Share

BAB 3 PEKERJAAN BARU

Senja melihat pria di depannya tengah menandatangani dua buah kertas di dua map yang berbeda. Sekian detik kemudian, pria itu menyodorkan satu map padanya. Dia mengambil alih pena dan mulai mengarahkan ujungnya ke kertas.

“Bapak janji, ‘kan?” tanya gadis itu dengan menatap pria di depannya.

Pria itu mengangguk. “Saya adalah orang yang selalu menepati janji,” jawabnya. “Anda bisa memercayai saya.”

Gadis itu tidak menimpali. Dia menggoreskan tinta di kertas dan kontrak antara dirinya dan CEO muda itu berhasil dibuat. Sisi lain Senja masih ragu dengan kelanjutan hubungan mereka setelah kontrak. Dia kembali menatap pria tersebut. “Saya harap Bapak bisa memegang janji,” katanya.

Pria bernama Asa Kanagara itu tersenyum dan mengangguk. “Mulai hari ini, cukup panggil nama saya saja. Tidak perlu terlalu formal dan … panggilan aku-kamu mungkin harus kita lakukan mulai sekarang,” ucapnya dengan menaikkan sebelah alis. Dia menegapkan tubuh sejenak. “Berikan aku alamat indekosmu. Biar asistenku ke sana untuk mengambil barang-barang—”

“Eh, tidak! Maksud saya ….” Senja menggantung ucapan, melihat isyarat mata Asa perihal sapaan yang dilontarkannya. “Maksudku, kamu tidak perlu meminta asisten untuk mengambil barangku. Beri aku alamatmu, biar aku sendiri yang memindahkan barang-barangku.”

Asa menghela napas. “Aku ini suamimu sekarang,” ucapnya. “Sudah menjadi tanggung jawabku untuk membantu istriku sendiri.”

Pria itu bangkit dan meletakkan map kontrak miliknya di meja kerja. Dia melepas jas sejenak, lalu menyampirkannya di kursi. “Kursimu ada di sana,” katanya sembari menunjuk sebuah meja kerja di sisi ruangan yang berseberangan dengan meja kerjanya. Melihat Senja menatap bangku tersebut, Asa tersenyum. “Kamu suka?”

Senja menoleh. “Sejujurnya, akan lebih baik kalau mejaku ditaruh sejajar dengan karyawan lain.”

“Kamu, kan, asistenku. Mana mungkin aku menaruhmu di luar?”

Gadis itu terdiam. Ucapan Asa ada benarnya. Sekarang, dia secara official sudah bekerja di bawah naungan CEO Kanagara Group. Senja menggeleng, berusaha untuk membuat kesadarannya tetap terjaga meski sebenarnya dia masih tidak percaya telah diterima bekerja di tempat sebesar ini. Apalagi, saat dia dan Asa mengubah sapaan formal menjadi informal, terkesan memaksa, tetapi menurutnya ini lebih baik daripada harus ada kekakuan di antara mereka.

Gadis itu duduk di kursi kerjanya. Matanya mengedarkan pandangan. Terdapat sebuah laptop dan beberapa gawai di meja, serta setumpuk dokumen yang entah apa isinya. Dia menilik laci, mendapati sebuah buku di sana, lalu mengambilnya. Kemudian, Senja memandangi seorang pria yang duduk di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Asa Kanagara? Pria itu tengah sibuk mengetik sesuatu di gawainya hingga setiap ketukan jemarinya mengeluarkan suara berisik meski sesekali berhenti.

“Buku apa ini?” tanya Senja memecah keheningan.

Asa menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh. “Kamu, kan, bisa buka dan baca sendiri,” jawabnya. “Saat aku sedang sibuk, kuharap kamu tidak menggangguku.”

Saliva Senja terteguk. Dia menghela napas. Tangannya mulai membuka buku yang ditemukannya di laci. Tulisan tangan yang begitu rapi sangat mudah untuk dibacanya. Senja menebak jika rentetan tulisan itu adalah milik Asa.

“Peraturan yang harus dipatuhi saat di kantor,” gumam gadis itu, lalu membuka beberapa lembar halaman selanjutnya. “Peraturan yang harus dipatuhi di rumah.”

Asa melirik sejenak ketika mendengar gumaman gadis itu. Dia menghela napas. Sejujurnya, baru kali ini dirinya membuat peraturan semacam itu. Bukan bagaimana sempurna dirinya, tetapi dia justru ingin Senja merasa nyaman di dekatnya.

Pria itu tertegun. Sekelebat bayangan terngiang dalam ingatannya. Sosok Senja tidaklah asing baginya meski mereka baru pertama kali bertemu. Ada sebuah rasa dari sesuatu yang selama ini Asa pendam. Dia berharap bisa jujur tentang hal tersebut suatu saat nanti.

***

Selama beberapa jam kedua insan itu terpaut dalam hening. Sesekali Senja melirik ke meja Asa, mendapati CEO itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Namun, kali ini, pria itu berdiri dengan membawa beberapa lembar dokumen dan berjalan ke arahnya. Asa menaruh lembar dokumen itu di salah satu sisi meja Senja dan membungkuk. Maniknya memandang ke arah layar monitor.

“Apa kamu sudah mulai menulis?” tanyanya.

