?" Berbagai prasangka dan praduga pun dilayangkan oleh beberapa orang yang menyaksikan evakuasi mobil dan truk tronton tersebut. Setelah badan mobil berhasil dipisahkan, tim forensik langsung mendekat dan mengeluarkan pengemudinya. Seorang wanita yang sudah tidak dapat dikatakan cantik lagi, sebab wajahnya hancur dan bersimbah darah, langsung diboyong ke atas brankar ambulans. Seorang tim medis meraih tangan wanita itu dan memeriksanya. Kepalanya tampak bergerak ke kiri dan ke kanan. "Bagaimana?" tanya salah seorang polisi. Petugas medis itu melihat kepada jam tangannya. "Korban sudah meninggal dunia, pukul satu lewat lima belas menit dini hari." Sang polisi tampak membuang napas kasar. "Baiklah aku akan mencatat datanya dulu." Polisi itu kemudian mengeluarkan kartu tanda pengenal korban yang ia temui di dalam sebuah tas samping. Ada nama dan foto korban di sana. Sudah pasti, nama korban meninggal itu adalah Kayla Anindita."Iya, rahasia. Kamu dan Brayan pasti punya rahasia kan yang tidak Kayla tahu. Ngaku kamu!" Elena terus maju sedang Key mulai mundur perlahan. "Tidak ada rahasia apa-apa, Mbak. A—aku ...." "Tega banget ya kamu sama Kayla. Salah apa Kayla sama kamu? Jawab!" Elena terus mendorong pundak Lisa hingga membuat Kayla takut. Selama ini, Key tidak pernah melihat asisten pribadinya bersikap seperti itu kepada orang lain, apalagi kepadanya. Mungkin karena Elena sudah benar-benar muak melihat Lisa yang sampai hati merebut suami sahabatnya. "Mbak ... tahan dulu. Aku benar-benar tidak menyimpan rahasia apa pun dari Ibu Kayla. Kalau Mbak marah karena go public kami hari ini, Mbak sebaiknya tanyakan ke Mas Brayan. Ini semua atas kemauan Mas Brayan, bukan aku. Sumpah." Elena menghentikan langkah kakinya dan menyunggingkan senyum sinis kepada Lisa. Untuk kali ini, ia sedikit setuju dengan kata-kata sang pelakor. Memang benar, dalam setiap hubungan perselingkuhan, acap kali yang menjadi sasar
"Kamu?" tanya Key tak percaya. Rava menyorot tajam dan penuh kebengisan ke arah wajah Lisa. Punggung perempuan itu tampak masih menempel di dinding lift, dengan kedua tangan yang berada dalam cengkeraman tangan sang pacar. "Tolong jelaskan kepadaku, Lisa. Apa maksud dari semua itu tadi?" tanya Rava sembari menggigit gigit. Geram. "Rava, sakit. Tolong lepasin," mohon Kayl "Sakit katamu, hah? Sakit mana dengan hatiku, hmm? Bertahun-tahun aku berjuang, hanya untuk bisa melamarmu suatu hari nanti, tapi apa yang aku dapat? Kau malah mau menikah dengan Pak Brayan?" "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Rava. A—aku ...." Key mencoba untuk menjelaskan tapi terhenti. "Tidak seperti yang aku bayangkan bagaimana? Jelas-jelas tadi Pak Brayan bilang, jika kalian akan segera menikah. Apa kau mau bilang jika itu hanya lelucon saja?" Kayla menggeleng dengan kepala yang menunduk. Ia benar-benar bingung dengan situasi ini. Bagaimana cara menjelaskan kepada laki-laki yang ada di depannya
"Perkenalkan, ini Lisa, calon istri saya," ucap Brayan santai. "What?!" Elena dan semua yang mendengar pengakuan Brayan terkejut luar biasa. Mereka sampai ricuh dan saling lihat satu sama lain. Tak terkecuali Rava. Pria berjas abu-abu itu bahkan sampai tak mengedipkan matanya sejak dari Key melangkah naik ke atas panggung dan berdiri sembari tersenyum manis di sisi sang CEO. 'Lisa? Dia akan menikah dengan Pak Brayan? Bagaimana bisa? Semalam aku baru bertemu dengannya dan dia tampak baik menyambut kedatangan dan niat baikku. Apa itu semua hanya sandiwaranya untuk menutupi perselingkuhannya selama ini?' Tangan Rava menggenggam erat. Dengan penuh kekecewaan, ia pun berbalik dan langsung berlalu, keluar dari ruangan itu. Entah ke mana ia akan pergi? Yang jelas, ia ingin meluapkan kekesalannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan acara tersebut. Begitu menyesakkan, saat melihat pengkhianatan yang Lisa lakukan di depan matanya. Bagaimana tidak, selama ini ia telah berjuang hab
