MasukRasanya tidak puas jika Juwita belum berhasil membuat Haekal memarahi Ajeng habis-habisan, itu salah satu alasan Juwita terus berulah.
“Mama menyinggung Ajeng lagi?” Sudah berkali-kali Haekal memperingatkan Juwita. “Kak, Mama jatuh karena istri Kakak. Kenapa Kakak malah menuduh Mama yang tidak-tidak?” protes Nilam. “Memangnya kamu lihat sendiri kakak ipar kamu mendorong Mama?” Haekal mana mungkin tidak tahu kelakuan Juwita dan Nilam. “Kejadiannya kan tadi pagi, kalau aku lihat sudah pasti aku dorong balik perempuan kampungan itu,” desis Nilam. “Jaga bicara kamu.” Haekal menatap tajam Nilam. Nilam langsung memeluk lengan Juwita erat-erat, perempuan itu tidak mengerti kenapa kakaknya itu terus berpihak pada Ajeng. Juwita sudah sesedih itu pun tidak ada tanda-tanda Haekal peduli dan berniat mengamuk pada Ajeng karena telah membuat mamanya sedih. “Mas, kok masih berdiri di dekat pintu?” Ajeng mengambil alih tas yang dipegang oleh Haekal. “Kamu pasti capek.” “Lebih baik-baik bersih-bersih, aku siapkan minuman hangat buat kamu,” lanjut Ajeng. “Lihat, istri kamu tidak merasa bersalah samasekali,” celetuk Juwita. “Tadi Mama juga minta dibuatkan minuman, tapi Kakak ipar menolak dan malah malas-malasan di kamar,” kompor Nilam. “Cuma buat minum kan kamu bisa, memangnya kakak ipar kamu sangat harus turun tangan?” sarkas Haekal. Nilam berniat protes tapi dalam hitungan detik perempuan itu kehilangan kata-kata, sementara Ajeng berusaha untuk tidak tertawa. Ekspresi geram mertua dan adik iparnya sangat lucu, Ajeng tidak perlu repot-repot membela diri karena sudah ada suaminya. “Mama tidak mempermasalahkan Ajeng yang mendorong Mama, tapi bagaimana soal Ajeng yang menolak bersih-bersih rumah?” “Itu adalah tugas seorang istri, mana bisa dia menolak bersih-bersih.” Juwita tidak akan melepaskan Ajeng begitu saja. “Aku bersih-bersih.” Ajeng sudah melakukan banyak hal. “Aku masak, cuci piring, cuci baju, jemur baju, lipat baju, menyapu.” “Kamu memang istri yang rajin,” puji Haekal. “Istri yang rajin apa?” Juwita langsung tidak terima. “Masih muda tapi sudah pintar sandiwara, kerjaannya cuma berpura-pura terus.” “Jelas-jelas dia menolak waktu disuruh membersihkan lantai yang kotor, baju Mama sama Nilam juga tidak dicuci,” lanjut Juwita. Baju Juwita dan Nilam? Ajeng tidak perlu merasa bersalah hanya karena tidak mencuci baju milik mereka bukan? Enam bulan lamanya Ajeng mencuci dan melipat pakaian milik mereka, tapi apa? Mereka semakin semena-mena padanya. “Aku udah cuci dan lipat semua bajuku sama Mas Haekal–” “Lalu bagaimana dengan baju-baju milik Mama dan Nilam?” potong Juwita. “Kakak ipar pasti terbebani mencuci baju-baju milik Mama, kalau aku jadi Mama aku jelas tidak sudi punya menantu seperti kakak ipar,” sahut Nilam. “Nilam!” sentak Haekal. “Jangan membentak adik kamu! Semua yang adik kamu bilang itu benar!” sergah Juwita. “Apa Kakak tahu kalau Kakak ipar datang ke tempat spa besar yang harganya sudah pasti mahal?” Nilam masih saja mengoceh. “Benar-benar tidak tahu malu,” desis Juwita. Dua manusia itu punya mulut yang begitu licin dan lemas, selain itu mereka juga ahli dalam hal menjadi tukang ikut campur. Dua manusia itu, bahkan Haekal, mereka tidak tahu jika selama ini Ajeng memiliki penghasilan sendiri dan itu cukup besar. ‘Mereka cuma bisa koar-koar, aku menyenangkan diriku sendiri … salah?’ Intinya Ajeng tidak akan meminta maaf. “Aku selalu salah, cuma bernafas pun ujung-ujungnya tetap salah. Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mama dan adik Ipar bebas menyimpulkan.” “Kamu juga bebas kalau mau ikut-ikutan menyalahkan aku.” Ajeng menatap Haekal sebentar. “Ajeng!” Juwita menatap Ajeng yang malah pergi begitu saja. “Tuh kan, Ajeng pasti marah sama aku.” Haekal langsung menyusul Ajeng. “Kenapa jadi perempuan kampung itu yang marah?” Hati Juwita terlampau kesal. “Harusnya Kak Haekal tegas, Ma … perempuan itu mungkin aja diam-diam main dukun,” sahut Nilam. *** Setelah mandi dan mengganti pakaian ke yang lebih santai, Haekal meminum susu jahe hangat yang dibuatkan oleh istrinya. Itu bukanlah susu jahe kemasan yang tinggal diseduh, Ajeng membuatnya sendiri. Dan itu sudah menjadi minuman favorit Haekal. “Kamu mengunjungi tempat spa yang besar? Apa kamu bersenang-senang?” Haekal khawatir istrinya itu mendapatkan masalah. Ajeng pikir Haekal akan memarahinya. “Aku cukup bersenang-senang, apa kamu juga berpikir seperti itu?” “Berpikir seperti apa?” tanya Haekal. “Menganggap aku membuang-buang uang untuk hal yang tidak penting,” balas Ajeng. “Tentu saja tidak.” Haekal bukan laki-laki yang berpikiran dangkal. “Kalau kamu senang, dan ada uang, kamu bisa melakukannya.” Haekal juga mengerti istrinya itu bukan tipe perempuan yang terlalu memaksakan dirinya, apa lagi melakukan sesuatu hanya demi pamer. Ketika Ajeng mengirim Haekal foto perempuan itu yang berada di tempat spa, Haekal justru malah merasa senang. “Soal kamu yang tidak mau mencuci baju milik Mama dan Nilam–” “Aku tidak bersalah.” Apapun yang terjadi Ajeng tidak akan meminta maaf, bahkan meskipun Haekal yang menyuruhnya. “Bagus.” Haekal mengusap kepala istrinya. “Kamu tidak perlu memaksakan diri, lagipula itu bukan tugas kamu.” “Hm?” Ajeng agak tercengang. “Tapi kesannya aku durhaka pada Mama.” “Kamu selalu melakukan yang terbaik.” Haekal tidak pernah berpikir seperti yang Ajeng bilang. “Mencuci pakaian mereka itu bukan tugas kamu.” “Apa kamu tidak ingat apa yang aku bilang sebelum menikah dengan kamu?” lanjut Haekal. “Aku tidak perlu melakukan apapun selain menemani kamu, aku cuma perlu menikmati hidup dan membuat diriku sendiri bahagia,” terang Ajeng. Haekal adalah suami yang sangat baik, jika tidak ada Haekal sudah jelas Ajeng tidak akan tahan tinggal di rumah itu. Haekal selalu membelanya saja kadang Ajeng masih tekanan batin, mentalnya akan terguncang jika Haekal tidak berpihak padanya. “Maaf.” Haekal menggenggam salah satu tangan Ajeng. “Mama dan Nilam sudah banyak membuat kamu kesulitan.” “Itu bukan apa-apa.” Lagipula Ajeng yang sekarang ini memutuskan untuk tidak terlalu