Share

11. Kepala Devisi

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2022-11-10 20:01:13

"Selamat datang Ibu Annasta kami berharap Ibu bisa membimbing kami dengan pengalaman Anda yang terbilang sangat fantastis. Semua sekarang kita satu tim dalam desain," kata salah satu anggota y ang ada di dalam.

"Tolong segera perkenalkan nama kalian masing-masing!" kata wanita yang sedikit terlihat menor cara merias diri.

"Saya Gendis, tim desain interior 1. salam kenal, Ibu Ann!" sapa Gendis.

"Tunggu apa maksud kamu dan kalian semua memperkenalkan diri dengan cara seperti ini pada saya, bukankah posisi kita sama. Sebagain karyawan desain?" tanyaku pada mereka yang terlihat melongo.

"Apa tadi diruang HRd Ibu Irene tidak menjelaskan pada Ibu mengenai posisi Ibu di sini?" tanya Gendis.

Aku hamya menggelengkan kepala karena sejujurnya aku pun tidak mengerti masalah jabatan yang aku terima saat kerja di sini.

" Jika kalian tidak keberatan tolong jelaskan masalah tugas saya di sini sebagai apa bagi kalian semua," kataku dengan tegas dan datar.

Semua mata saling tatap satu sama lain, mereka bahkan ada yang mencibir seakan tidak suka atas apa yang

kudapatkan secara langsung tanpa harus berjuang terlebih dahulu. Hanya Gendis yang terlihat sangat bahagia, gadis itu bahkan masih tersenyum manis dihadapanku.

"Maaf, Ibu Ann, saya di sini sebagai wakil devisi desain interior memberitahukan bahwa posisi Anda di sini sebagai kepala devisi desain tim inti yang berkuasa atas seluruh ruangan ini!" jelas Gendis.

Netraku seketika membelalak tidak percaya akan semua kalimat yang terlontar dari bibit merah hati milik Gendis. Tetapi gadis itu masih mengulas senyum manisnya, lalu memeluk lenganku dan dibawanya aku pada sebuah meja yang ada di tengah.

"Ini meja Anda, Ibu Ann. Silahkan diletakkan semua berkas di atas meja agar lengannya tidak bengkak!" ucap Gendis dengan nada datar tetapi sedikit berkelakar.

Annasta sedikit terhenyak dengan aura semua tim yang terlihat ganas dan garang seakan siap memakan mentah mentah. Aku berusaha menguasai otakku agar bisa segera beradaptasi dengan mereka.

"Jangan tegang seperti itu, Ibu Ann. Kami bukan kanibal kok, santai saja," kata perempuan yang berpenampilan casual.

"Kita memang seperti ini, Bu. Tetapi baik kok," ucap lelaki satu-satunya yang ada di dalam ruangan.

"Oke, gaes. Sudah waktunya kalian perkenalan, selanjutnya segera kerjakan tugas yang sudah saya bagi pada meja kalian masing-masing!" ucap Gendis yang tanpa saya ketahui berkas di meja sudah berkurang.

"Dan maaf, Bu, terpaksa saya mencuri beberapa berkas yang tadi ibu bawa untuk dibagi pada yang lain, sekarang silahkah dilanjutkan!" kata Gendis.

"Baiklah untuk mempersingkat waktu, nama saya Anis, masih single!" kata Anis.

"Saya Anton, Bu. Naksir Anis tetapi susah!" ucap Anton berkelakar.

Huuu

Serentak semua bersorak saat Anton selesai memperkenalkan diri. Sslanjutnya semua memperkenalkan diri yang kesemua nama mereka berawalan huruf A. Sebenarnya apa maksud dari Irene ini yaa ....

Waktu terus berjalan dan aku merasa nyaman berkerja secara tim. Semua anggota tim masih sangat muda dengan semangat yang 45. Hal inilah yang merasa aku seperti muda lagi. Si Anton selalu menjadi bahan ejekan para wanita. Namun, lelaki setengah perempuan itu hanya menikmati perannya.

"Hai, tanpa aku di sini pastilah tim kalian akan jutek. Aku lah leaders yang sesungguhnya, taarraa!" ucap Anton dengan gaya khasnya.

Semua tertawa, hal inilah yang terkadang membuat aku rindu suasana kerja. Mereka sangat mendukung satu sama lain bagai sebuah keluarga, sangat nyaman.

"Antoon!! Kamu ya, selalu bikin rusuh. Ini lagi dikejar deadline. Awas jika kamu tidak tepat waktu!!" ancam Anis dengan muka garang.

"Laahh, orang kata jika terlalu serius berasa cepat tua, Neng!" kilah Anton.

Lalu pemuda itu terlihat menari-nari ala India hingga membuat kami yang melihat menjadi tertawa. Aku pun ikut tertawa sampai keluar air mataku tanpa kuinginkan.

"Sudah ah, capek. Sekarang kembali ke laptop!" ucap Anton yang sudah pada mode serius.

Aku hanya geleng kepala melihat interaksi semua anak buahku itu. Setelah suasana kondusif aku berdiri sambil memandang setiap wajah anak buahku itu.

"Ingat ini adalah pelanggan eksklusif kita, jangan sampai yang bersangkutan kecewa dengan kinerja kalian. Ada bonus tersendiri dari saya bila pelanggan puas atas hasil kerja kalian!" ucapku.

" Yey yey, bonus, bonus!!" ucap Anton sangat antusias jika mendengar kata bonus.

Aku sengaja memberi mereka bonus jika mendapat tender yang cukup besar dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Job ini kami dapatkan dengan mengalahkan perusahaan desain berskala internasional, perusahaan raksasa yang berpusat di Kuala Lumpur. Aku sangat bangga pada anggota tim yang selalu bekerja sama dengan solid tidak adanya rasa iri dengki.

"Bu Ann, jika semua dapat bonus apa perusahaan tidak rugi tuh?" cicit Alma, gadis yang selalu jutek padaku.

"Tenang saja, ini bonus khusus dari uang pribadiku," jawabku tegas dan dingin.

"Nanti hasil korup? Mending tidak ada bonus jika hasil korup!" tegas Alma lagi.

"Jangan khawatir, gaji saya satu bulan cukup untuk kalian habiskan berlibur ke Puncak dua malam. Bagaimana?" tantangku.

"Bagaimana man-teman? Aku sih, yes!" jawab Anton yang terlihat paling antusias.

"Mengenai akomodasi?" tanya Anis.

"Penginapan dan seisinya dari Bu Irene, tiket pulang pergi dari saya plus uang saku masing-masing 250k untuk kalian dari saya. Siapa yang mau ikut segera tuntaskan kerjaan itu dengan hasil yang maksimal. Aku percaya dengan kemampuan kalian semua, semangat!"

###SA###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   183. Akhir yang Pilu

    "Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   182. Quinsa

    Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   181. Tamu yang Sudah Aku Tunggu

    Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   180. Kubebaskan Hatiku

    Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   179. Gibran 2

    "Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   178. Gibran

    Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status