Share

BAB 4 MALAM YANG SALAH

Senja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Tadi, sebelum pergi, Asa memintanya untuk memindahkan data mentah ke softfile yang sudah disediakan. Sebenarnya, pekerjaannya amat mudah. Senja harus memindahkan data saja dan mengecek ulang isinya. Namun, karena data yang terlalu banyak membuatnya bekerja sampai malam hari.

Seorang pegawai memeriksa ruangan dan mendapati dirinya masih bekerja. “Ibu, masih ada di sini?” tanyanya.

Senja mengangguk. “Iya. Apa Pak Asa belum kembali dari urusannya?”

Pegawai itu masuk sempurna ke ruangan usai sebelumnya hanya menyembulkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Maaf, Bu. Pak Asa belum pulang. Tapi, biasanya Bapak langsung ke rumah kalau pekerjaannya sudah selesai,” jawabnya.

“Oh, begitu.” Senja kembali menatap pegawai perempuan itu. “Mbak di sini sebagai apa, ya?”

Perempuan berambut pendek itu tersenyum. “Saya admin di ruangan depan, Bu. Kalau ada dokumen masuk, biasanya ke saya dulu, baru nanti saya kasih ke Bapak,” jawabnya dan mendapati anggukan dari wanita yang masih duduk di kursi tersebut. “Ya sudah, Bu, kalau sudah selesai, segera pulang. Soalnya, tadi Bapak minta saya buat ingatin Ibu kalau Ibu masih di sini malam-malam.”

Senja terdiam. Asa meminta pegawai ini untuk mengingatkannya sebelum pria itu pergi? Gadis itu menggeleng seraya tersenyum, menyadari Asa terlalu peduli padanya di pertemuan pertama mereka. “Iya, terima kasih, ya,” ucapnya kemudian, sebelum pegawai itu ke luar ruangan.

Gadis itu bangkit dan merenggangkan tubuh sejenak. Dia berjalan ke arah jendela kaca yang menguasai hampir seluruh sisi di belakang meja kerja Asa. Langit malam kota tampak indah dengan kerlip bintang yang tampak malu-malu meski tertutupi sedikit polusi udara. Senja berbalik, mendapati sebuah memo di meja Asa. Dia mengambil dan membaca tulisannya.

Jalan Magnolia 22A No. 11

“Alamat rumahnya?” gumamnya. “Baguslah kalau begitu.”

Tidak perlu waktu lama untuk berpikir, gadis itu segera membereskan barang-barangnya. Namun, sebuah notifikasi pesan mengurai fokusnya. Senja mengambil ponsel di meja, lantas membuka pesan dari ‘suami kontraknya’.

Asa : Sudah pulang?

Gadis itu tersenyum. Dia hampir lupa jika mereka sudah saling mengetahui nomor ponsel masing-masing. Semua ini berkat penolakan naskah Senja beberapa hari yang lalu.

Senja : Hampir. Kenapa?

Asa : Segeralah pulang. Langsung ke rumah. Barang-barangmu sudah kuantar ke sana semua.

“Wow.” Gadis itu bergumam. Dia kembali mengetikkan sesuatu, tetapi urung ketika sebuah panggilan menghalangi layar pesan. Telepon dari seorang teman yang Senja kenal. Gadis itu mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengangkat panggilan.

“Neon?” Senja mendekatkan layar gawai ke telinga, berharap mendapat jawaban dari lawan bicaranya. “Neon, kenapa?” ulangnya.

Suara gemerisik terdengar sejenak, sebelum akhirnya terganti dengan suara seorang pria. “Senja, kamu di mana?”

Senja menghela napas. “Aku masih di kantor dan mau pulang. Why?”

Neon terdiam. “Aku … butuh bantuanmu,” lirihnya.

“Kirimkan lokasimu, aku akan ke sana sekarang.”

Pria itu mematikan panggilan dan mulai membagi lokasi dirinya saat ini. Maniknya mengedarkan pandangan ke sekitar di mana beberapa orang keluar dari sebuah kamar hotel. Dia memberikan sebuah amplop cokelat kepada salah satunya.