sabar. Ajeng terdiam sebentar. “Kalau aku bilang … aku selalu mengerjakan semua hal di rumah ini sendirian kamu percaya?” “Bukannya kamu bilang Mama selalu membantu–” Haekal tidak melanjutkan ucapannya. Haekal sangat merasa bersalah pada Ajeng. “Bukannya aku sudah pernah bilang, lebih baik jika kita punya art.” “Aku punya cara lain, tapi aku butuh bantuan kamu,” sahut Ajeng. *** •Keesokan harinya• Hampir setiap hari Ajeng melihat ekspresi Juwita yang begitu tidak mengenakkan, padahal selama beberapa bulan ini Juwita cuma perlu makan, bersantai, dan tidur. Sementara Nilam? Perempuan itu kelakuannya sebelas-dua belas dengan Juwita, Nilam juga sangat suka malas-malasan. “Nilam, setelah ini kamu bantu Mbak cuci piring ya.” Ajeng sengaja mengatakannya dengan agak keras. Nilam langsung berhenti makan. “Aku kan harus langsung berangkat cari kerja, aku tidak maksud menolak. Seharusnya Kakak ipar lebih pengertian.” “Cuma cuci piring aja segala minta dibantu, kamu tidak suka ya Nilam dapat kerjaan dan akhirnya punya hidup suram seperti kamu?” tuduh Juwita. Bersambung….Untuk sesaat tubuh Ajeng membeku kala melihat laki-laki yang ada di foto, itu adalah laki-laki yang sempat jalan dengan Nilam.‘Hah?’ Awalnya Ajeng pikir lelaki itu sedang berjalan dengan Nilam, tapi nyatanya tidak.Ajeng lihat lelaki itu jalan dengan perempuan lain bersama dengan seorang anak. “Maaf.”Setelah itu Ajeng kembali lanjut jalan. ‘Aku mana mungkin salah lihat, dia laki-laki yang ada di foto.’‘Jadi … Nilam ditipu? Atau mungkin Nilam yang menjadi selingkuhan dia?’ Menurut Ajeng itu terlalu mengejutkan.Lelaki yang ada di foto itu sudah punya anak, Ajeng belum bisa langsung menyimpulkan karena tidak punya bukti lebih banyak.Sampai akhirnya, Ajeng kembali mendapatkan foto dari orang suruhannya. Orang itu sudah menemukan lokasi Nilam saat ini.“Apa lagi ini?” Untuk kesekian kalinya Ajeng dibuat shock karena kelakuan Nilam.“Apa dia udah tidak waras?” Kali ini Ajeng mendapatkan foto dimana Nilam sedang berjalan mesra dengan pria tua.“Jadi Nilam setiap hari melakukan itu? Jala
Ajeng masih tenang meskipun dituduh yang tidak-tidak, masa depan Ajeng suram? Justru kehadiran Juwita lah yang membuat hidup Ajeng menjadi suram.“Kenapa Mama bilang seperti itu?” Suara Haekal terdengar dingin.“Kamu ini Haekal, bela aja terus istri kamu itu.” Suara Juwita terdengar sangat sewot.“Kalau adik ipar tidak mau ya udah, sharusnya aku udah terbiasa melakukan semuanya sendiri,” ujar Ajeng.‘Apa dia sengaja sok sedih seperti itu?’ Juwita harus membela diri. “Apa maksud kamu mengerjakan semuanya sendirian?”“Kamu sengaja menjelek-jelekkan Mama di depan putra Mama sendiri? Kamu mengatai Mama malas? Iya?”“Kedengarannya seperti bukan pertanyaan, tapi pengakuan,” sarkas Ajeng.Juwita semakin geram, kemana Ajeng yang tidak pernah berani membalas ucapannya? Kalau seperti ini Juwita bisa mati cepet karena kesal.“Kamu ….” Juwita menunjuk Ajeng.“Ma cukup.” Haekal tidak ingin mendengar perdebatan apapun. “Nilam, kamu seharusnya lebih peka.”“Selama ini apa pernah kamu sedikit aja me