Key duduk sembari terus menatap ke arah gedung tinggi yang ada di depannya. Memainkan tangan Lisa demi menghilangkan rasa gugupnya yang kian membuncah. Itu kantor milikinya, tapi rasanya seperti neraka bagi dia yang masih terjebak di dalam tubuh sang pelakor. Kalau saja raganya bukan raga Lisa, melainkan raga perempuan lain, mungkin ia tidak akan se-nervous ini. Terlebih saat mengingat bagaimana dulu ia dan Lisa berseteru di depan semua karyawan, ia yakin, para karyawannya belum amnesia dengan kejadian itu. 'Bagaimana jika saat mereka melihatku, aku justru di perlakukan kasar. Diserang seperti saat Elena menyerangku waktu itu? Astaga, aku bisa mati di sana.' Key membuang napas kasar. Bersamaan dengan kekhawatiran Kayla, Brayan pun sudah kembali ke mobil. "Maaf ya aku lama. Nih, untukmu." Brayan menyodorkan sekaleng coffee dingin yang baru saja ia beli dari mini market kepada Lisa. "Terima kasih, Mas." Key memasang raut wajah datar di wajah selingkuhan suaminya itu. Melihat
Lima bulan yang lalu .... "Kau sudah atur jadwal pertemuan kita dengan pihak ketiga pada proyek yang kemarin?" tanya Kayla pada bawahannya yang sedang mengikuti langkahnya yang tergesa. Ia ada meeting dadakan sebentar lagi, jadi harus segera tiba di ruangan sebelum kliennya tiba. "Sudah, Bu. Saya sudah atur jadwalnya. Pukul delapan malam ini di Hotel Ocean," jawab sang bawahan. "Bagus. Terus soal proposal kita yang akan diantar kepada Pak Ridwan, apa sudah kamu selesaikan." "E ... untuk itu, saya ... saya belum ...." Key menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban terbata dari bawahannya. Ia pun berbalik dan melihat tajam kepada pria berkemeja putih dengan dasi biru dongker tersebut. "Kenapa kamu belum menyelesaikannya?" tanya Key dengan raut wajah kesal. "E ... maaf, Bu. Saya kemarin harus mengerjakan yang lain, jadi ...." "Astaga, Brayan! Kamu tahu kan kalau proposal itu harus diantar besok sebelum pukul dua. Kalau telat, mereka tidak akan mau menerimanya lagi. Ka
Selang dua puluh menit, mobil Brayan sudah tiba di depan rumah Lisa. Bersamaan dengan itu, tampak Hendra yang juga baru pulang dengan langkah sempoyongan. Berjalan ke arah Brayan dan berhenti tepat di depan selingkuhan anaknya itu. "Selamat malam, Pak," sapa Brayan sopan. "Eum, malam juga. Mau jemput Lisa kau?" tanya Hendra sinis. "Iya ... soalnya besok ...." Belum selesai Brayan dengan kata-katanya, Key sudah lebih dulu keluar dan langsung menyapa sang suami. "Maaf ya, Mas, aku lama." sandiwaranya. "Tidak apa-apa sayang. Justru harusnya aku yang minta maaf, karena sudah buat kau nunggu lama. Tadi ada meeting dengan klien, jadi aku pulangnya agak malam," jelas pria yang masih memakai setelan jas kantornya itu. "Tidak apa-apa kok, Mas. Aku juga sudah kangen sama kamarku. Malah tadi aku pikir Mas tidak akan datang dan aku bisa menginap di sini." Key melepas senyum palsunya. "Ya tidak dong sayang. Lagian besok kan ada acara penting yang harus kita hadiri," jelas Brayan yang