MasukJuwita sudah teriak-teriak, berharap Ajeng segera keluaran kamar. Tapi usaha Juwita berujung sia-sia karena Ajeng seolah tak peduli.
“Ada apa dengan dia?” Juwita duduk di sofa karena merasa lelah. Tatapan Juwita tertuju pada tumpahan jus yang ada di lantai. “Dia tidak mau membersihkan tumpahan jus itu?” “Itu artinya dia menyuruh aku membersihkannya?” Dengan ekspresi kesal Juwita mendengus tak percaya. “Lihat saja, sampai kapan dia betah di kamar.” Juwita tentu tidak mau membersihkan tumpahan jus itu. Biasanya dipanggil sekali saja Ajeng langsung datang seperti anjing yang kelewat penurut, tapi sekarang sudah tidak lagi. Juwita menatap sapu yang tergeletak di lantai, Ajeng dengan beraninya melempar sapu itu dan tidak mengembalikannya ke tempat asal. “Apa dia mau membuat aku mati lebih cepat? Sudah bagus putraku mau menikahinya.” “Dia tinggal bersih-bersih rumah, tapi sekarang malah bertingkah dan berlagak mau menyewa pembantu.” “Mimpi!” Juwita tidak akan membiarkan Ajeng menghambur-hamburkan uang putranya. “Dia mau hidup santai tanpa bersih-bersih rumah? Bener-bener perempuan kampungan dan tidak berguna.” Dua jam kemudian…. “Dia pasti berubah pikiran dan sudah merenungi kesalahannya.” Juwita sedikit tersenyum. “Cepat bersi … kenapa kamu membawa tas?” Juwita yang awalnya duduk santai seketika langsung berdiri. “Mau jalan-jalan,” sahut Ajeng tanpa beban. “Memanjakan diri.” “Apa?!” Ekspresi Juwita langsung tidak santai. “Memanjakan diri itu cuma buat perempuan karir yang punya banyak uang.” “Bukan perempuan tidak tahu diri seperti kamu yang tahunya cuma mengeruk uang putra Mama,” sinis Juwita. “Gitu?” Ajeng mengangguk pelan. Juwita tidak puas dengan respon Ajeng, seharusnya Ajeng langsung meminta maaf karena telah begitu lancang dan tidak tidak tahu diri. Tapi Ajeng bahkan tidak merasa bersalah samasekali, kali ini Juwita tidak akan membiarkan Ajeng seenaknya sendiri. “Lagipula suami kan mencari uang untuk menafkahi istri, kalau bukan untuk aku pakai lalu untuk siapa? Istri orang?” Juwita yang mendengar hal itu semakin murka. “Jangan kurang ajar kamu! Mama tidak mengizinkan kamu pergi.” “Tapi Mas Haekal mengizinkan aku pergi.” Ajeng menunjukkan bukti chatnya dengan Haekal. “Haekal sedang sibuk kerja, untuk apa aku mengganggunya?” tanya Juwita. “Cuma mengirim pesan, bukan ke kantor dan menggodanya,” balas Ajeng. Ajeng terdiam sebentar. “Mama sebaiknya jangan terlalu sering marah, manusia kalau sering marah-marah bisa depresi.” “Lebih parahnya juga bisa kena sakit mental,” lanjut Ajeng dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Juwita memegangi jantungnya yang berdetak lebih cepat, perempuan itu juga sampai sakit kepala karena kelakuan Ajeng. Meskipun niat Ajeng baik, memberikan informasi pada Juwita. Namun Juwita malah mengira Ajeng sengaja menyumpahinya. Ajeng memanfaatkan kesempatan tersebut untuk segera pergi, tapi Juwita dengan cepat langsung menghalanginya. “Kamu tidak akan pernah pergi kemanapun,” tekan Juwita. “Tas kamu biar Mama yang simpan, kamu sana pel lantai yang kotor.” Juwita