Rasanya tidak puas jika Juwita belum berhasil membuat Haekal memarahi Ajeng habis-habisan, itu salah satu alasan Juwita terus berulah. “Mama menyinggung Ajeng lagi?” Sudah berkali-kali Haekal memperingatkan Juwita. “Kak, Mama jatuh karena istri Kakak. Kenapa Kakak malah menuduh Mama yang tidak-tidak?” protes Nilam. “Memangnya kamu lihat sendiri kakak ipar kamu mendorong Mama?” Haekal mana mungkin tidak tahu kelakuan Juwita dan Nilam. “Kejadiannya kan tadi pagi, kalau aku lihat sudah pasti aku dorong balik perempuan kampungan itu,” desis Nilam. “Jaga bicara kamu.” Haekal menatap tajam Nilam. Nilam langsung memeluk lengan Juwita erat-erat, perempuan itu tidak mengerti kenapa kakaknya itu terus berpihak pada Ajeng. Juwita sudah sesedih itu pun tidak ada tanda-tanda Haekal peduli dan berniat mengamuk pada Ajeng karena telah membuat mamanya sedih. “Mas, kok masih berdiri di dekat pintu?” Ajeng mengambil alih tas yang dipegang oleh Haekal. “Kamu pasti capek.” “Lebih baik-baik bersi
Juwita sudah teriak-teriak, berharap Ajeng segera keluaran kamar. Tapi usaha Juwita berujung sia-sia karena Ajeng seolah tak peduli.“Ada apa dengan dia?” Juwita duduk di sofa karena merasa lelah.Tatapan Juwita tertuju pada tumpahan jus yang ada di lantai. “Dia tidak mau membersihkan tumpahan jus itu?”“Itu artinya dia menyuruh aku membersihkannya?” Dengan ekspresi kesal Juwita mendengus tak percaya.“Lihat saja, sampai kapan dia betah di kamar.” Juwita tentu tidak mau membersihkan tumpahan jus itu.Biasanya dipanggil sekali saja Ajeng langsung datang seperti anjing yang kelewat penurut, tapi sekarang sudah tidak lagi.Juwita menatap sapu yang tergeletak di lantai, Ajeng dengan beraninya melempar sapu itu dan tidak mengembalikannya ke tempat asal.“Apa dia mau membuat aku mati lebih cepat? Sudah bagus putraku mau menikahinya.”“Dia tinggal bersih-bersih rumah, tapi sekarang malah bertingkah dan berlagak mau menyewa pembantu.”“Mimpi!” Juwita tidak akan membiarkan Ajeng menghambur-ham
“Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot pasang dasi sendiri karena kamu sudah memiliki istri, oh iya ….”“Istri kamu kan tidak jelas asal-usulnya, dia mungkin cuma lulusan SD. Jadi tidak terlalu pintar dan tidak bisa memasang dasi dengan benar,” lanjut Juwita.Yang Ajeng lakukan hanya pura-pura tuli, ibu mertuanya itu memang bermulut pedas dan seperti punya dendam kesumat pada Ajeng.Bagi Juwita, Ajeng hanya menantu yang tidak jelas asal-usulnya. Orangtua Ajeng juga bahkan tidak tahu siapa.Ajeng mengaku dirinya yatim-piatu, meskipun begitu Haekal sangat mencintainya dan selalu menghargainya.“Masalah dasi saja dipermasalahkan, anak SMP saja bisa pasang dasi sendiri. Lagipula Ajeng sibuk di dapur, sebagai suami aku harus mengerti.”“Kamu ini terlalu memanjakan istri kamu, kalau seperti ini caranya dia bisa jadi tidak tahu diri.” Suara Juwita terdengar tidak suka.“Kalau aku sangat dimanjakan, aku tidak perlu repot-repot mengerjakan pekerjaan rumah. Aku cuma perlu duduk santai, menema