Senja meneguk saliva. Entah kenapa detak jantungnya memburu sekejap. Terlebih saat helaan napas di antara ucapan Asa menyembul, menampar lembut pipinya. Pria itu berucap tepat di samping wajahnya yang tengah fokus menatap layar.

Gadis itu menghela napas, menggeleng, dan menjaga jarak dengan Asa. “I-iya,” jawabnya. “Katanya, kalau aku mengikuti semua syarat dan peraturan, kamu bisa meloloskan naskahku, ‘kan?”

Asa menoleh, membuat manik mereka bertemu selama beberapa detik. Wajahnya maju beberapa senti, memotong jarak dan menyisakan milimeter yang membuat deru jantung Senja makin tidak beraturan. Asa menggerakan bola mata, memandang setiap inci wajah gadis cantik di depannya. Sempurna. Bayangan sesosok perempuan kembali terngiang olehnya dan langsung membuat pria itu menjauh.

Dia menghela napas, lalu menoleh memandang Senja yang masih memberikan mimik wajah yang tidak bisa dideskripsikan. “Dari mana kamu mendapat wajah itu?” tanyanya.

Senja mengernyit. “Hm? Apa maksudmu?”

Belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya, Asa menggerakan satu tangan menyentuh pipi Senja hingga si empunya melebarkan pandangan. Sentuhan itu merambat seiring dengan tangan Asa yang lain yang turut menyentuh pipi halus tersebut. Tanpa sadar, pria itu membawa Senja ke dalam rengkuhan ranum segarnya.

Senja tidak bisa menawar. Asa memang tampan, tetapi mereka baru saja meneguhkan hati untuk menjadi suami-istri yang terikat kontrak kerja saja, bukan ikatan yang sah sebagaimana yang biasa dilihatnya pada puncak acara akad. Senja tahu, degub dalam dadanya mulai tidak bisa menipu diri. Makin berderu ketika detik waktu terus berjalan.

Namun, gadis itu menyadari sesuatu. Memang benar mereka tidak berada dalam ikatan akad yang sah, tetapi hal ini membuat sisi pemberontak dalam dirinya bergejolak. Senja berusaha melepaskan diri, tetapi kecupan Asa terlampau lembut untuknya. Sangat dalam dan intens seolah pria itu benar-benar ingin menandai Senja sebagai miliknya.

Peraduan yang begitu manis itu berakhir ketika Senja mendapati butir air mata menggenangi pelupuk mata pria tersebut. Asa menatapnya sebentar, lalu merengkuh tubuh gadis itu ke pelukannya. Amat erat sampai Senja berusaha menjaga agar kesadarannya tetap terkumpul.

“Monica. Aku merindukanmu.”

Lirihan Asa terdengar di telinga Senja. Gadis itu melongo seolah rasa aneh melingkupi keduanya sekarang. Pelukan Asa makin erat dan tidak mau terlepas begitu saja.

Senja teringat dengan salah satu bacaan favoritnya di salah satu platform, tentang seseorang yang ditinggal kekasihnya. Namun, jika dugaannya benar, pastilah pria tegas macam Asa menyimpan banyak sekali kisah pelik dalam hidupnya. Entah kenapa tangan Senja terlulur, mengusap lembut punggung pria itu dan berusaha mengalirkan energi positif padanya. Seumur hidup, gadis itu tidak pernah memikirkan cinta. Baru kali ini, dirinya dihadapkan pada sebuah rasa yang bahkan tidak dimengerti olehnya.

***

Senja masih membiarkan pria itu bersandar pada bahunya. Berat, tetapi dia tahu beban yang dipikul Asa jauh lebih berat dari perkiraannya. Sebelum Asa membawanya ke sofa dan melakukan hal yang lebih serius dibandingkan pelukan dan ciuman, gadis itu sudah memperkirakan jika tidak ada yang masuk ke ruangan ini. Hari ini adalah hari tersibuk bagi para pegawai, tetapi berbeda dengan sang CEO. Asa hanya sibuk mengerjakan laporan dan mengecek pendataan sejak penandatangan kontrak keduanya tadi selesai. Pria itu juga terlihat mengunci pintu dan menutup tirai jendela kacanya saat keduanya berdiskusi soal kontrak.

Gadis itu menatap wajah lelap Asa. Jemarinya tergerak, menyisir setiap helai rambut hitam pria berperangai tegas tersebut. Sesekali dia mendengkus, sadar dengan perlakuannya tadi. Sungguh, Senja bersumpah pada dirinya dan orang lain jika dia masih perawan kini. Dia hanya membuat Asa terengkuh dalam kerinduan tidak bersyarat yang dirasakan pemuda tersebut. Sekian menit meratapi keperawanannya yang hampir sirna, fokus Senja terurai kala melihat bayangan berdiri di depan pintu. Dia tahu sosok itu adalah laki-laki. Tangannya bergerak, menepuk pipi Asa supaya terbangun.

Pria itu membuka maniknya. Dia menatap Senja dengan pandangan inosen dan menyadari ada seseorang menunggunya di luar saat gadis itu menunjuk ke arah pintu. Asa menghela napas, lalu mengangguk.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” ucapnya melirih, membuat gadis di dekatnya itu mengerutkan kening. “Mari kita bicara setelah aku menyelesaikan urusanku dan kita pulang.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status