berniat mengambil tas yang dibawa oleh Ajeng. “Berikan tas kamu,” paksa Juwita yang masih berusaha menarik tas itu. Juwita sampai terjengkang karena ulahnya sendiri, perempuan itu pura-pura kesakitan agar Ajeng tidak jadi pergi. “Mama jatuh sendiri, aku tidak melakukan apapun.” Ajeng mengangkat kedua tangannya. “Mama pasti kesulitan berdiri.” Ajeng menatap Juwita yang langsung mengangguk cepat. Ajeng membantu Juwita berdiri sekaligus duduk di sofa, jangan dipikir Ajeng akan merasa sangat kasihan dan tidak jadi pergi. “Mama istirahat saja, aku pergi dulu.” Ajeng langsung melipir pergi. “Ajeng!” Juwita berniat mengejar Ajeng tapi pinggangnya tiba-tiba sedikit encok. “Kurang ajar.” *** •Tempat spa• “Itu bukannya kakak iparnya Nilam ya? Dia juga mau spa di sini? Memang dia pantas?” “Jangan-jangan dia asal datang dan tidak tahu apapun tentang tempat ini.” “Bisa-bisanya Kak Haekal menikah dengan perempuan yang seperti itu.” Tiga perempuan itu adalah teman Nilam, lebih tepatnya mereka bertiga pernah dekat dan berteman dengan Nilam. Setelah keluarga Nilam bangkrut, mereka bertiga tidak mau lagi berteman dengan Nilam karena mereka dan Nilam sudah tidak lagi setara. Tiga perempuan itu pernah menyukai Haekal dan sempat bermimpi untuk menjadi kakak ipar Nilam. “Meskipun Kak Haekal cuma manajer perusahaan cabang, tetap saja tidak cocok dengan perempuan seperti itu.” “Ada yang bisa saya bantu?” Seorang resepsionis menghampiri Ajeng dengan ekspresi malas. Ajeng berusaha tenang, perempuan itu tentu tahu apa yang resepsionis itu pikirkan. “Saya ingin mencoba paket spa relaksasi.” “Oohh, baru pertama kali mencoba?” Suara resepsionis itu terdengar meremehkan. “Paket spa relaksasi katanya.” Salah satu teman Nilam tertawa. “Aku yakin dia tidak tahu apapun tentang spa.” “Katanya perempuan itu tidak jelas asal-usulnya, dia mungkin dari tempat terpencil yang sering mandi pakai air kotor.” “Lucu sekali, mau mencoba paket spa relaksasi. Dia mungkin cuma bawa uang pas-pasan.” Ajeng mendengus lucu membuat ekspresi tiga perempuan itu langsung kesal. Tiga perempuan itu merasa diejek oleh Ajeng. Padahal tiga perempuan itu yang lebih dulu merendahkan Ajeng, belum apa-apa mereka bertiga malah tersinggung. “Adik-adik ini ternyata sangat suka ikut campur ya,” sindir Ajeng. “Kita cuma bilang fakta, masih ada waktu untuk pergi sebelum kamu kehilangan muka di tempat ini.” Salah satu dari mereka menatap sang resepsionis. “Usir perempuan kampung itu, cepat.” “Setuju, melayani dia cuma membuat status tempat ini menjadi rendah.” “Silahkan pergi.” Resepsionis itu langsung mengusir Ajeng dengan ekspresi jutek. “Aku cuma perlu waktu dua menit untuk membereskan kalian … percaya?” Pertanyaan Ajeng membuat mereka tertawa. Ajeng mengirim pesan pada seseorang, tidak butuh waktu lama manajer yang bekerja di tempat tersebut langsung muncul. “Mulai detik ini kamu dipecat.” Manajer tersebut menatap sang resepsionis. “Dan kalian.” Manajer tersebut belarih menatap tiga perempuan yang telah merendahkan Ajeng. “Kalian jangan lagi menginjakkan kaki di tempat ini.” “Nama kalian juga sudah di blacklist dari semua tempat spa, klinik, dan salon kecantikan baik yang ada di kota ini maupun kota lain,” lanjut manager itu. “Apa?!” Tiga perempuan itu langsung shock. ‘Ini agak berlebihan.’ Ajeng juga agak shock, padahal tiga perempuan itu diusir saja sudah sangat cukup. “Satpam!” Manager itu membuat tiga perempuan tersebut dan sang resepsionis diseret pergi secara paksa. “Maaf atas ketidaknyamanannya.” Manager itu menunduk hormat pada Ajeng. *** •Sore harinya• “Hari ini Mama harus buat Kak Haekal memberikan pelajaran pada perempuan itu, dia udah berani semena-mena.” “Aku aja sibuk mencari kerja, dia malah enak-enakan di tempat spa,” lanjut Nilam yang membuat hati Juwita semakin kesal. “Haekal, kamu akhirnya pulang.” Juwita langsung menghampiri Haekal yang baru saja memasuki rumah. “Mama menangis?” Haekal menatap mata Juwita yang berair. Juwita mengusap air matanya dan memasang wajah sesedih mungkin, sementara Nilam berpura-pura menenangkan Juwita. “Haekal, apa kamu sudah tahu kalau istri kamu itu menolak bersih-bersih rumah dan bahkan mendorong Mama sampai jatuh?” Bersambung….Untuk sesaat tubuh Ajeng membeku kala melihat laki-laki yang ada di foto, itu adalah laki-laki yang sempat jalan dengan Nilam.‘Hah?’ Awalnya Ajeng pikir lelaki itu sedang berjalan dengan Nilam, tapi nyatanya tidak.Ajeng lihat lelaki itu jalan dengan perempuan lain bersama dengan seorang anak. “Maaf.”Setelah itu Ajeng kembali lanjut jalan. ‘Aku mana mungkin salah lihat, dia laki-laki yang ada di foto.’‘Jadi … Nilam ditipu? Atau mungkin Nilam yang menjadi selingkuhan dia?’ Menurut Ajeng itu terlalu mengejutkan.Lelaki yang ada di foto itu sudah punya anak, Ajeng belum bisa langsung menyimpulkan karena tidak punya bukti lebih banyak.Sampai akhirnya, Ajeng kembali mendapatkan foto dari orang suruhannya. Orang itu sudah menemukan lokasi Nilam saat ini.“Apa lagi ini?” Untuk kesekian kalinya Ajeng dibuat shock karena kelakuan Nilam.“Apa dia udah tidak waras?” Kali ini Ajeng mendapatkan foto dimana Nilam sedang berjalan mesra dengan pria tua.“Jadi Nilam setiap hari melakukan itu? Jala
Ajeng masih tenang meskipun dituduh yang tidak-tidak, masa depan Ajeng suram? Justru kehadiran Juwita lah yang membuat hidup Ajeng menjadi suram.“Kenapa Mama bilang seperti itu?” Suara Haekal terdengar dingin.“Kamu ini Haekal, bela aja terus istri kamu itu.” Suara Juwita terdengar sangat sewot.“Kalau adik ipar tidak mau ya udah, sharusnya aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri,” ujar Ajeng.‘Apa dia sengaja sok sedih seperti itu?’ Juwita harus membela diri. “Apa maksud kamu mengerjakan semuanya sendirian?”“Kamu sengaja menjelek-jelekkan Mama di depan putra Mama sendiri? Kamu mengatai Mama malas? Iya?”“Kedengarannya seperti bukan pertanyaan, tapi pengakuan,” sarkas Ajeng.Juwita semakin geram, kemana Ajeng yang tidak pernah berani membalas ucapannya? Kalau seperti ini Juwita bisa mati cepet karena kesal.“Kamu ….” Juwita menunjuk Ajeng.“Ma cukup.” Haekal tidak ingin mendengar perdebatan apapun. “Nilam, kamu seharusnya lebih peka.”“Selama ini apa pernah kamu sedikit aja me