“Kami akan mengecek keadaan di luar,” ucap sang penerima.

Neon mengangguk dan memastikan sejenak lima orang itu telah menjauh dari unit apartemennya. Dia masuk ke kamar dengan raut wajah semringah.

Sementara itu, Senja segera menuju lokasi yang dibagikan oleh Neon. Dia mengenal Neon sejak lama, sekitar lima tahun melalui sebuah komunitas penyintas. Neon adalah salah satu aktivis di sana dan pernah bertemu dengannya beberapa kali.

Gadis itu tidak punya pikiran aneh tentang Neon Denara. Sebelum akhirnya dia mendapati sebuah unit apartemen bernomor 22 di depannya. Senja kembali melihat ponsel dan mengecek alamat yang dikirimkan Neon, lalu menghubungi pria itu.

Neon tidak mengangkat panggilan. Namun, pria itu membalas melalui pesan singkat.

Neon : Masuk saja dan tunggu aku. Aku sedang sibuk.

Senja menghela napas. Dia tahu jika pria itu memang disibukkan dengan agenda acara yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Menginap di apartemen mungkin menjadi salah satu alasan supaya pria itu bisa mengakses dengan mudah ke lokasi manapun.

Gadis itu bergegas membuka kenop pintu yang sama sekali tidak dikunci. Dia masuk ke ruangan dan mendapati kegelapan di sana. Sebuah keanehan terasa dalam benak. Senja memutuskan berbalik dan menyadari jika ada yang tidak beres di tempat ini.

Namun, sesuatu membekap mulutnya sekejap. Tidak ada aroma wewangian yang memabukkan di sana, tetapi Senja bisa merasakan jika sosok pembekapnya adalah pria. Dalam kegelapan, gadis itu mencoba memberontak. Namun, usahanya sia-sia. Kekangan pria itu amat kuat dan seorang gadis sepertinya tidak mungkin bisa melawan.

“Tolong!” pekiknya.

Namun, pintu ruangan tertutup kembali. Senja melebarkan pandangan dan mulai menggerakkan kakinya ke segala arah ketika seorang pria mencengkeram kedua lengannya. Wajah pria itu terlalu mendekati wajahnya dan berusaha makin kekeuh mengunci setiap pergerakan Senja.

“Tolong aku!” Senja kembali memekik, kini dengan suara yang mulai terisak.

Ini bukanlah yang diinginkannya. Senja tidak memimpikan hal buruk seperti ini terjadi pada dirinya. Dia merantau hanya ingin bekerja dan mencari uang, bukan untuk menjadi pemuas nafsu bejat pria.

Gadis itu memberontak, tetapi sia-sia. Terlebih saat kedua tangannya telah terikat di ujung ranjang dan pria dengan pakaiannya yang serba gelap itu mulai membuka kedua tungkai mulus gadis tersebut.

“J-jangan!”

Senja lagi-lagi berusaha keras melepaskan diri. Air matanya mulai mengalir, sementara pria itu mulai menggerayangi tubuh yang selama ini dijaganya. Gadis itu menangis dalam gerakan berontaknya yang sia-sia. Dia hanya ingin pulang saat ini. Dia menyesal tidak mengindahkan teguran Asa tadi dan justru menuruti keinginan Neon yang butuh bantuannya.

Kegelapan seolah merenggut asa. Gadis itu tersentak tatkala sesuatu membuat dirinya hanyut dalam perasaan remuk bercampur aduk dengan keputusasaan. Tubuhnya sakit dan lemas dengan pergerakan bertubi-tubi yang didapat olehnya malam ini. Batinnya menangis tanpa suara, terpendam dalam relung yang tadinya kokoh, kini hancur dalam sekali hentakan. Di pikirannya saat ini hanya satu, sosok yang mungkin bisa menyelamatkan hidupnya.

Asa Kanagara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status