Rasanya tidak puas jika Juwita belum berhasil membuat Haekal memarahi Ajeng habis-habisan, itu salah satu alasan Juwita terus berulah. “Mama menyinggung Ajeng lagi?” Sudah berkali-kali Haekal memperingatkan Juwita. “Kak, Mama jatuh karena istri Kakak. Kenapa Kakak malah menuduh Mama yang tidak-tidak?” protes Nilam. “Memangnya kamu lihat sendiri kakak ipar kamu mendorong Mama?” Haekal mana mungkin tidak tahu kelakuan Juwita dan Nilam. “Kejadiannya kan tadi pagi, kalau aku lihat sudah pasti aku dorong balik perempuan kampungan itu,” desis Nilam. “Jaga bicara kamu.” Haekal menatap tajam Nilam. Nilam langsung memeluk lengan Juwita erat-erat, perempuan itu tidak mengerti kenapa kakaknya itu terus berpihak pada Ajeng. Juwita sudah sesedih itu pun tidak ada tanda-tanda Haekal peduli dan berniat mengamuk pada Ajeng karena telah membuat mamanya sedih. “Mas, kok masih berdiri di dekat pintu?” Ajeng mengambil alih tas yang dipegang oleh Haekal. “Kamu pasti capek.” “Lebih baik-baik bersi
Juwita sudah teriak-teriak, berharap Ajeng segera keluaran kamar. Tapi usaha Juwita berujung sia-sia karena Ajeng seolah tak peduli.“Ada apa dengan dia?” Juwita duduk di sofa karena merasa lelah.Tatapan Juwita tertuju pada tumpahan jus yang ada di lantai. “Dia tidak mau membersihkan tumpahan jus itu?”“Itu artinya dia menyuruh aku membersihkannya?” Dengan ekspresi kesal Juwita mendengus tak percaya.“Lihat saja, sampai kapan dia betah di kamar.” Juwita tentu tidak mau membersihkan tumpahan jus itu.Biasanya dipanggil sekali saja Ajeng langsung datang seperti anjing yang kelewat penurut, tapi sekarang sudah tidak lagi.Juwita menatap sapu yang tergeletak di lantai, Ajeng dengan beraninya melempar sapu itu dan tidak mengembalikannya ke tempat asal.“Apa dia mau membuat aku mati lebih cepat? Sudah bagus putraku mau menikahinya.”“Dia tinggal bersih-bersih rumah, tapi sekarang malah bertingkah dan berlagak mau menyewa pembantu.”“Mimpi!” Juwita tidak akan membiarkan Ajeng menghambur-ham
“Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot pasang dasi sendiri karena kamu sudah memiliki istri, oh iya ….”“Istri kamu kan tidak jelas asal-usulnya, dia mungkin cuma lulusan SD. Jadi tidak terlalu pintar dan tidak bisa memasang dasi dengan benar,” lanjut Juwita.Yang Ajeng lakukan hanya pura-pura tuli, ibu mertuanya itu memang bermulut pedas dan seperti punya dendam kesumat pada Ajeng.Bagi Juwita, Ajeng hanya menantu yang tidak jelas asal-usulnya. Orangtua Ajeng juga bahkan tidak tahu siapa.Ajeng mengaku dirinya yatim-piatu, meskipun begitu Haekal sangat mencintainya dan selalu menghargainya.“Masalah dasi saja dipermasalahkan, anak SMP saja bisa pasang dasi sendiri. Lagipula Ajeng sibuk di dapur, sebagai suami aku harus mengerti.”“Kamu ini terlalu memanjakan istri kamu, kalau seperti ini caranya dia bisa jadi tidak tahu diri.” Suara Juwita terdengar tidak suka.“Kalau aku sangat dimanjakan, aku tidak perlu repot-repot mengerjakan pekerjaan rumah. Aku cuma perlu duduk santai, menema







